Bab 12
Setelah hampir sepekan aku tidak bertemu dengan mas Iqbal, kemarin aku harus kembali bertemu dengannya di rumah Amierra, saat aku berkunjung ke tempatnya. Dan entah mungkin kebetulan atau apa, aku kembali bertemu dengan Irsan, temanku saat aku dan Amierra duduk di bangku sekolah. Aku sedikit terhibur dengan kehadiran dia kembali, kemarin dia sedikit mampu membuatku terobati dari rassa sakit ini. Sakit yang seakan tiada akhir karena ulah tentara itu.
Aku kembali menghela nafasku, entah ini helaan nafas yang keberapa kali. Aku memegang cangkir berisi kopi dengan enggan. Malam semakin larut dan aku sama sekali tak bisa terlelap. Ucapannya, ucapan Ibunya semuanya memenuhi pikiranku dan membuat otakku semakin tumpul dan hanya bisa terpaku padanya.
Ya Allah, apa ini berarti dia bukan jodohku? Tetapi kenapa aku masih tetap mengharapkannya?
Bip bip
Aku membuka smartphoneku saat ada suara chat masuk.
Irsan : Hei MissIntrokepo jangan mikirin gue terus, gue tau loe masih kangen sama gue. Besok gue ajak loe jajan bakso di tempat biasa.
Orang ini, aku hanya bisa tersenyum kecil melihat kelakuannya. Tak pernah ada yang berubah, aku mengetik pesan padanya untuk menyetujuinya dan meminta dia mentraktirku.
Setelahnya aku menyimpan kembali smartphoneku dan menyandarkan kepalaku ke bahu kursi, menatap nyalang langit-langit kamar. Terdengar kembali suara dering handphoneku, mungkin dia terlalu kangen hingga menghubungiku langsung mengetahui aku belum tidur di jam segini.
"Ya tuan Irsan yang bawel, ada apa?"
"Ini Iqbal,"
Deg
Aku mematung di tempatku dan menjauhkan layar smartphone dari telingaku untuk melihat siapa panggilan yang masuk, dan ternyata benar. Itu dia......
"Maafkan aku, aku pikir temanku," ucapku berusaha menstabilkan suaraku.
"Menunggu telpon darinya?" apa hanya perasaanku saja, mas Iqbal terdengar sinis dari nada bicaranya.
"Tidak juga, ada apa mas telpon malam-malam begini?" aku berusaha mengalihkan pembicaraan dan ingin menyelesaikan pembicaraan ini.
"Jaketmu ketinggalan di Sukabumi, aku ingin mengembalikannya."
"Begitu yah, Mas bisa titip ssaja ke satpam di kampusku, atau di titip ke mas Djavier saja, biar nanti aku yang ambil ke rumah Amierra."
"Tidak ingin bertemu denganku?"
Aku terdiam sesaat mendengar nada bicaranya yang tegas tetapi juga lembut penuh kehangatan, dan aku selalu merindukannya. Aku merasa air mataku ingin kembali jatuh dari pelupuk mata. Astaga, kenapa aku cengeng sekali.
"Mil, ada banyak hal yang harus kita bicarakan. Bisakah kita bertemu dan berbicara?"
Tidak lagi, Ya Allah tolong hamba. Kali ini jangan buat hamba semakin terluka dan hancur lagi.
"Maaf Mas, Milla rasa sudah tak ada yang perlu kita bicarakan lagi."
"Demi Allah Milla, aku mencintai kamu!"
"Mas, kalau memang Mas mencintai aku. Maka kita sama-sama berserah diri saja pada Allah dan meminta jalan yang terbaiknya. Cintailah aku karena Allah, jangan karena hal lain. Insa Allah akan ada jalan untuk kita. Tetapi maaf, untuk kali ini biarkan aku sendiri dan jangan menggangguku lagi."
"Mil, kita hanya perlu waktu!"
"Silahkan, tetapi jangan libatkan aku di dalamnya. Kalau waktu yang Mas tentukan sudah cukup, maka silahkan kembali tetapi aku tidak bisa menjamin apapun."
"Apa kamu tidak mencintaiku, Milla?"
"Aku tidak tau Mas, maafkan aku. Assalamu'alaikum." Aku memutuskan sambungan telpon dan melempar handphone ke sampingku.
Aku kembali menangis, menangis terisak dengan memeluk kedua lututku. Aku sangat mencintainya, dan berharap besar padanya. Tetapi aku tidak memiliki kekuatan untuk mendahului suratannya.
***
Aku baru saja pulang di antar oleh Irsan setelah makan bakso bersama. Setelah kepergian Irsan, aku memutuskan pergi menuju mini market untuk membeli minuman dingin. Hari ini terasa begitu panas dan sangat gerah.
Aku membeli beberapa minuman dingin untuk persediaan di kamar kost juga mie instan. Setelah di rasa cukup, aku berjalan menuju kasir untuk melakukan pembayaran. Aku melirik keluar minimarket yang hanya di batasi oleh kaca, cuaca semakin terik padahal ini sudah masuk waktu Ashar, tetapi cuaca masih seterik siang hari. Aku mengucapkan terima kasih saat transaksinya selesai dan bergegas keluar dari minimarket itu.
Langkahku terhenti saat pandanganku beradu dengan tatapan tajam milik seseorang yang berdiri tepat di sebrang jalanan yang berhadapan denganku. Ini bukan jalan utama, jadi kendaraan tak banyak yang berlalu lalang. Kami masih sama-sama berdiri mematung dengan saling bertatapan satu sama lain.
Dia tampak gagah dan tampan dengan kemeja hitam yang sudah di lipat hingga siku dan celana jeans biru tuanya. Di genggamannya ada jaketku, tau darimana dia kalau aku berada di sini? Mungkinkah dia membuntutiku?
Dia berjalan menyebrang jalan ke arahku, membuatku semakin gugup. Aku segera memalingkan wajahku dan menundukkan kepalaku.
"Jaketmu," ucapnya saat sudah berada di hadapanku.
Tanpa berbicara apapun, aku menerima jaket yang di sodorkan olehnya dan kullit kami sempat bersentuhan sedikit, tetapi jujur saja itu membuatku begitu gugup dan jantung ini semakin berdegup kencang.
"Terima kasih," ucapku langsung beranjak pergi tanpa menoleh lagi dan berharap dia tak mengikutiku.
Aku mempercepat langkahku dan saat sudah melewati belokan, aku kembali mengintip dan dia tampak masih berdiri di tempatnya dengan tatapan yang menurutku terlihat sedih. Benarkah dia juga merasakan sakit dan rasa sedih yang aku rasakan?
Haruskah aku mengharapkan itu?
***
