Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 11

Aku mendapat pesan dari mas Iqbal yang mengatakan dia akan keluar sebentar, sebelum makan malam dia akan kembali.

Selesai aku menyelesaikan solat magrib, aku berniat untuk keluar kamar dan berusaha berbaur dengan yang lain. Aku akan bersikap tidak tau apa-apa. Mungkin Umi nya belum mengenalku jadi dia berprasangka seperti itu.

"Assalamu'alaikum Tante," sapaku saat Umi nya tampak tengah duduk menonton televisi masih dengan memakai mukena nya.

"Wa'alaikumsalam."

Mendengar nada sinis darinya, aku hanya mampu tersenyum kecil. Sebegitu sulitkah jalan untukku dan mas Iqbal?

"Pada kemana Umi, sepi yah," ucapku memecah keheningan.

"Ke mesjid, biasa solat Magrib." Aku hanya ber-oh saja.

"Kamu teh asal mana?" tanya Umi setelah kami cukup lama terdiam.

"Surabaya Tante," jawabku.

"Apa pekerjaan kedua orangtua kamu teh?" tanyanya.

"Seorang petani, mereka membajak sawah."

"Kamu di Jakarta ngapain? Jauh-jauh dari Surabaya ke Jakarta?"

"Kebetulan saya kuliah di salah satu Universitas di Jakarta."

"Jurusan naon?"

"Jurusan Fashion Merchandising,"

"Kalau udah lulus, jadi apa itu bekerjanya?"

"Itu menjadi seorang desainer, insa allah." Tampak sekali raut tak suka darinya.

"Ari di keluarga kamu ada keturunan Tni nya tidak?" Aku sempat mengernyitkan dahi saat mendengar pertanyaannya yang menurutku sedikit aneh.

"Emm kebetulan tidak ada," gumamku.

"Pantas saja sekarang kamu mendekati Iqbal, apalagi Iqbal sudah menjadi Sersan." Aku semakin mengernyit bingung mendengar ucapan ibu nya itu yang seakan menuduhku menginginkan Iqbal hanya karena pekerjaannya.

"Saya tidak merasa mendekati mas Iqbal, dia sendiri yang mengajak saya kemari."

"Ibu Bapak kamu tau, kamu ke sini berkunjung ke rumah laki-laki?" aku semakin terpojok mendengarnya, dengan lemah aku menggelengkan kepalaku. Karena kenyataannya mereka tak mengetahui apapun.

"Tuh, bagaimana bisa si Iqbal teh dengan ngawin awewe model kieu. Neng, kamu gak takut celaka apa pergi tanpa ijin orangtua?" tanyanya membuatku terdiam.

"Assalamu'alaikum."

Mendengar seruan itu kami berdua sama-sama menoleh ke ambang pintu seraya menjawab salam. Tampak mas Iqbal datang, aku sedikit lega tetapi sesuatu semakin menghantam hatiku saat seorang wanita cantik berjilbab mengikutinya dari belakang.

"Si Neng Intan, masuk sini Geulis!" aku tersentak mendengar seruan dari Ibu nya mas Iqbal. Aku menatap mas Iqbal yang terdiam dengan tatapan bertanya. Apa maksudnya dengan semua ini.

Dering handphone mengalihkan tatapanku, aku segera membukanya dan ada pesan chat dari mas Iqbal.

Mas Iqbal : Maaf Mil, aku sungguh tak mengajak Intan. Tadi kami bertemu dan dia memaksa ingin ikut kemari.

Aku tak membalasnya, dan segera menutup kembali hanphoneku.

"Intan, kenalkan ini temenna Iqbal ti Jakarta," ucap Ibu nya Iqbal. "Tah Milla, ini Intan calon istrinya Iqbal. Geulis kan?" pertanyaan itu seakan sengaja menyudutkanku. Aku masih berusaha menampilkan senyumanku seraya bersalaman dengan Intan.

"Intan kuliah jurusan keperawatan, nanti teh dia mau jadi perawat. Ngerawat pasien juga suaminya, apalagi Iqbal seorang tentara pasti butuh perawat nu bisa ngerawatna." Ibu nya masih memuji Intan dan mas Iqbal hanya terdiam. "Selain itu, Intan pinter masak. Udah cobain warung nasi yang di ujung jalan? Tah itu usaha milik orangtuanya dan si neng geulis ini yang suka memasaknya. Masakannya teh mani enak, Umi bahkan jarang masak, dan suka beli ke sana. Apalagi kalau Iqbal pulang, dia suka sama masakannya Intan. Suami mah Cuma butuh istri yang pintar masak dan merawatnya nanti."

"Umi cukup," tegur Iqbal.

"Ih ke hela, kamu yang diem Iqbal. Umi mengatakan yang bener," ucapnya.

"Sudahlah Umi, Intan tidak sesempurna itu," seru wanita itu tampak sekali tersipu seraya melirik ke arah Iqbal.

"Bukan Cuma cantik, dia tuh berhijab sesuai arahan agama dan bisa menjaga auratnya dari pria lain yang bukan mahramnya."

Aku semakin tersudutkan mendengar penuturan dari Ibu nya mas Iqbal. Sudah jelas dia menentang hubunganku dengan mas Iqbal, lalu untuk apa aku berada di sini?

***

Pagi itu aku sudah bergegas membereskan semua pakaianku, aku tidak bisa terus berada di sini. Untuk apa aku berada di sini lagi.

"Mil," suara mas Iqbal terdengar di ambang pintu dan aku tak memperdulikannya.

"Mil, tolong jangan seperti ini!"

"Lalu aku harus bagaimana? Semuanya sudah jelas Mas," ucapku mengusap pipiku yang basah, air mata ini tak bisa aku tahan lagi.

"Tunggu sebentar lagi, aku akan berusaha berbicara dengan Umi."

"Tidak Mas, sudah cukup! Ini sudah 3 bulan berlalu kita menjalani hubungan tak jelas dan status tak pasti. Aku tidak bisa seperti ini terus menerus. Kalau kita memang berjodoh, insa Allah, Allah akan mempersatukan kita. Hanya saja-" aku menghela nafasku yang terasa sangat sesak. "Hanya saja jangan menarik ulurku seperti ini, jangan menahanku kalau kamu belum bisa memberi kepastian."

Aku mengusap air mataku, dia masih tak bergeming di tempatnya. Aku mengambil tas ranselku dan hendak bergegas, ia juga tampak ingin mendekatiku dan menghalangi langkahku. "Mas-"

Aku melihat dia ingin memeluk tubuhku tetapi dengan secepat kilat aku mundur. "Jangan, aku mohon. Jangan tambah lagi penghinaan untukku."

Aku bergegas melewati tubuhnya yang masih berdiri kaku di tempatnya.

Aku di antar hingga terminal bus oleh mas Iqbal, selama perjalanan tak ada yang membuka suara. Aku sudah terlalu lelah untuk berbicara dengannya. Rasa yakin itu seketika lenyap berganti dengan keraguan. Aku menyesal telah ikut ke sini bersamanya dan menyimpan beribu harapan padanya.

Mas Iqbal mengarahkan aku untuk menaiki bus menuju Jakarta. Aku langsung menaiki bus tanpa mengatakan apapun lagi, di tambah bus ini langsung melaju begitu aku duduk di salah satu jok seat 3. Aku bersyukur, karena itu membuat Iqbal tak jadi naik ke bus dan menemaniku.

Air mataku kembali luruh membasahi pipi, rasanya sangat sakit sekali. Aku melihatnya masih berdiri di tempat tadi menatap ke arahku melalui jendela bus, tetapi aku enggan untuk menoleh padanya. Rasanya sangat sakit, ya Allah. Kalau kalian yang berada di posisiku, kalian akan bagaimana?

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel