Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 10

Milla baru saja selesai membersihkan dirinya dan berjalan keluar kamar, ia melihat pembantu dan Ibu Iqbal tampak sedang sibuk memasak sesuatu di dapur.

"Mau di bantu, Tante?" tanya Milla membuat mereka sama-sama menoleh ke arah Milla.

"Tidak perlu, sebaiknya tunggu di depan saja. Kamu kan tamu kami," ucap Ibunya Iqbal membuat Milla mengangguk dan beranjak menuju keluar rumah mencari sosok Iqbal yang tak terlihat sejak tadi.

Milla duduk di teras rumah Iqbal yang tampak sepi, tetapi angin berhembus menerpa dirinya dan terasa begitu sejuk. Ia tersentak saat seorang pelayan menyuguhkan teh hangat padanya. Milla mengucapkan terima kasih hingga seseorang datang.

"Hai, kau sudah bangun?" Milla tersenyum pada Iqbal yang tampak berkeringat dengan handuk kecil membelit di lehernya.

"Iya, Mas habis jogging?" tanya Milla yang di angguki Iqbal.

"Kau tunggu sebentar, aku akan bersiap-siap," ucapnya yang di angguki Milla.

Sepeninggalan Iqbal, Milla berjalan ke samping halaman rumah Iqbal yang terbuka dan memperlihatkan hamparan sawah yang luas.

"Ini adalah usaha kami." Ucapan itu membuat Milla menoleh ke sampingnya dimana Ayah Iqbal berdiri di sampingnya dengan kaos putih, peci juga sarungnya. Milla tersenyum kikuk pada pria tua itu.

"Ibu dan Ayah saya juga memiliki sedikit sawah yang mereka bajak sendiri," ucap Milla.

"Kau berasal darimana, Neng?"

"Dari Surabaya, Om."

"Ah Surabaya, dulu Om pernah berkunjung kesana untuk bertemu sanak keluarga."

"Om memiliki saudara di sana?" tanya Milla tampak antusias.

"Ya begitulah, Om sebenarnya memiliki banyak keluarga, apalagi di Palembang karena istri Om asli dari sana." Milla mengangguk paham dan mengalirlah cerita mereka dan begitu tampak akrab hingga Iqbal datang dan mengajak Milla berjalan-jalan.

***

Iqbal membawa Milla berjalan-jalan menggunakan motornya berkeliling di sekitar daerah rumahnya. Banyak sekali pembahasan yang mereka bahas dan itu sungguh membuat Milla sangat nyaman.

Ia sudah mulai menautkan hatinya pada Iqbal, walau mungkin itu salah. Tetapi Milla hanya ingin berusaha mempercayai Iqbal. Mungkin setelah dari sini, Milla akan mengenalkan Iqbal pada keluarganya di Surabaya.

"Kamu lapar?" tanya Iqbal saat mereka sudah cukup lama berkeliling.

"Lumayan, kenapa?" tanya Milla.

"Sebaiknya kita makan dulu, ada tempat makan yang enak di sekitar sini, ayo." Milla mengangguk dan menaiki motor dan mereka berlalu menuju tempat makan yang di maksud Iqbal.

Sesampainya mereka di tempat makan, Iqbal langsung memesan makanan mereka.

"Jadi kapan Mas akan menjelaskan pada kedua orangtua Mas?" tanya Milla memecah keheningan.

Iqbal tampak terpaku sesaat hingga akhirnya ia tersenyum. "Mungkin setelah pulang dari sini," ucapnya.

"Aku sebenarnya tidak ingin memaksa, tetapi aku juga butuh kepastian dari Mas Iqbal," ucap Milla.

"Aku Paham Mil." Iqbal tersenyum kecil hingga pesanan mereka datang.

Seperti biasa Iqbal selalu memisahkan kulit ayam dan mengumpulkannya di sisi piring. "Tidak di makan?" tanya Milla.

Iqbal menggelengkan kepalanya. "Tidak sehat," jawabnya membuat Milla mengangguk.

"Padahal itu bagian terenaknya," kekeh Mila.

"Tidak baik untuk kesehatan, lain kali jangan keseringan memakan kulit ayam." Milla mengangguk paham.

***

CAMILLA

Aku baru saja selesai mandi, setelah pulang berjalan-jalan dengan mas Iqbal. Aku berjalan keluar dari kamar hendak mencari keberadaan mas Iqbal. Dimana mas Iqbal, tadi dia berkata akan menungguku di ruang tengah. Aku kembali berjalan menuju dapur, tetapi suara beberapa orang mengusik pendengaranku. Aku memang tak seharusnya menguping tetapi namaku di sebut dan itu sungguh membuatku sangat penasaran.

"Kenapa Iqbal? Bukankah kamu sudah mau bertunangan sama Intan?" kali ini Umi mas Iqbal mengatakannya dengan bahasa Indonesia tidak seperti sebelumnya.

"Umi, Hampura Iqbal. Tapi Iqbal atos mulai resep ka Milla, Iqbal hoyong serius ka anjeunna." Aku tidak mengerti apa yang di ucapkan oleh mas Iqbal, tetapi aku dapat memahami sedikit bahasa sunda.

"Teu BISA!!!" aku tersentak mendengar bentakan Umi nya mas Iqbal yang mengatakan larangan. "Umi Era ka kaluarga Intan! Pokoknya anterken eta awewe ka Jakarta, terus Iqbal balik deui kadieu jang tunangan jeng Intan." Aku meringis mendengar nada sinis dari Umi nya, dia masih tetap ingin Iqbal bertunangan dengan Intan.

"Umi-"

"Iqbal! Kamu teh buta, milih awewe itu daripada si Intan? Eta budak teh orang kota, tau sendiri kehidupan di kota teh kumaha! Pergaulannya belum tentu terjamin, tidak bisa di atur, sok resep hura-hura. Gimana kalau Cuma mau uang kamu saja? Udah jelas-jelas kamu teh TNI, pastilah eta budak teh ngebet pisan ka kamu! Dia gak akan bisa jadi istri nu baik jang maneh, beda sama Intan!" Aku tak tahan lagi mendengar penghinaannya. Apa sebegitu rendahnya aku di mata Ibu nya mas Iqbal?

Aku menghapus air mata yang entah sejak kapan sudah luruh membasahi pipi, aku memilih mengurung diri di kamar menunggu magrib menjelang.

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel