Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Resmi Menikah

“Seperti yang Bu Retno ketahui. Kedatangan kami kesini adalah untuk melamar Anjani untuk putra kami—Dimas Prasetya.” Pak Sutejo membuka suara, setelah selesai basa-basi dan meneguk teh hangatnya.

“Bagaimana, Bu?” tanya bu Tejo menatap ibu Anjani penuh harap.

“Kalau saya sih, terserah Anjani saja,” kata ibu menoleh pada Anjani yang masih tertunduk, berfikir.

Bisa-bisanya ibu bilang begitu? Perjodohan ini kan ide ibu, bagaimana bisa ibu justru bilang semuanya terserah Anjani?

Coba saja kalau Anjani menolak, pasti ibu akan menelannya bulat-bulat. Atau memasukkannya lagi ke dalam rahim. Kan ngeri.

“Gimana, An?” tanya Bu Tejo menatap ke arah Anjani yang masih terdiam.

‘Iya, Bu. Saya terima,” jawab Anjani, yang diiringi ucapan alhamdulillah oleh semua orang yang ada di ruang tamu itu, bahkan Mbak Sri yang sejak tadi menguping di dapur. Dan tentu saja Dimas, lelaki itu nampak tersenyum sambil mengucapkan syukur.

Sepertinya, hanya Anjani seorang yang tidak bersyukur saat ini. Dia masih berfikir menjadi seorang korban.

Andai saja Henry sudah bekerja dan hidup mapan. Pasti lelaki itu yang sekarang duduk bersama kedua orang tuanya untuk melamar Anjani. Bukan keluarga pak Tejo yang sama sekali diluar dugaannya.

Andai saja Henry lebih tegas dan bertanggung jawab terhadap hubungan mereka, pasti sejak dulu ibu merestui.

Ah, mau bagaimana lagi? Henry memang sudah tak bisa diharapkan.

“Kamu tidak ikut makan?” ujar Dimas yang baru saja keluar dari ruang makan, menyusul Anjani yang justru duduk di teras belakang.

Di halaman belakang itu, ibu menanam banyak sekali jenis bunga. Juga terdapat pohon mangga dan rambutan yang setiap tahun berbuah hampir bersamaan.

Kedua pohon itu adalah peninggalan bapak Anjani. Bapaknya menanam pohon mangga dan rambutan itu sendiri, saat Anjani masih sangat kecil.

Sekarang, kedua pohon itu sudah tumbuh tinggi menjulang, daun-daunnya yang rimbun mengalirkan oksigen bagi sesiapa yang duduk dibawahnya.

“Udah kenyang,” sahut Anjani singkat, tanpa menatap Dimas yang kini duduk di sebelahnya.

“Aku minta maaf, karena semua ini terjadi atas permintaanku.”

Apa katanya?

“Maksudnya?” Kini gadis itu menggeser duduknya, menatap wajah Dimas lekat-lekat. Meminta penjelasan atas apa yang baru saja didengarnya. Karena setau Anjani, perjodohan ini memang keinginan ibunya dan keluarga pak Tejo.

“Aku yang meminta ijin langsung pada bu Retno untuk melamarmu, An. Ini semua bukan semata perjodohan antara kedua orang tua kita. Tapi, memang aku yang ingin menikahimu,” jawab Dimas mantap, menatap lekat pada gadis cantik yang terlihat keheranan dan tak percaya.

“Kok bisa?” Anjani melongo. “Maksudku, kita nggak saling kenal. Kamu bahkan nggak tau siapa aku, dan aku juga nggak kenal sama kamu. Setauku, kamu kakak kelasku waktu SMA, tapi cuma itu yang kutau.”

Dimas tersenyum. Hanya melihat gadis itu berbicara saja sudah membuat jantungnya berdetak tak karuan.

“Sudah lama aku menyukaimu, An. Kamu saja yang tidak tau.”

***

“Ibu bohong ya sama Anjani? Ibu diam-diam bertemu dengan Dimas dan merencanakan semua ini, kan?” desak Anjani pada ibunya yang pura-pura sibuk mencatat pesanan kue.

“Kenapa ibu diem aja? Kenapa ibu nggak bilang apa-apa sama Anjani? Padahal Anjani kan berhak tau, Bu.”

“Iya, Ibu memang bohong. Tapi ini semua untuk masa depan kamu. Entah mau jadi apa kalau kamu tetap berhubungan dengan Henry, pacarmu yang madesu itu. Ibu ini lebih tua, lebih tau mana yang baik dan nggak buat anaknya.”

“Tapi Anjani masih cinta sama Henry, Bu. Nggak semudah itu buat Anjani melupakan dia. Kenapa ibu nggak kasih Anjani kesempatan untuk bisa move on dulu. Baru membicarakan pertunangan dan pernikahan? Kenapa mesti buru-buru? Memangnya Anjani hamil?”

“Hush, lambemu. Jangan sembarangan kalau ngomong. Lagipula, kalau nungguin kamu lupa sama Henry itu sampai kapan? Keburu teman-teman kamu punya cucu.”

“Dih, nggak sampai segitunya juga kali, Bu. Anjani kan masih muda. Di kota besar, umur dua tujuh itu biasa kalau belum menikah.”

“Tapi kamu itu ndak hidup di kota besar, An. Kuping ibu itu panas tiap belanja sayur selalu saja ditanyain pekara kapan kamu nikah? Dikira anak ibu itu ndak laku.”

Belum sempat Anjani menyangkal, ibunya keburu pergi masuk ke dalam kamar.

Mungkin beliau merasa jengkel dengan Anjani. Sedangkan gadis itu juga tak kalah dongkol.

Apalagi sejak pertemuan terakhirnya dengan Henry, sampai sekarang laki-laki tak juga menghubunginya. Telpon atau mengirim pesan pun tidak.

Apa semudah itu Henry melupakannya? Apa semudah itu ia merelakan Anjani dinikahi lelaki lain?

Mungkin benar, selama ini Anjani hanya buang-buang waktu saja mencintai lelaki seperti Henry selama bertahun-tahun lamanya.

Tidak ada gunanya lagi menyimpan perasaan pada seseorang seperti itu.

Tapi mengapa hati Anjani masih terasa begitu sakit? Apa sedalam itu cintanya pada Henry? Tak terasa bulir-bulir air matanya jatuh, menggaris pipinya yang mulus.

***

“Saya terima nikah dan kawinnya, Putri Anjani binti Ahmad Sobari dengan mas kawin perhiasan emas sepuluh gram dibayar tunai.”

“Bagaimana saksi? Sah?”

“Saaahhh!”

“Alhamdulillah.”

Dengan berlinang air mata, untuk pertama kalinya Anjani mencium tangan Dimas, suaminya. Sebagai bentuk kepatuhan seorang istri kepada suami.

Tak terasa waktu berjalan begitu cepat bagi Anjani. Dia bahkan tak menyangka, semua rencana pertunangan bahkan pernikahan mereka begitu lancar. Tidak ada halangan suatu apapun.

Seakan semesta mendukung niat baik Dimas. Mungkin benar kata orang, bahwa ridho Allah tergantung pada ridho orang tua.

Karena ibu Anjani merestui Dimas, maka tak ada penghalang baginya untuk mendapatkan gadis itu.

Satu-satunya hal yang belum Dimas dapatkan adalah hati Anjani. Gadis berwajah ayu itu memang belum membuka hatinya untuk Dimas. Karena selama ini yang ia lakukan hanyalah menuruti keinginan ibunya.

Semuanya demi ibu yang terlihat bahagia. Tak ada lagi yang Anjani harapkan. Meskipun hatinya belum ikhlas dengan semua yang terjadi padanya. Semuanya masih seperti mimpi baginya.

Anjani memang bertekat tak akan menolak Dimas, kecuali satu hal.

“Kamu harus janji sesuatu sama aku,” kata Anjani sehari sebelum pernikahan mereka berlangsung.

Sehari setelah Anjani puas menangis, bukan menangis untuk Henry, tapi lebih pada hatinya yang selalu kecewa. Menangisi cintanya yang terbuang sia-sia.

Tapi, walau bagaimanapun, Henry pernah ada dan pernah membuat hari-hari Anjani begitu cerah tanpa awan mendung, dan Anjani akan selalu mengingat hal itu.

“Janji apa?” tanya Dimas dengan tatapan teduh.

“Jangan pernah kamu sentuh aku, tanpa seijin dariku. Walaupun kita sudah sah menjadi suami istri.”

Dimas diam terpaku. Mencoba mencerna kalimat yang diucapkan calon istrinya itu.

“Gimana?” tanya Anjani memastikan.

Setelah diam sesaat, akhirnya Dimas pun mengangguk setuju. “Baiklah.”

“Aku harap kamu pegang janji kamu, Dim.”

“Kamu nggak perlu khawatir, Anjani. Laki-laki sejati tak pernah ingkar janji,” jawab Dimas mantap, dengan senyum lembut dan tatapan penuh kasih sayang pada sosok yang sudah dicintainya bertahun-tahun yang lalu.

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel