Pustaka
Bahasa Indonesia

Jodoh Pilihan Ibu

157.0K · Tamat
sekarjagat
141
Bab
8.0K
View
9.0
Rating

Ringkasan

Setelah memutuskan berpisah dengan kekasihnya, Anjani mantap menerima lamaran Dimas, seorang lelaki tampan berhati lembut yang mampu meluluhkan hati ibunya. Tidak mudah bagi Anjani menjalani pernikahan dengan lelaki yang sama sekali tidak dicintainya. Apalagi, hati Anjani masih bertaut pada Henry, mantan kekasihnya. Belum lagi, sikap buruk dan perlakuan ibu Dimas, membuat kehidupan rumah tangga Anjani semakin sulit. Di saat Anjani mulai membuka hatinya untuk Dimas, tiba-tiba saja Henry muncul dan berusaha merebut hati Anjani lagi. Mampukah Dimas menaklukkan hati Anjani dan mempertahankan pernikahan mereka? Atau Dimas harus merelakan Anjani kembali lagi pada Henry?

Cinta Pada Pandangan PertamaMenantuDesainerRomansaSweetPernikahanKeluargaLove after MarriageBaper

Membuat Keputusan

“Kapan kamu mulai cari kerja, Hen?”

“Kuliah S2-ku kan belum lulus, An. Aku nggak mau kuliah sambil kerja. Nanti nggak fokus,” jawab Henry masih menatap layar ponselnya.

“Kalau gitu, kapan kamu lulus?” tanya Anjani dengan nada kesal.

Namun Henry sama sekali tak menyahut. Matanya masih awas pada game di dalam ponsel.

“Mungkin tahun depan, atau tahun depannya lagi. Kenapa? Kamu mau nikah?”

“Iya.”

Seketika Henry terbelalak.

Kini bola matanya berpindah dari layar ponsel ke wajah Anjani yang cemberut di depannya.

“Jangan bercanda.”

“Aku nggak bercanda, Hen. Aku serius. Minggu depan aku mau tunangan.”

“Kok bisa? Sama siapa?”

“Itu nggak penting. Yang penting, sekarang hubungan kita itu bagaimana? Umurku sudah dua puluh tujuh tahun lho, Hen. Lagipula, kenapa sih kamu pakai lanjut S2 segala? Seharusnya, kamu cari kerja dulu, baru lanjut S2.”

“Udah dicari. Tapi belum ketemu yang cocok. Dari pada nganggur, mending aku lanjut S2. Nggak ada yang salah kan?”

“Memang nggak ada yang salah. Tapi dimata ibuku, walaupun kamu itu sarjana S2, kalau pengangguran yang dipandang sebelah mata. Ngerti nggak sih?” geram Anjani.

“Terus maumu apa?”

Gadis itu diam sejenak, napasnya berembus kasar. “Kita putus saja.”

“Lhoh, kok putus?” Kedua mata Henry membelalak seketika.

“Iya, kita putus!” tandas Anjani. "Oh ya, satu lagi. Jangan lupa kamu transfer semua hutang kamu ke aku."

“Hutang apa?” tanya Henry terheran-heran.

“Hutang selama kita pacaran. Biaya nonton, makan, jalan-jalan, juga kuota internet. Selama ini kan aku yang selalu bayar,” sahut Anjani kesal. “Nanti kukabari jumlahnya berapa,” ketusnya, seraya pergi meninggalkan Henry. Laki-laki yang sudah dipacarinya sejak dibangku sekolah itu.

Dulu, Henry begitu cemerlang dimata Anjani. Sosok lelaki yang pintar, tampan dan berprestasi.

Namun, kenyataan bahwa Henry adalah seorang anak manja yang tak biasa bekerja keras, membuatnya jengkel setengah mati.

Setelah lulus S1, Henry mendapat banyak sekali tawaran kerja. Namun tak satupun diambil.

Alasannya macam-macam, mulai dari gajinya yang tidak cocok, pekerjaannya berat dan terlalu menyita waktu, tidak bisa santai dan lain-lain. Hingga akhirnya, ia memutuskan untuk melanjutkan kuliah S2.

Kini Anjani paham, mengapa sejak dulu ibunya tak pernah merestui hubungannya dan Henry. Mungkin insting seorang ibu itu benar-benar ada.

“Henry itu madesu. Masa depannya suram. Gitu ya kamu belain terus,” keluh ibu suatu hari.

Bertahun-tahun lamanya ia berharap. Bertahun-tahun pula ia kecewa. Walaupun begitu, Anjani tetap cinta, tetap memaafkan. Lalu, ia mulai memupuk harapan demi harapan lagi. Padahal ia sudah pasti tahu, bahwa harapannya hanyalah kosong.

***

“Kok belum mandi?” tanya ibu yang tiba-tiba masuk ke kamar Anjani. Gadis itu masih sibuk mendesain baju, yang akan ia kirim kepada bosnya di butik tempatnya bekerja.

“Nanti, Bu. Tanggung nih, bentar lagi.”

“Calon tunanganmu sebentar lagi mau datang lho.”

“Sekarang to, Bu? Kukira besok.”

“Masih muda kok wes pikun. Ayo buruan sana.”

Tanpa babibu, Anjani melesat ke kamar mandi. Walaupun hatinya menolak pertunangan ini, namun ia tak berdaya.

Mau bagaimana lagi? Bertahun-tahun Anjani membantah ibu. Mungkin ini saatnya ia menurut apa kata orang tua tunggalnya itu.

Sepeninggal bapak, Anjani hanya hidup berdua bersama ibu yang punya usaha pesanan kue-kue tradisional. Usaha yang cukup terkenal di daerahnya. Cukup juga untuk menghidupi mereka berdua. Apalagi kini Anjani sudah bekerja.

Yang jelas, Anjani tak mau membuat ibu kecewa lagi. Membantah perkataan ibu, sama saja melukai hatinya. Dan Anjani tak mau itu terjadi.

“Senyum, An. Jangan cemberut begitu. Ndak sopan.”

“Nggih, Bu.”

Bagaimana Anjani bisa tersenyum? Pertunangan ini bukanlah keinginannya. Lagipula, Anjani belum kenal dengan laki-laki itu. Sosok yang selalu dibanggakan-banggakan oleh ibunya.

Dimas Prasetya adalah putra tunggal dari keluarga Sutejo. Keluarga terpandang yang punya usaha peternakan sapi.

Mereka punya puluhan sapi kualitas super yang kalau dijual bisa laku puluhan juta per-ekornya. Anak satu-satunya yang sejak kuliah dan akhirnya bekerja diluar kota itu, sengaja pulang untuk datang melamar Anjani. Padahal, mereka berdua sama-sama tidak saling kenal.

Kok Dimas mau? Pikir Anjani heran.

Anjani memang tidak kenal dengan Dimas. Hanya tau sekilas saja. Kebetulan mereka satu alumni di SMA yang sama. Lebih tepatnya, Dimas itu satu angkatan diatasnya. Kakak kelas.

Seingat Anjani, ia beberapa kali melihat Dimas di sekolah. Cowok berkacamata, culun, tidak gaul, dan tidak menarik menurut Anjani.

Membayangkan saja membuat gadis itu begidik ngeri. Haruskah ia menikah dengan laki-laki macam begitu? Tidak heran kalau sampai sekarang Dimas belum menikah.

Pasti tidak laku.

Aaaggghhhh!!! Kepala Anjani tiba-tiba pusing, ia berjalan menuju rak dapur untuk mengambil paracetamol. Kepalanya berdenyut sejak tadi pagi. Namun, sebelum ia menemukan obat yang dicari, terdengar seseorang mengetuk pintu rumahnya.

“Bu, mereka datang!” seru Anjani memanggil ibunya, yang masih sibuk di dapur bersama mbak Sri, asisten ibu dalam urusan masak memasak.

Hari ini, ibu sengaja memasak makanan istimewa demi menyambut calon besan, katanya.

“Bismillah ya, Nduk. Jangan lupa senyum,” Retno mengingatkan.

Kemudian wanita itu berjalan mantap menuju pintu rumahnya. Saat pintu itu terbuka, Bu Tejo yang berperawakan gemuk itu langsung menghambur memeluk Bu Retno.

Setelah pelukan itu terlepas, mereka cipaka cipiki. Cium pipi kanan kiri.

Lalu, disusul Pak Tejo yang tampak gagah meski sudah berumur, dengan kemeja batik merek ternama menjabat tangan bu Retno dengan senyum mengembang diwajahnya.

Kemudian yang terakhir adalah Dimas.

Laki-laki berbadan tinggi tegap, dengan rambut bersemu coklat tua. Wajahnya bersih, mulus tanpa kumis, dan juga tanpa kacamata. Tidak seperti yang sudah dibayangkan oleh Anjani sebelumnya.

Laki-laki itu menjabat tangan Bu Retno dengan sopan, lalu berjalan masuk ke dalam rumah dan duduk disofa setelah dipersilakan.

Sejenak, Anjani merasa takjub. Ini sungguh diluar dugaannya.

Bagaimana bisa Dimas yang dulu culun dan tidak menarik bisa berubah jadi setampan ini?

Jangan-jangan, dia melakukan bedah plastik. Ah, tapi nggak mungkin!

Harus berapa puluh sapi yang dijual buat bisa bedah plastik? Nggak masuk akal.

Jadi, bagaimana bisa seorang Dimas berubah sedrastis ini??

“Anjani? Kok malah bengong. Ayo sana, ambilkan minum buat tamu kita,” perintah ibu membuyarkan lamunan Anjani, yang masih terpesona melihat calon tunangannya.

“Sudah saya siapin teh hangatnya.” Mbak Sri yang datang dari arah dapur menyodorkan baki berisi cangkir-cangkir teh yang masih mengepulkan asap. "Hati-hati, An. Masih panas," Mbak Sri memperingatkan.

“Makasih, Mbak,” bisik Anjani sambil mengedipkan sebelah matanya.

Anjani meletakkan satu-persatu cangkir teh itu masing-masing untuk tamunya. Tak terkecuali untuk Dimas yang sejak tadi hanya menunduk.

Namun, saat Anjani meletakkan cangkir teh dihadapannya, laki-laki itu mendongak dan menatap Anjani tepat dimanik matanya.

Seketika itu juga, Anjani merasa sedikit limbung. Apalagi saat Dimas tersenyum menampakkan dua lesung pipinya, sambil mengucapkan terima kasih.

Aduhai, suaranya lembut bagai semilir angin. Membuat Anjani tersipu malu.

Namun dengan cepat gadis itu tersadar, kok bisa-bisanya dengan mudah ia tergoda dengan lelaki dihadapannya itu?

Mudah sekali dirinya lupa dengan Henry? Tidak, tidak! Belum tentu Dimas itu sebaik yang dikatakan ibu. Bisa saja kelakuannya buruk sehingga untuk menikah saja harus lewat perjodohan segala.

Atau jangan-jangan, Dimas pernah terlibat sebagai pengguna obat-obatan terlarang? Penggila dunia malam? Siapa tau, kan?

Lelaki itu sudah bertahun-tahun hidup di kota besar tanpa pengawasan kedua orang tuanya, sejak ia kuliah dan bekerja. Jarang sekali pulang ke rumah.

Anjani tak boleh lengah dengan ketampanan Dimas Prasetya. Kata orang, wajah itu bisa menipu.

Benar, kan?

***