Malam Pertama
“Sudah sholat isya’?” tanya Dimas pada Anjani, yang sedang membersihkan riasannya.
Untung saja, tadi Anjani meminta MUA untuk merias wajahnya natural saja. Atas permintaan Anjani, pernikahan mereka berdua berlangsung sangat sederhana. Hanya beberapa tamu saja yang diundang, beberapa teman dan kerabat yang sangat dekat.
Padahal Bu Tejo sudah membuat list undangan jauh-jauh hari, siapa saja yang akan diundang pada pernikahan putra satu-satunya itu.
Namun, keinginan itu terpaksa pupus karena Anjani maupun Dimas hanya ingin pernikahan yang sederhana saja.
Anjani merasa, pasti ia tak akan sanggup duduk atau berdiri terlalu lama di kursi pengantin. Menyalami ratusan orang yang bahkan ia pun tak kenal. Gadis itu pasti akan pingsan sebelum acara berakhir, dan Anjani tak mau hal itu sampai terjadi.
“Belum,” jawab Anjani atas pertanyaan suaminya.
“Mau sholat berjamaah?”
Deg.
Rasanya hati Anjani seketika mencelos mendengar pertanyaan Dimas. Laki-laki ini sungguh tak terduga.
Padahal, dulu Anjani sempat berfikir macam-macam tentang Dimas. Anjani mengira bahwa Dimas adalah penggila dunia malam, atau salah satu pengguna obat terlarang.
Tapi, ternyata semua itu tidaklah benar. Melihat betapa Dimas selalu berlaku sopan dan lemah lembut padanya, pastilah lelaki ini juga berakhlak baik.
“Aku ganti baju dulu ya,” sambung Anjani setelah selesai dengan make up remover-nya.
“Ya udah, aku keluar dulu. Jangan lupa kunci pintunya,” ujar Dimas sambil tersenyum pada Anjani.
Lalu lelaki itu berjalan keluar kamar, meninggalkan Anjani yang masih terbengong-bengong melihat sikap Dimas padanya.
Begitu perhatian dan sangat manis.
Beda sekali dengan Henry. Setiap subuh, Anjani harus jadi alarm hidup bagi pacarnya itu. Hanya untuk sekedar menelfon agar Henry bisa sholat subuh tepat waktu.
Namun, Anjani juga tidak yakin, apakah Henry benar-benar bangun atau malah tidur lagi setelah menerima telpon darinya.
Selesai sholat, Anjani mencium tangan Dimas. Ada sesuatu yang mengalir deras dalam dirinya, rasanya aliran darahnya menjadi lancar setelah sholat berjamaah dengan suaminya. Sakit kepala yang akhir-akhir ini sering mendera, tiba-tiba saja lenyap.
“Aku tidur duluan ya,” kata Anjani setelah merapikan mukenanya. “Awas, jangan dekat-dekat,” Anjani membuat batas antara dirinya dan juga Dimas dengan bantal guling.
Melihat sikap Anjani, bukannya membuat Dimas tersinggung, lelaki tampan itu malah tertawa.
Gadis ini lucu sekali. Batin Dimas dalam hati.
Ingin rasanya Dimas mencubit pipi istrinya yang mulus itu. Namun, Dimas tak ingin Anjani marah.
“Dim?”
“Hm?”
“Gimana perasaan kamu setelah kita menikah?” tanya Anjani saat Dimas merebahkan diri di sampingnya.
“Sangat bersyukur,” sahutnya dengan senyum manis.
“Karena?”
“Karena kamulah orangnya,” jawab Dimas, ekor matanya melirik Anjani sekilas. “Kupikir, kamu sudah menikah saat aku kembali ke sini. Tapi, aku bersyukur ternyata kamu masih lajang,” ucap Dimas sambil tersenyum menatap langit-langit kamarnya. “Kalau kamu?”
“Aku?”
“Hmm.”
“Entahlah, Dim. Aku masih belum percaya kalau semua yang terjadi ini adalah kenyataan.”
***
“An ... Anjani,” bisik Dimas membangunkan istrinya untuk sholat subuh.
Sepertinya Anjani sangat terlelap, ia bahkan tak juga bangun saat Dimas mulai membelai wajah ayunya. Menyibak helai-helai rambut yang menutupi wajahnya.
Sejenak, Dimas hanya menatap Anjani yang masih menutup matanya rapat-rapat di hadapannya.
Gadis ini begitu cantik, bahkan lebih cantik dari saat pertama kali Dimas melihatnya di sekolah dulu.
Lelaki itu tau, istrinya ini tidak punya perasaan apa-apa padanya. Namun, dengan ijin Allah, Dimas yakin pasti bisa membuat Anjani mencintainya.
Entah kapan hal itu akan terjadi. Yang bisa Dimas lakukan hanyalah berusaha menjadi suami terbaik bagi Anjani. Selebihnya, itu akan menjadi urusan Allah.
Bukankah hanya Dia yang Maha membolak-balikkan hati manusia?
“Anjani, aku sholat ke masjid dulu ya,” bisik Dimas lagi, kali ini sengaja ia dekatkan ke telinga istrinya, membuat gadis itu membelalak kaget.
“Eh, ngapain kamu?!”
“Ssstt, jangan teriak. Nanti ibu dengar.”
Ups! Anjani buru-buru menutup mulutnya.
“Aku mau ke masjid. Sholat berjamaah.”
Anjani mengerjap lalu mengangguk samar, sedikit takjub melihat Dimas yang sudah rapi dan wangi, lengkap dengan setelan baju koko dan sarung.
Ganteng sekali. Puji Anjani dalam hati.
“Assalamu'alaikum,” ucap Dimas tersenyum sebelum menghilang dibalik pintu.
“Wa'alaikumsalam.” Lagi-lagi Anjani mengerjapkan matanya, tiba-tiba ia sadar akan penampilannya.
Buru-buru ia turun dari kasur dan mendekati meja rias.
“Ya Tuhaaaan! Kenapa mukaku berantakan begini? Rambut juga udah kayak singa beranak! Astaga, berarti tadi Dimas melihatku dengan penampilan ini?” ucap Anjani menutup wajahnya dengan kedua tangan.
Malu juga ia terlihat jelek di depan Dimas. Mengingat betapa rapi dan tampannya suaminya, ia jadi merasa malu sendiri.
Besok-besok ia harus bangun lebih pagi dari suaminya itu.
“Anjani belum bangun?” tanya Bu Retno saat melihat menantunya hendak membuka pintu depan, untuk berjalan ke masjid yang ada diujung jalan.
“Sudah kok, Bu. Tapi biarlah tidur lagi sehabis sholat subuh. Anjani pasti capek.”
Capek??
Tiba-tiba Bu Retno mengangguk lalu tersenyum penuh arti. Tentu saja capek, semalam kan malam pertama bagi mereka berdua. Pikir Bu Retno sambil senyum-senyum sendiri lalu balik ke dapur, membantu mbak Sri yang sudah siap dengan menu catering hari ini.
“Sepertinya, sebentar lagi aku akan menimang cucu,” gumam Bu Retno pada Mbak Sri, yang sedang mengaduk sambel goreng kentang di atas wajan besar.
***
“Sore ini aku harus balik ke rumah, An. Soalnya hari senin aku harus masuk kantor lagi. Gimana? Kamu mau ikut?”
“Ya harus ikut. Bener kan, An?” sahut ibu dengan penuh semangat, hanya membayangkan ia akan segera punya cucu, membuat Bu Retno punya energi lebih.
“Ibu gimana? Anjani nggak tega ninggalin ibu sendirian.”
“Halah, kan ada Mbak Sri.” Bu Retno mengibaskan tangannya.
“Tapi Anjani tetap mau tinggal disini, Bu.”
“Ya sudah kalau gitu ....”
“Nggak. Nggak boleh,” dengan cepat Bu Retno memotong perkataan menantunya. “Dimana-mana itu, seorang istri harus ngikut sama suami. Pokoknya ibu ndak setuju kalau kalian tinggal terpisah. Harus tetap sama-sama.”
Anjani melirik Dimas, memberi kode, meminta bantuan untuk membujuk ibu. Namun, bukannya menuruti keinginan Anjani, Dimas malah hanya diam saja, menyimak nasihat ibu mertuanya yang dianggapnya benar.
“Lebih baik sekarang kamu beres-beres. Nanti sore kalian berangkat. Ingat, istri itu makmum bagi suami. Artinya, tugas utama seorang istri itu ya berbakti kepada suaminya.”
“Iya, Bu.” jawab Anjani lemah.
Mau apa lagi? Dia sudah jelas kalah kalau ibu sudah berkata seperti itu. Anjani tak mungkin lagi membantah lagi.
“Kamu yang sabar ya, Dim. Anjani itu keras seperti batu. Tapi ibu yakin, suatu hari nanti kamu pasti bisa melunakkannya,” ujar Bu Retno setelah Anjani pergi ke kamar.
“Doakan Dimas ya, Bu.”
“Pasti, ibu akan selalu mendoakan kalian berdua.”
Dimas tersenyum. “Ibu jaga kesehatan ya. Kami pasti akan sering berkunjung.”
Bu Retno manggut-manggut, kedua bola matanya berembum.
“Tolong jaga Anjani baik-baik ya. Ibu percaya kamu pasti bisa.”
“Iya, Bu. Mohon doanya. Semoga Anjani bisa menerima Dimas sebagai suaminya. Dan mencintai Dimas seperti Dimas mencintainya.”
“Iya, doa ibu akan selalu mengalir untuk keluarga baru kalian. Ibu ndak bisa kasih apa-apa selain doa. Jaga diri kalian baik-baik. Jangan lama-lama kalau berantem, dan tolong kamu maafin Anjani ya, kalau dia sering bicara kasar sama kamu. Ibu kenal betul dengannya, Anjani itu mudah sekali marah tapi mudah juga redanya. Jadi jangan diambil hati ya.”
Dimas tersenyum, lalu mengangguk mengerti.
***