Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Chapter 6

Sebulan kemudian....

Zala POV

Hari ini gak ada mata kuliah tapi tetep musti Dateng ke kampus, bukan cuman gue doang tapi satu kelas bahkan seluruh fakultas di kampus gue. Karena ada semua sibuk mempersiapkan acara yang di adakan setiap tahun di kampus gue, sebenarnya gak semua sih buktinya gue hehehe.

Sekarang gue malah mojok di perpustakaan, bukan sama doi atau sejenisnya. Gue lagi mojok sama

buku tebel yang lagi gue baca nih hehe di tambah alunan musik yang gue denger dari headset gue.

Toh orang-orang gak bakal sadar ada gak ada gue, karena mana mungkin mereka kenal sama gue karena gue jarang berbaur sama mereka. Bahkan sama kak Bianca saja hampir gak pernah ketemu kalau di kampus kecuali pas balik dan berangkat ngampus. Gue lebih seneng sendirian karena gue bisa berbuat sesuka gue, tapi di bandingkan di perpustakaan. Gue lebih sering di ruang musik, gak banyak yang kesana. Palingan band kampus yang kesana tapi gak tiap hari, hari Senin,

Rabu dan kamis doang.

Selebihnya gue yang ambil alih hehehe, disana gue bisa nyalurin hobby gue. Yaitu ngedance sama main gitar, dulu pas SD sering ngintip sanggar dance deket sekolah gue. Dari situ gue jatuh hati sama yang namanya dance, walau butuh perjuangan gue bisa masuk tuh sanggar namun akhirnya gue bisa gabung juga dan itu berkat kebaikan pemilik sanggar. Beliau sering curi-curi pandang sama gue yang sering ngintip, pas beliau tanya gue mau gak gabung. Gue bilang iya tapi gue gak

punya duit, dia senyum dan ngajak gue masuk.

Awalnya gue nolak karena ngeliat pakaian gue yang lain dari yang lain, namun dengan gigih beliau ngeyakinin gue bahwa gue sama saja. Akhirnya gue mau dan sejak itu gabung di sanggar dan tanpa membayar apapun, walau temen-temen gue pada ngatain gue ini itu. Gue gak perduli, bagi

gue mereka hanya angin lalu. Gak bisa bikin gue berhenti menari dan terbukti gue bisa bikin bangga pemilik sanggar yang udah baik sama gue, pas lomba antar kabupaten gue dapet juara 1

dan itu suatu kebanggaan tersendiri.

Kalau siang gue di sanggar dan malamnya gue sering kerumah pak Salman, dia tuh bujang lapuk

yang sering nongkrong di teras rumahnya sama gitar kesayangannya. Dia orangnya baik kok, udah nasibnya aja jadi perjaka tua. Karena keseringan main sama dia gue jadi tertarik buat belajar gitar sama dia, lama kelamaan itu jadi hobby gue sekaligus nyalurin perasaan gue.

Gue jarang dirumah walau umur gue masih belia, gue gak betah di rumah karena kalau gue lama-lama disana. Gue bakal jadi sasaran empuk amarah nyokap gue atau bokap tiri gue yang nyiksa gue tanpa ampun, sedangkan gue hanya bisa nangis dan minta ampun. Apa yang bisa dilakukan

anak kecil umur 9 Tahun selain menangis dan memohon, walau gitu gue tetap berterimakasih

karena mereka masih ngebiarin gue sekolah. Walau beli alat tulis dan buku gue sendiri dengan uang hasil keringat gue sendiri, walau sepatu dan baju gue hasil pemberian orang lain.

Walau gue belajar dingin-dinginan bahkan digigit nyamuk di pos ronda, dan gue gak bisa kayak anak-anak lain yang bisa main dan bermanja-manja dengan orang tua mereka. Tapi gue

ngebuktiin pada dunia kalau gue bisa, kalau gue mampu. Bahkan makan pun untung sehari sekali, untungnya gue punya tetangga-tetangga baik, mereka ngasih kerjaan sama gue dan dengan

seneng hati gue terima. Walau gue cuman di kasih nasi gak papa, asal gue bisa kerja dan gak minta-minta.

Cukup lama hidup gue kayak gitu, sebelum bokap gue dateng ngebiayai hidup gue. Gue sangat bersyukur Tuhan mempertemukan gue sama beliau, karena berkat beliau gue bisa kuliah kayak gini. Kalau gak ada bokap gue entah apa yang terjadi mungkin gue udah jadi gelandangan mungkin di kampung gue sendiri atau lebih parah dari itu. Gak ada yang spesial dalam hidup gue, semua hanya serpihan-serpihan luka yang gue simpen rapat-rapat dalam hati gue dan gue

sembunyikan di balik senyuman yang gue beri.

Gak ada satu orang pun yang tau kesedihan gue, selain diri gue sendiri dan tuhan. Ah, jangan ingetin gue lagi sama masa lalu gue yang gak benget itu. Kita lupain masalalu dan sekarang kita pikirkan saja masa depan, mau kemana dan jadi apa entar? Itu lebih menyenangkan di bandingkan mengingat hal yang memuakkan.

******

Pribadi Zala yang tertutup membuatnya tidak terlihat bahkan di kelas, dia tidak terlalu banyak bicara dan aktif di kelas. Walau otaknya memiliki IQ di luar batas standar, dia tidak berniat untuk

menjawab satu pertanyaan dari dosennya kecuali jika dia di tanya. Kepribadiannya yang tertutup

dan jarang berinteraksi kadang membuat dia jadi bahan obrolan baik teman-temannya sekelasnya atau dosen yang mengajarnya. Tiba-tiba saja ponsel berdering, dilihat layar ponselnya yang kini menyala. Ternyata pesan dari Bianca, Zala membuka pesan tersebut dan membacanya.

From kak Bianca :

“Dek, bisa gak kamu ke ruang presiden kampus bentar. Labtop kakak eror nih, kamu bisa perbaiki

kan?.”

Dengan cepat Zala menjawabnya.

“Iya kak, dimana ruangannya? Entar aku kesana.”

“Ruangannya tuh di Deket ruang rektor, cuman berjarak dua ruangan doang dari ruang rektor.”

"Oke, aku kesana"

Dengan cepat Zala berjalan menuju ke ruangan yang di maksud Bianca. Sedangkan Bianca terlihat kebingungan, pasalnya ada file yang belum sempat dia save udah keburu eror duluan. Namun tiba-tiba saja ada yang mengetuk pintunya ruangannya. Itu pasti Zala pikirnya lalu bergegas Tapi sayangnya bukan adiknya yang kini berdiri didepannya, melainkan dua monyet alias Nina dan Zoya.

"Napa muka Lo kucel gitu?" Tanya zoya sambil berjalan masuk.

"Ini laptop gue eror padahal dikit lagi selesai laporan gue" jawab Bianca dengan wajah kesal.

Sedangkan Zoya hanya memangut-mangut saja.

"Mau gue panggilin Didit buat perbaiki labtop Lo?" Tawar Nina

"Gak usah deh, gue gak mau nambah pekerjaan dia. Apalagi dia penata panggung pasti lagi sibuk sekarang, gue udah nyuruh adek kesini" jawab Bianca dengan wajah lesu.

Tiba-tiba saja terdengar suara ketukan pintu membuat semua orang menoleh kearah pintu, dengan cepat Bianca membuka pintu. Dia bernafas lega melihat siapa yang datang, ya dia Zala.

"Masuk dek" ucap Bianca, Zala mengangguk saja lalu mengikuti Bianca.

Sedangkan dua sahabat Bianca terlihat bingung dan penasaran siapa orang yang Bianca adek itu.

"Kak mana labtopnya?" Tanya Zala, dengan cepat Bianca mengambil labtopnya dan memberikannya pada Zala. Zala berjalan menuju kursi dan duduk di sana lalu mengutak-atik

benda canggih tersebut, mungkin mencari akar masalah.

"Tadi kakak apain labtopnya?" Tanya Zala tanpa mengalihkan pandangannya dari laptop milik Bianca.

"Gak kakak apain kok, kakak cuman ngetik doang terus tiba-tiba aja mati, pas di aktifkan lagi malah cuman Windows doang yang muncul." jawab Bianca.

Zala hanya mengangguk paham, di letakan ranselnya di samping lalu melepas jaket miliknya karena dia merasa sangat gerah. Menyisakan kemeja biru laut dan celana jeans selutut, dia terlihat sangat keren bahkan kedua temen Bianca terpesona.

"Anjay, kalau modelnya kayak gini malah gue rela jadi belok" gumam Zoya tanpa sadar.

"Gila, sadis parah. Pesonanya nusuk hingga ke jantung bikin deg-degan bok" gumam Nina lebay.

Sedangkan Zala terlihat acuh, dia fokus pada labtop di depannya. Bianca terkekeh geli melihat wajah teman-temannya yang terlihat lucu, dia memang sudah menyangka jika begini. Siapa sih gak terpesona sama tampang Zala yang bikin mata tak berkedip, bahkan dia pun sempat terpesona tapi itu dulu kalau sekarang gak lagi.

"Woy biasa aja kali liatnya" pekik Bianca menyadarkan kedua sahabatnya yang kini menatap Zala tanpa berkedip bahkan mulut mereka menganga.

"Setan, ngagetin aja lo. Gak bisa liat temen seneng dikit aja" keluh Nina

"Tau nih, bia boleh gak adek Lo gue bungkus dan bawa pulang" ucap zoya asal.

PlakkkkkkkK

Lima jari Bianca sukses mendarat dengan indahnya di kepala Zoya, membuat wanita itu meringis kesakitan.

"Sakit bego" ketus Zoya sambil mengelus kepalanya yang terasa berdenyut-denyut.

"Salah sendiri, ngebacot suka gak di saring lagi. Lo pikir adek gue apaan di bungkus-bungkus"

ucap Bianca sinis, sedangkan Zoya nyengir polos.

"Habis adek Lo cool abis" ucap zoya dengan tampang pengen di tabok.

"Adek siapa dulu hehehe" ucap Bianca bangga dan mengangkat dagunya angkuh.

Sedangkan kedua sahabatnya berdecik kesal.

"Dek, nama Lo siapa?" Tanya Nina kepo.

Sontak Zala mengdongkak kepalanya dan menatap Nina bingung.

"Nanya gue ya kak?" Ucap Zala rada lemot sedangkan Nina memutar matanya malas.

"Hahaha, bia adek Lo sama Lo gak jauh Lodingnya lama hahaha" ejek Zoya membuat wajah Bianca cemberut sedangkan Zala hanya terkekeh.

"Tau nih, emang disini yang masih bocah siapa? Gue mah udah gede. Udah halal nonton bokep"

ucap Nina sedikit jengkel.

"Hehe, kali aja bukan nanya gue kak. Nama gue Noushin Gazala panggilannya sesuka hati kakak

aja" jawab Zala dengan senyum di bibirnya.

"Oke deh, terus Lo ngambil jurusan apa?" Tanya Nina kepo, dia emang kepo abis anaknya.

"Hukum kak" jawab Zala singkat, Nina sedikit tersentak. Dia tidak menyangka jika mereka satu gedung.

"Serius Lo hukum, kok gue jarang ngeliat Lo ya?" Tanya Nina bingung, sedangkan Zala tersenyum.

"Gue jarang ngumpul-ngumpul sama yang lain" jawab Zala seadanya. Nina hanya manggut-manggut saja.

"Kak bian, nih labtopnya udah selesai" ucap Zala, sedangkan Bianca terlihat senang.

Secepat kilat di bawahnya labtopnya ke pangkuannya dan memeriksa data-datanya, ya mungkin saja masih ada file yang dia kerjakan tadi kalau pun sudah tidak ada yam au bagaimana lagi dia harus membuatnya dari awal tapi syukurnya masih ada. Dia menghela nafas lega karena gak perlu repot-repot ngulang lagi ngetik.

"Eh guys, fakultas kita belum ada perwakilan nih buat acara kampus entar. Gimana nih, mana mahasiswa tahun ini anak-anaknya gak punya keterampilan yang nonjol" ucap Bianca sambil mendesah Kecewa sekaligus bingung.

"Serius, gak ada satu pun gitu?" Tanya Zoya tidak percaya.

"Ada sih tapi cuman sedikit banyakan bolong, ini yang dance gak ada. Mana pembukaan tahun ini di buka sama fakultas kita lagi" jawab bianca.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel