Bab 2. Pertemuan
Pupil mata cokelat Selena lantas terbelalak. Wajahnya yang semula tak berekspresi berubah menjadi dingin dalam sekejap. Tidak hanya itu, urat-urat di lehernya seketika menyembuh keluar, menandakan bila Selena tengah marah besar. Selama Selena hidup, tidak pernah ada pria yang mengatakan hal yang sangat menjijikkan barusan.
Selena baru saja mendengar kata-kata yang tak pantas dikeluarkan dari seorang pria yang mempunyai kekuasaan di negeri kincir angin ini. Ialah anak bungsu dari orang yang digadang-gadang bisa membuat orang lenyap hanya dengan menjentikkan jari-jemarinya saja.
"Maaf Tuan, aku bukan lah jalang! Badanku tidak ada harganya, sebaiknya Anda menyewa wanita lain saja untuk memuaskan birahi Anda!" balas Selena penuh penekanan. Tak ada rasa takut yang tersirat di mata Selena, justru rasa jijik yang terpancar.
Mendengar tanggapan Selena. Abraham justru terkekeh pelan. Wanita yang memiliki rambut panjang sepinggang ini membuat Abraham jadi semakin penasaran. Selagi Abraham tertawa-tawa di sofa, tangan Selena terkepal erat, menahan amarah karena reaksi Abraham membuatnya semakin meradang.
"Apa ada yang lucu?" tanya Selena, berusaha meredam amarah yang sudah sampai di ubun-ubun. Andaikan, andai saja lelaki ini bukan atasannya, mungkin saja i-pad yang dipegangnya dari tadi sudah melayang ke kepala Abraham, tapi mengingat tindakan seperti itu akan merugikannya dan bisa saja dia dipidanakan. Tentu saja Selena hanya bisa menahan amarahnya dan hanya bisa menatap dingin Abraham saat ini.
Perlahan, Abraham menghentikan tawa. "Hei, aku cuma bercanda kok, kau bukan tipeku Selena, lagipula aku menyukai wanita yang memiliki dada yang besar, sementara kau tidak."
Selena tersinggung? Tentu saja tidak. Dalam hitungan detik, ekspresi Selena berubah drastis. Tak ada lagi urat menegang di wajah atau pun kepalan tangannya terlihat. Wanita itu malah menyeringai tipis. Sebuah reaksi yang membuat Abraham bergedik ngeri sedikit.
"Bagus lah jika aku bukan tipe Tuan, tapi maaf lelucon Tuan sangat berlebihan, lagipula aku tidak tertawa sama sekali sejak tadi, bukankah disebut lelucon bila sang lawan bicara ikut tertawa?" kata Selena, masih dengan senyum tipis mengembang di bibir. Namun, senyumnya seolah-olah mengejek Abraham.
Abraham tercengang. Lelaki beralis tebal itu kehabisan kata-kata. Selena begitu sulit ditebak. Baik pemikiran mau pun reaksinya barusan.
Seketika, suasana mendadak canggung. Selena bergeming, menatap lurus Abraham sambil melempar senyum.
Abraham buru-buru memutus kontak mata dan beralih mengancingkan kemeja yang dari tadi terbuka lalu menoleh ke arah Selena kembali.
"Oke aku kalah, sudah lah jangan dibawa serius, kau ini satu-satunya sekretaris yang kaku seperti kanebo, baiklah apa jadwalku?" lontar Abraham, berusaha mengalihkan topik pembicaraan.
Selena tak mengucap sepatah kata pun. Justru secepat kilat memeriksa jadwal Abraham sore ini.
Kurang lebih dua menit, Selena sudah selesai mengulir layar i-pad lalu menoleh ke arah Abraham kembali.
"30 menit lagi Tuan ada pertemuan dengan Tuan Alex dari perusahaan Lenyes di restoran Burn. Sebaiknya kita berangkat sekarang," papar Selena, kembali mode sikap profesional dalam berkerja.
Abraham mengangguk, lantas merapikan setelan jasnya. Selena bergegas keluar, menyiapkan apa saja yang akan diperlukan untuk pertemuan nanti.
***
Tak lama kemudian, Selena dan Abraham telah tiba di Restaurant Burn. Begitu masuk ke restaurant, semua mata langsung tertuju pada Abraham, terutama kaum wanita yang sore ini tengah menikmati waktu mereka di restaurant.
Pesona Abraham memang tak dapat diabaikan. Pria berperawakan tinggi nan kekar, bermata tajam hidung mancung nan dan memiliki bulu-bulu halus di rahang, selalu menjadi pusat perhatian di mana pun dia berada. Meski tidak tersenyum, tapi melalui matanya Abraham diam-diam melempar senyum kepada para wanita yang memandang ke arahnya saat ini.
Namun, berbeda dengan Selena, terlihat biasa saja. Wanita dengan tinggi 170 cm itu hanya diam saja. Melangkah di samping Abraham sambil menatap lurus ke depan. Sedari tadi mengabaikan tatapan sinis para wanita di sekitar padanya. Selena sekali pun tak terusik dengan celotehan para kaum hawa.
Hal itu membuat Abraham mengerutkan dahi sedikit.
"Selena, bisakah kau tersenyum sedikit, aku seperti berjalan bersama hantu," celetuk Abraham asal-asal.
Selena melirik ke samping. "Ya sudah anggap lah aku hantu, Tuan," katanya lalu menoleh ke depan kembali.
"Lama-lama aku ingin sekali membawamu ke atas ranjang," kata Abraham menyungging senyum jahil, sengaja memancing amarah Selena.
"Hentikanlah lelucon Anda yang garing itu, ayo percepat langkah kaki, kita terlambat satu menit."
Abraham enggan menanggapi, justru menuruti perkataan Selena. Dia tak dapat menampik, kedisplinan Selena membuatnya tak bisa marah. Selena, salah satu sekretaris yang terbilang cukup lama berkerja di bawah tekanannya. Sebab sebelum-belumnya sekretaris hanya berkerja selama dua bulan saja. Abraham tak tahu apa yang membuat sekretaris mengundurkan diri dan Abraham tak mau ambil pusing.
Saat ini, Selena dan Abraham telah tiba di ruang pertemuan. Di dalam, Alex berserta sekretarisnya sudah menunggu dan langsung menyambut kedatangan mereka. Dengan cepat kedua manusia itu berdiri lalu melempar senyum pada Selena dan Abraham secara bergantian.
"Apa aku sedang bermimpi? Aku baru saja melihat bidadari turun dari langit, Abraham aku tidak menyangka sekretarismu ini begitu cantik dan mempesona, apa kau sudah menggaulinya? Jika belum, izinkan aku menyentuhnya terlebih dahulu," kata Alex tiba-tiba, sambil menghampiri Abraham dan Selena.
