Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bayangan yang Bangkit

Malam di kompleks perumahan terasa lebih dingin dari biasanya. Angin berdesir perlahan, membawa aroma tanah yang lembab setelah hujan ringan. Wulan masih berdiri di depan jendela, matanya menatap kosong ke arah jalanan yang sepi. Dadanya masih berdebar, pikirannya penuh dengan suara perempuan misterius yang barusan muncul.

"Sekarang, kamu telah memulai sesuatu yang tak bisa dihentikan." bisikan itu membuat bulu kuduk Wulan berdiri.

Suara itu masih saja menggema di kepalanya, seolah menancap di dalam benaknya. Siapa perempuan itu? Mengapa ia mengatakan hal seperti itu? Wulan menelan ludah, perasaannya mulai bercampur aduk antara ketakutan dan kepuasan.

Di belakangnya, Rendra masih berdiri di ruang tamu, wajahnya penuh kebingungan. “Wulan, siapa perempuan itu?” tanyanya dengan suara serak.

Wulan berbalik, menyadari bahwa Rendra masih tampak gelisah. Namun, di balik kegelisahannya, ada sesuatu yang lain dalam tatapannya. Keraguan? Ketakutan? Atau… daya tarik yang perlahan mulai muncul?

“Entahlah,” jawab Wulan, mencoba terdengar meyakinkan. “Mungkin seseorang dari lingkungan ini. Aku juga tidak tahu.”

Rendra menghela napas panjang, lalu duduk di sofa, kepalanya tertunduk. “Aku merasa ada sesuatu yang berubah sejak beberapa hari terakhir. Aku merasa… seolah aku bukan diriku sendiri. Setiap kali aku menatap Indira, aku merasa jauh darinya. Tapi saat aku melihatmu…”

Ia berhenti, matanya bertemu dengan Wulan. Ada sesuatu yang bergetar di sana. Wulan tahu bahwa jampi-jampinya mulai bekerja.

Namun, di balik keberhasilan itu, ada sesuatu yang lain—sebuah perasaan yang mengintai di balik kesadarannya, seolah ada sesuatu yang ia lepaskan, sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri.

Sebuah Ketukan di Pintu

Sebelum Wulan sempat menjawab, terdengar ketukan di pintu. Tiga kali, pelan, namun tegas.

Rendra dan Wulan saling berpandangan.

“Siapa yang datang malam-malam begini?” gumam Rendra.

Hati Wulan kembali berdegup kencang. Ia melangkah perlahan menuju pintu, menempelkan telinganya di sana. Tak ada suara lain selain angin yang berdesir lembut. Namun, perasaan tidak nyaman semakin kuat.

Dengan ragu, ia membuka pintu.

Tidak ada siapa pun.

Namun, di depan pintu, ada sesuatu yang tertinggal di lantai. Sebuah kotak kecil berwarna hitam.

Wulan menelan ludah, lalu mengambil kotak itu dan membawanya ke dalam rumah. Rendra ikut berdiri, penasaran dengan benda itu.

“Kau yakin mau membukanya?” tanya Rendra dengan nada ragu.

Wulan mengangguk. Dengan tangan gemetar, ia membuka kotak itu perlahan.

Di dalamnya, ada secarik kertas tua yang terlipat rapi. Saat Wulan membukanya, ia bisa melihat tulisan tangan yang tampak tergesa-gesa:

"Apa yang telah dimulai harus diselesaikan. Kau memanggil sesuatu yang lebih besar dari dirimu. Bersiaplah."

Jantung Wulan hampir melompat dari dadanya. Ia meremas kertas itu, merasa seolah-olah seseorang sedang mengawasinya dari kegelapan.

“Wulan, apa isinya?” tanya Rendra.

Wulan menggigit bibirnya, mencoba mencari jawaban. Ia tidak bisa mengatakan yang sebenarnya—tidak sekarang.

“Hanya surat tak jelas,” katanya, suaranya bergetar. “Mungkin hanya seseorang yang iseng.”

Rendra menatapnya curiga, tapi tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya duduk kembali, mengusap wajahnya yang lelah.

Wulan tahu bahwa sesuatu sedang terjadi. Jampi-jampinya memang bekerja, tetapi ia mulai sadar bahwa ia tidak sepenuhnya memahami apa yang telah ia lakukan.

Malam itu, setelah Rendra pulang, Wulan duduk di lantai kamarnya, mengamati lilin-lilin yang kini sudah padam. Ia meraih pakaian dalam milik Rendra yang masih ia simpan.

“Apa yang sudah aku lakukan?” bisiknya pada dirinya sendiri.

Namun, jauh di dalam dirinya, ada perasaan puas. Rendra mulai menjauh dari Indira. Itu berarti ia selangkah lebih dekat dengan tujuannya.

Pergeseran yang Tak Terlihat

Keesokan harinya, Wulan bangun dengan perasaan aneh. Udara di kamarnya terasa lebih dingin dari biasanya. Ia melirik ke arah jendela dan melihat bahwa embun pagi menempel di kaca.

Saat ia melangkah keluar dari rumah untuk membeli kopi di minimarket terdekat, ia merasa ada sesuatu yang berubah. Tetangga-tetangga yang biasanya ramah kini menatapnya dengan cara yang aneh—seolah mereka tahu sesuatu yang tidak ia ketahui.

Saat ia melintasi rumah Rendra, ia melihat sesuatu yang membuatnya tertegun.

Indira sedang duduk di teras rumahnya, wajahnya pucat, matanya sembab. Ia tampak seperti seseorang yang tidak tidur semalaman.

Namun, yang paling mengejutkan Wulan adalah cara Indira menatapnya—seolah-olah ia bisa merasakan sesuatu yang salah.

Saat Wulan hendak berbalik, Indira berdiri.

“Wulan,” panggilnya.

Langkah Wulan terhenti. Ia menoleh dengan hati-hati.

“Ada apa?” tanyanya, mencoba terdengar biasa.

Indira berjalan mendekatinya, matanya masih terlihat kosong. “Aku tahu sesuatu telah berubah,” katanya pelan. “Rendra… dia bukan seperti biasanya. Aku bisa merasakannya. Dan aku tahu, kau ada hubungannya dengan ini.”

Jantung Wulan berdebar. Ia mencoba mempertahankan ekspresi datarnya. “Aku tidak tahu maksudmu, Indira.”

Indira tersenyum tipis, namun bukan senyum ramah—lebih seperti senyum seseorang yang tahu sesuatu yang tidak seharusnya diketahui.

“Kamu pikir aku tidak tahu?” bisiknya. “Aku tahu apa yang kamu lakukan, Wulan. Tapi kamu tidak mengerti dengan siapa kamu berurusan.”

Wulan merasakan hawa dingin menjalari tulang punggungnya.

Indira mendekat, hingga wajah mereka hampir sejajar. “Jangan berpikir bahwa kau satu-satunya yang memahami dunia ini.”

Sebelum Wulan sempat merespons, Indira berbalik dan masuk kembali ke rumahnya, meninggalkan Wulan yang masih berdiri kaku di tempatnya.

Hati Wulan berdegup semakin kencang.

Indira tahu sesuatu.

Namun, lebih dari itu…

Indira juga bukan perempuan biasa.

Malam yang Mencekam dan begitu terasa remang juga.

Malam itu, saat Wulan tengah bersiap untuk tidur, ponselnya berbunyi. Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal.

"Kamu sudah membuka gerbangnya. Bersiaplah menghadapi konsekuensinya."

Jari-jari Wulan gemetar saat membaca pesan itu.

Lalu, tiba-tiba, lampu di kamarnya berkedip-kedip.

"Bagus,"

Lilin-lilin yang ia gunakan untuk ritual beberapa malam lalu tiba-tiba menyala sendiri.

Dan di sudut kamar, bayangan perempuan berbaju hitam itu muncul kembali, tersenyum mengerikan.

Wulan membuka mulutnya, tapi tidak ada suara yang keluar.

Perempuan itu bergerak maju, suaranya terdengar seperti bisikan angin.

“Kau menginginkan dia kembali, bukan?”

Wulan mengangguk pelan, tak bisa mengalihkan pandangannya dari sosok itu.

Perempuan itu tersenyum lebih lebar, lalu berkata dengan suara yang lebih dalam, hampir seperti geraman.

“Maka kau harus membayar harga yang setimpal.” gumamnya.

Dan sebelum Wulan sempat menjerit, angin dingin menerpa tubuhnya, dan semuanya berubah menjadi kegelapan.

Bersambung

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel