Bayangan Yang Menyertai
Suara angin malam berdesir di luar jendela, menyapu dedaunan yang berguguran di halaman rumah Wulan. Tubuhnya terjerembap di lantai, napasnya memburu setelah apa yang baru saja terjadi. Ruangan itu kini terasa lebih dingin, lebih gelap, dan lebih sesak—seolah ada sesuatu yang tak terlihat tengah mengawasinya.
Bayangan perempuan berbaju hitam tadi sudah menghilang, namun jejak kehadirannya masih tertinggal. Lilin-lilin yang sebelumnya menyala sendiri kini telah padam, menyisakan asap tipis yang menguar ke udara.
Wulan menelan ludah. Pikirannya berputar liar. Ia ingin meyakinkan dirinya bahwa ini hanya imajinasinya—hanya efek dari ritual yang ia lakukan. Namun, pesan di ponselnya dan kehadiran sosok itu membuktikan bahwa ada sesuatu yang lebih besar sedang bermain di balik layar.
Konsekuensi.
Kata itu bergema dalam kepalanya.
Apa yang sebenarnya telah ia panggil? Apa yang telah ia bangkitkan?
Ia mencoba berdiri, tetapi tubuhnya terasa lemas. Lututnya bergetar, dan ia harus berpegangan pada meja kecil di samping tempat tidur untuk menahan diri agar tidak jatuh lagi. Dadanya masih berdebar, keringat dingin mengalir di pelipisnya.
Wulan meraih ponselnya yang masih tergeletak di lantai. Ia menatap layar dengan tangan gemetar. Nomor yang mengirim pesan tadi tidak dikenalnya, dan saat ia mencoba membalas, pesan itu gagal terkirim.
Seolah-olah… pengirimnya tidak pernah ada.
Sebuah firasat buruk merayapi benaknya. Sesuatu akan terjadi.
Dan ia tidak yakin apakah ia siap menghadapinya.
Pagi menjelang dengan suram. Awan kelabu menggantung di langit, seakan menekan bumi dengan kehadirannya yang muram. Wulan duduk di meja dapur, menyesap kopi yang kini terasa pahit di lidahnya. Kepalanya berat, dan kurang tidur hanya membuat semuanya terasa lebih buram.
Ia memikirkan Indira. Kata-katanya tadi malam terus terngiang dalam benaknya.
"Jangan berpikir bahwa kau satu-satunya yang memahami dunia ini."
Apa maksudnya? Apakah Indira juga memiliki kemampuan seperti dirinya? Ataukah dia hanya mencoba menakutinya?
Wulan tidak tahu pasti. Namun, yang jelas, ada sesuatu yang berubah. Ia bisa merasakannya dalam udara, dalam tatapan orang-orang yang kini memandangnya dengan cara berbeda.
Saat ia melangkah keluar untuk membeli sesuatu di minimarket, ia merasakan tatapan-tatapan itu lagi. Seolah ada bisikan yang menyebar, rumor yang bergulir tanpa bisa ia hentikan.
Di depan rumah Rendra, Indira kembali duduk di teras. Kali ini, ia tidak tampak seperti seseorang yang habis menangis—justru sebaliknya, ada ketenangan yang aneh dalam dirinya.
Saat Wulan melewatinya, Indira kembali berbicara.
"Kau tahu, Wulan?" katanya dengan suara datar. "Aku pernah melakukan hal yang sama sepertimu."
Langkah Wulan terhenti.
Indira tersenyum tipis, menatap Wulan dengan mata yang seakan bisa melihat menembus jiwanya.
"Tapi kau melakukan satu kesalahan besar," lanjutnya. "Kau tidak tahu harga yang harus dibayar."
Wulan menatapnya tajam. "Aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan."
Indira tertawa kecil, tapi tawanya terdengar tanpa kegembiraan.
"Oh, kau akan segera mengerti," katanya. "Dan saat itu terjadi, aku ingin melihat bagaimana kau akan menghadapinya."
Sebelum Wulan sempat membalas, Indira bangkit dan masuk ke dalam rumah, meninggalkan Wulan dengan seribu pertanyaan yang menggerogoti pikirannya.
Apa yang dimaksud Indira? Apa yang sebenarnya sedang terjadi?
Malam kembali turun, dan perasaan tidak nyaman yang menyelimuti Wulan semakin kuat. Ia menyalakan lilin-lilin di kamarnya, mencoba menciptakan ketenangan, tetapi api yang berkedip-kedip justru menambah kesan suram pada ruangan.
Ponselnya tiba-tiba berbunyi.
Ia meraihnya dengan cepat, tetapi saat melihat nama yang tertera di layar, jantungnya mencelos.
Nomor tak dikenal.
Dengan ragu, ia mengangkatnya.
"Halo?" suaranya nyaris berbisik.
Hening.
Lalu, suara napas pelan terdengar di ujung sana, diikuti dengan bisikan yang begitu familiar, membuat darahnya membeku.
"Kau menginginkan dia kembali, bukan?"
Suara itu. Suara perempuan berbaju hitam yang ia lihat semalam.
Jantung Wulan berdegup kencang. Ia ingin menutup telepon itu, tetapi tangannya terasa kaku.
"Kau sudah memulai sesuatu yang tidak bisa dihentikan, Wulan," lanjut suara itu. "Dan sekarang, waktunya membayar harga."
Tiba-tiba, lilin-lilin di kamarnya berkedip, lalu padam serempak.
Angin dingin menerpa wajahnya, membuatnya terhuyung ke belakang.
Dan kemudian, ia melihatnya.
Di sudut kamar, bayangan perempuan itu kembali muncul. Kali ini, ia tidak hanya berdiri diam. Ia melangkah maju, mendekati Wulan dengan gerakan yang nyaris melayang.
Wulan ingin berteriak, tetapi suara itu tertahan di tenggorokannya.
Perempuan itu tersenyum, tetapi senyumannya begitu mengerikan—bukan senyum manusia, melainkan senyum sesuatu yang lebih gelap, lebih kuno.
"Mari kita lihat seberapa jauh kau bisa bertahan," bisiknya.
Dan sebelum Wulan sempat bergerak, ruangan itu tiba-tiba terasa runtuh ke dalam kehampaan.
Sebuah jeritan akhirnya lolos dari bibirnya.
Namun, saat itu terjadi… semuanya sudah terlambat.
**
Wulan terbangun dengan napas tersengal-sengal. Dadanya naik turun dengan cepat, dan butiran keringat dingin menetes di pelipisnya. Ia menoleh ke sekitar—kamar yang tadi terasa dipenuhi kegelapan kini tampak seperti biasa. Lilin-lilin yang sempat padam kembali menyala, meskipun nyalanya redup.
Apakah semua itu hanya mimpi?
Namun, rasa dingin yang menyelimuti kulitnya, suara bisikan yang masih bergaung di telinganya, dan getaran di dalam hatinya membuktikan bahwa apa yang terjadi tadi bukan sekadar ilusi.
Sesuatu yang ia lakukan telah membuka gerbang menuju sesuatu yang lebih besar, lebih berbahaya.
Pikirannya masih berkecamuk ketika ponselnya kembali berbunyi. Kali ini bukan pesan dari nomor tak dikenal, melainkan panggilan dari Rendra.
Dengan tangan gemetar, ia mengangkatnya.
"Wulan…" suara Rendra terdengar berat, nyaris berbisik.
"Ada apa?" tanya Wulan, mencoba mengendalikan suaranya.
"Aku… aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi aku merasa semakin aneh."
Wulan menggigit bibirnya. "Apa maksudmu?"
"Sejak beberapa hari terakhir, aku merasa ada sesuatu yang menarik ku kepadamu. Aku tidak bisa menjelaskan kenapa, tapi semakin aku mencoba menjauh, semakin aku merasa terikat. Dan Indira…"
Jeda yang lama.
"Apa yang terjadi dengan Indira?" tanya Wulan, rasa gelisah menjalari tubuhnya.
"Dia… berubah," kata Rendra akhirnya. "Malam ini, aku menemukannya duduk di kamar dalam gelap. Matanya kosong, tapi saat aku mendekatinya, dia menatapku dan tersenyum—senyum yang bukan miliknya. Lalu, dia berbisik sesuatu…"
"Apa?"
"Dia berkata, 'Kamu miliknya sekarang, dan aku telah membayarnya dengan sesuatu yang lebih besar.'"
Jantung Wulan berhenti berdetak sejenak.
"Apa maksudnya?" bisiknya, meskipun ia sudah bisa menebaknya.
"Aku tidak tahu," suara Rendra terdengar panik. "Tapi aku takut, Wulan. Aku takut dengan Indira. Dan aku takut dengan perasaan ini."
Wulan terdiam.
Dia tahu jampi-jampi nya berhasil—Rendra semakin jauh dari Indira dan semakin tertarik padanya. Tetapi seiring dengan keberhasilan itu, ada sesuatu yang lain yang berubah, sesuatu yang tidak ia perhitungkan.
Indira bukan perempuan biasa.
Dan sekarang, ia telah melakukan sesuatu.
Sebuah Pengorbanan.
Pagi itu, Wulan tidak bisa duduk diam. Ia tahu bahwa satu-satunya cara untuk mendapatkan jawaban adalah dengan menemui Indira secara langsung.
Dengan langkah penuh tekad, ia berjalan menuju rumah Rendra. Namun, saat sampai di sana, suasana terasa berbeda. Rumah itu sepi, tetapi aura yang menyelimutinya begitu berat.
Pintu depan terbuka sedikit.
Dengan hati-hati, Wulan mendorongnya dan melangkah masuk.
"Indira?" panggilnya pelan.
Tidak ada jawaban.
Ia melangkah lebih dalam ke dalam rumah, dan ketika ia sampai di ruang tamu, ia membeku.
Indira berdiri di tengah ruangan, mengenakan gaun putih panjang yang tampak lusuh. Matanya menatap kosong ke arah Wulan, tetapi bibirnya melengkung dalam senyum tipis.
"Sudah kuduga kau akan datang," katanya dengan suara datar.
Wulan menelan ludah. "Apa yang kau lakukan, Indira?"
Indira mengangkat tangannya, dan Wulan baru menyadari bahwa di tangannya ada sebuah benda kecil—kotak hitam yang sama seperti yang ditemukan Wulan malam itu.
"Kamu pikir hanya kamu yang bisa bermain dengan dunia ini?" Indira berbisik. "Kamu sudah membuka gerbang, Wulan. Dan sekarang, aku harus menutupnya."
Sebelum Wulan sempat bertanya lebih jauh, Indira membuka kotak itu dan mengeluarkan sesuatu yang membuat Wulan mundur selangkah.Yang sama dengan yang ia gunakan dalam ritual jampi-jampi beberapa malam lalu.
"Bagaimana… bagaimana kau bisa mendapatkannya?" bisik Wulan, matanya membelalak.
Indira tersenyum lebih lebar. "Karena aku juga memanggil sesuatu. Tapi bukan untuk merebut Rendra kembali. Aku memanggilnya… untuk mengambil kembali harga yang harus dibayar."
Tiba-tiba, ruangan bergetar. Udara menjadi lebih dingin, dan cahaya di sekeliling mereka meredup seolah-olah sesuatu yang tak terlihat sedang menyelimuti tempat itu.
Wulan merasakan tubuhnya membeku.
Sebuah bayangan muncul di sudut ruangan—sosok yang sama yang mendatanginya di kamarnya.
Perempuan berbaju hitam itu kini berdiri di belakang Indira, tetapi kali ini, ia tidak tersenyum. Wajahnya penuh amarah.
"Kau menginginkan dia kembali, bukan?" suaranya menggema di ruangan.
Indira menunduk sedikit, lalu berbisik, "Ya."
Dan saat itu juga, Wulan merasakan tubuhnya tertarik ke belakang, seolah-olah ada tangan tak terlihat yang mencengkeramnya. Ia berusaha menjerit, tetapi suaranya tersangkut di tenggorokan.
Indira menatapnya dengan ekspresi dingin.
"Aku sudah memperingatkan kamu, Wulan," katanya pelan. "Kau tidak tahu dengan siapa kau berurusan."
Dan sebelum Wulan bisa melakukan sesuatu, bayangan itu menyelimutinya dalam kegelapan.
**
