Jampi-Jampi dari Tetangga
Wulan duduk di bangku taman yang terletak di depan rumahnya, menatap dengan kosong ke jalanan yang sepi. Pagi itu, udara terasa lebih berat dari biasanya, dan senyum yang biasanya terpancar di wajahnya kini hanya tersisa kepedihan yang tak terkatakan. Ia tidak bisa melupakan Rendra, mantan kekasihnya yang kini telah menikah dengan wanita lain, Indira. Setiap hari, ia berusaha mengalihkan perhatian, namun kenyataan itu tetap menghantuinya.
Rendra dan Indira kini tinggal di kompleks yang sama, hanya beberapa rumah dari tempat Wulan tinggal. Tak jarang Wulan melihat pasangan itu bersama, berjalan berdua, tertawa bahagia, seakan dunia mereka sempurna. Namun bagi Wulan, kebahagiaan mereka adalah luka yang tak kunjung sembuh. Tidak ada yang tahu betapa dalamnya rasa sakit yang ia rasakan saat melihat cinta yang dulu ia bagi dengan Rendra, kini dimiliki oleh orang lain.
Suatu malam, ketika Wulan melintasi depan rumah Rendra, ia melihat pasangan itu sedang duduk di beranda rumah mereka. Rendra memandang Indira dengan penuh cinta, senyum di wajahnya tampak tulus. Wulan berhenti sejenak, hatinya dipenuhi dengan perasaan yang bercampur aduk—cemburu, marah, dan kesepian. Tiba-tiba, tanpa ia sadari, langkah kakinya membawa dirinya mendekati rumah Rendra. Ia berdiri di balik pohon, mengamati, merasakan api cemburu yang semakin membakar hatinya.
Namun, ada sesuatu yang menarik perhatian Wulan—di jemuran rumah Rendra, tergantung pakaian dalam pria yang begitu dikenalnya. Pakaian itu... milik Rendra. Hati Wulan berdegup kencang. Semua perasaan cemburu dan amarahnya seakan meluap begitu saja. Pikirannya menjadi kabur, ia tidak lagi bisa berpikir jernih. Dalam kegilaan yang menyelimuti dirinya, ia memutuskan sesuatu yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Dengan cepat, Wulan melangkah menuju pagar samping rumah Rendra yang sedikit terbuka. Ia mencuri pandang, memastikan tak ada seorang pun yang melihatnya. Kemudian, dengan tangan gemetar, ia mengambil pakaian dalam milik Rendra. Wulan memandangi benda itu sejenak, rasa bersalah mencubit hati, tetapi cemburu mengalahkan segalanya. Ia menggenggam pakaian itu erat, memutuskan untuk melakukan sesuatu yang selama ini hanya ia dengar dalam cerita-cerita kuno—sebuah jampi yang konon bisa memanggil kembali apa yang telah hilang.
Di rumahnya yang sunyi, Wulan duduk bersila, menyalakan beberapa lilin, dan mulai mengucapkan mantra yang ia pelajari dari seorang nenek tua di desa. Nenek itu selalu bercerita tentang jampi-jampi kuno yang bisa mengubah nasib seseorang, meski tak jarang ada konsekuensi yang harus dibayar. Wulan tak peduli. Ia hanya ingin satu hal: Rendra kembali padanya, dan Indira menghilang dari hidupnya. Ia ingin mengembalikan apa yang dulu menjadi miliknya.
"Jika hati itu terpecah, maka ia akan kembali utuh. Jika cinta itu hilang, maka ia akan datang lagi," ucap Wulan pelan, suaranya hampir terdengar seperti bisikan angin. "Dengarlah, jampi ini akan membangkitkan apa yang seharusnya tak hilang. Kembalilah, Rendra."
Saat mantra itu terlontar, udara di sekelilingnya seakan berubah. Lilin-lilin di sekitar Wulan berkedip sejenak, dan di luar, suara angin yang semula tenang, tiba-tiba berubah menjadi geraman halus. Wulan menutup mata, merasakan kekuatan yang mengalir dalam dirinya, dalam pakaian itu, dalam kata-kata yang baru saja ia ucapkan. Apakah itu berhasil? Entah. Namun, sesuatu di dalam dirinya merasa berbeda. Ada kekuatan baru yang mengalir, dan ia tahu—sejak malam itu, hidupnya akan berubah.
---
Keesokan harinya, ketika Wulan sedang berjalan melewati jalanan kompleks perumahan, ia merasakan sesuatu yang aneh. Langkahnya terasa lebih ringan, tetapi perasaan di dalam hatinya semakin kuat. Sebuah firasat yang tak bisa ia jelaskan membuatnya merasa gelisah. Ia melihat Rendra di depan rumahnya, berdiri sendirian, dengan ekspresi yang tak biasa. Ia tampak gelisah, seakan ada sesuatu yang mengganggu pikirannya.
Wulan berusaha mengabaikan perasaan itu dan melanjutkan langkahnya. Namun, ketika matanya bertemu dengan mata Rendra, ada sesuatu yang berbeda. Rendra menatapnya dengan tatapan yang seolah penuh penyesalan, dan Wulan merasakan ada dorongan kuat yang membuatnya mendekat. Tetapi sebelum ia sempat berbicara, Rendra buru-buru berpaling dan masuk kembali ke dalam rumahnya.
"Hah, aneh," Wulan bergumam pada dirinya sendiri. Ada sesuatu yang salah, tetapi ia tidak bisa menebaknya. Perasaan itu semakin mengganggu pikirannya sepanjang hari. Ia merasa seperti ada yang sedang memperhatikannya, seperti ada energi yang mengalir tak terduga dari dalam dirinya.
Namun, malam itu, saat Wulan tengah duduk di ruang tamu, ia mendengar suara dari luar. Ada ketukan yang datang dari pintu depan rumahnya. Dengan hati berdebar, ia membuka pintu. Di depan, Rendra berdiri dengan wajah cemas, matanya menatapnya dengan intens.
"Wulan… aku perlu bicara," kata Rendra dengan suara serak.
Jantung Wulan berdegup kencang. Ia tahu, ini adalah saat yang telah lama ia tunggu-tunggu, meskipun ia tidak bisa mengerti apa yang baru saja terjadi. Namun, sebelum ia sempat menjawab, Rendra melangkah maju, dan Wulan merasa sesuatu yang tak terjelaskan menyelimuti udara di sekitar mereka.
Di saat itu, ia sadar—jampi-jampi yang ia ucapkan mungkin telah membangkitkan lebih dari sekadar perasaan. Sesuatu yang gelap mungkin sedang membayangi mereka, dan Wulan baru menyadari bahwa kekuatan yang ia coba kendalikan bisa saja mengubah lebih dari sekadar takdir cinta.
Tetapi sudah terlambat. Segalanya sudah dimulai.
Rendra berdiri di depan Wulan, tampak bingung dan gelisah. Wulan merasa ketegangan itu menyelimuti udara di antara mereka, seolah ada sesuatu yang tak bisa dijelaskan sedang terjadi. Ia menatap Rendra, matanya mencari jawaban, namun ia tak tahu apa yang seharusnya dikatakan.
"Ada apa, Rendra?" tanya Wulan dengan suara serak, berusaha menyembunyikan kegugupannya. Ia tidak ingin terlihat terlalu cemas, meski dalam hati ia merasa kekhawatiran yang luar biasa.
Rendra menarik napas panjang, seolah berat untuk mengungkapkan kata-kata yang mengganjal di dadanya. "Aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya, Wulan," katanya pelan, suaranya pecah. "Aku merasa... ada yang salah. Dengan aku, dengan Indira, dengan semuanya. Sejak beberapa hari terakhir, aku merasa seolah-olah ada sesuatu yang menarik diriku jauh darinya. Aku merasa cemas setiap kali melihatnya. Aku tidak tahu kenapa."
Wulan merasakan degup jantungnya semakin kencang. Ada sesuatu yang aneh tentang semua ini—sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan, meski ia merasakannya dalam setiap hela napasnya. Ini bukan sekadar kebetulan, pikirnya. Ada kekuatan yang sedang bekerja, dan itu bukan kebetulan bahwa Rendra sekarang ada di sini, di hadapannya, merasakan kegelisahan yang sama yang ia rasakan.
"Rendra..." Wulan berkata, suara hampir tak terdengar. Ia mencoba menyembunyikan senyum kecil yang mulai terbentuk di bibirnya, meskipun dalam hati, ia tahu bahwa semuanya sedang berada di jalur yang telah ia atur. "Kamu mungkin hanya butuh waktu untuk berpikir. Terkadang perasaan kita memang kacau, terutama ketika kita terbebani oleh banyak hal."
Rendra mengangguk, namun matanya tetap penuh kebingungan. "Aku merasa terperangkap, Wulan. Aku... tidak tahu lagi apa yang aku inginkan."
Saat itu, Wulan merasa kekuatan yang ia rasa semakin jelas. Ia tahu, inilah saatnya untuk melakukan langkah berikutnya. Tanpa berpikir panjang, ia melangkah maju, dengan sengaja mendekati Rendra, seolah mengerti apa yang dia butuhkan.
"Kamu bisa datang ke rumahku, Rendra," kata Wulan, suaranya lebih lembut dari sebelumnya. "Aku tahu perasaanmu. Mungkin berbicara bisa membantu. Aku bisa mendengarkan mu, kalau itu yang kamu butuhkan."
Rendra menatapnya sejenak, lalu mengangguk pelan, dan tanpa kata-kata lebih lanjut, mereka berdua berjalan masuk ke dalam rumah Wulan.
Begitu mereka duduk di ruang tamu, Wulan mencoba menenangkan diri. Ia tahu, malam ini adalah malam yang sangat menentukan. Semua yang telah ia persiapkan akan mencapai puncaknya. Ia hanya perlu memastikan agar Rendra tetap ada di sana, dan tak ada yang akan menghalangi jalannya.
Namun, saat Wulan berdiri untuk menyiapkan teh, sebuah kilatan di matanya menangkap sesuatu yang tak biasa. Di luar, di pojok jalan, ia melihat sesosok bayangan yang berdiri tegak menatap rumahnya. Tanpa berpikir panjang, Wulan segera menoleh ke arah Rendra, yang tampak teralihkan perhatiannya oleh suara dari luar.
"Wulan..." suara Rendra menggetarkan. "Ada seseorang di luar."
Wulan merasa tubuhnya membeku. Itu bukan kebetulan. Bayangan itu—ia mengenalnya. Dengan langkah cepat, ia menuju jendela dan membuka tirai. Namun, ketika matanya bertemu dengan sosok yang berdiri di luar, hatinya berdebar keras. Bukan hanya Rendra yang merasa gelisah, tetapi Wulan juga merasakan ancaman yang tak terlihat semakin mendekat.
Di luar, seorang perempuan berdiri, mengenakan gaun hitam yang tampak lusuh, dengan mata yang kosong namun tajam menatap ke arah Wulan. Sosok itu tidak bergerak, hanya memandangnya dengan tatapan yang penuh arti.
"Wulan..." suara Rendra terdengar lebih cemas, dan untuk pertama kalinya, ia tampak benar-benar takut. "Siapa itu? Aku... aku merasa ada sesuatu yang tidak beres."
Tiba-tiba, sosok perempuan itu tersenyum dengan cara yang mengerikan, sebuah senyum yang tak wajar, seperti senyum seseorang yang mengetahui lebih banyak dari yang seharusnya diketahui. Dengan gerakan perlahan, perempuan itu mengangkat tangan, dan Wulan merasakan sesuatu yang sangat kuat menekan dadanya. Seolah-olah ada kekuatan gelap yang baru saja bangkit.
"Wulan," suara perempuan itu, meski pelan, terdengar jelas dan menusuk. "Kamu pikir kamu bisa mengendalikan semuanya? Mengapa tidak mencoba melihat ke dalam dirimu sendiri? Apa yang kamu bangun ini... tidak akan pernah sesuai dengan yang kamu harapkan."
Wulan terkejut. Ada sesuatu yang sangat salah, dan sekarang ia mulai merasakannya. Sesuatu yang jauh lebih besar daripada sekadar rasa cemburu atau dendam. Sesuatu yang telah ia bangkitkan dengan jampi-jampi yang tidak ia pahami sepenuhnya.
Sebelum Wulan sempat bergerak, perempuan itu menghilang, menguap menjadi bayang-bayang yang melesat ke udara malam. Hati Wulan berdegup cepat, tubuhnya terasa lemas. Ia merasakan sebuah peringatan yang datang jauh lebih kuat daripada sebelumnya. Semua yang ia lakukan, semua yang ia inginkan, seolah-olah telah memicu sesuatu yang jauh lebih berbahaya.
Di luar, di bawah cahaya bulan, Rendra masih berdiri, tampak bingung dan cemas. Namun, sebelum Wulan sempat berkata apa-apa, suara perempuan itu terngiang kembali di telinganya.
“Sekarang, kamu telah memulai sesuatu yang tak bisa dihentikan.”
Wulan menggenggam erat pakaian dalam milik Rendra yang masih ada di tangannya. Rasa cemas melanda dirinya, namun satu hal yang jelas—permainan ini baru saja dimulai.
**
