Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 5 - Seruling

“Hutan Lianhua?” Luo Yin melebarkan matanya mendengar itu, sementara raut wajahnya menyiratkan kekhawatiran. “Hutan itu kan ....”

“Tidak perlu khawatir!” potong Hua Lianyi dengan tenang. “Aku pastikan putramu aman. Aku ke sini hanya mewakili Luo Yi untuk berpamitan padamu, karena putramu itu mengatakan kalau dia belum berpamitan denganmu ketika pergi ke Hutan Lianhua. Dia juga menitipkan pesan kalau dia ingin meminta maaf padamu karena pergi dari rumah tanpa berpamitan.”

Mendengar itu, Mata Luo Yin mulai berkaca-kaca dan ia bergumam dalam hati seraya menundukkan kepala. “Luo Yi, ibu bangga padamu. Kau berusaha menunjukkan pada ibu dengan tekad kuat bahwa kau bisa mengubah sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin.”

Wanita itu mengusap air matanya yang mulai menetes, lalu ia menangkupkan tinjunya di depan dada dan membungkukkan tubuhnya di depan Hua Lianyi. “Maaf karena tadi saya telah menyambut kedatangan Anda dengan cara tidak sopan. Saya sekarang percaya dengan Anda. Tolong jaga putra saya dengan baik!”

Hua Lianyi mengangguk pelan. “Aku akan menjaga putramu dan melatihnya sampai menjadi kuat sepertiku.”

Hua Lianyi segera menghilang dari pandangannya setelah mengatakan itu, seperti asap yang tertiup angin. Luo Yin hanya bisa memandangi tempat wanita itu berdiri tadi, lalu berbisik lirih, “Kultivator Ranah Legenda!”

Bagi para kultivator, Jurus Teleportasi hanya bisa dikuasai oleh Kultivator Ranah Legenda.

Sebenarnya, Luo Yin sudah sempat menebak sejak awal. Cara bicara wanita itu, ketenangannya, dan kekuatan luar biasa yang ia tunjukkan—semuanya mengarah pada satu kesimpulan. Namun, emosi dan kekhawatiran terhadap anaknya sempat menutupi intuisi itu. Baru sekarang ia merasa yakin.

Akan tetapi, hal yang tidak diketahui Luo Yin, bahwa sebenarnya Hua Lianyi bukan Kultivator Ranah Legenda, melainkan pengguna Teknik Pernafasan Alam yang memungkinkannya memiliki kekuatan yang setara dengan Kultivator Ranah Legenda.

***

Sementara itu, di Hutan Lianhua, lebih tepatnya di Perpustakaan Bawah Tanah, terlihat Luo Yi telah fokus membaca sebuah buku yang berjudul ‘Cara Menenangkan Diri’. Ia berpikir jika ia membaca buku ini ia akan lebih cepat menguasai Teknik Pernafasan Alam, karena seperti yang dikatakan gurunya, teknik itu membutuhkan ketenangan tingkat tinggi.

Di saat sedang serius-seriusnya membaca buku itu, tiba-tiba sebuah cahaya lembut berpendar di depannya, membentuk siluet tubuh seseorang. Dalam hitungan detik, sosok Hua Lianyi muncul tanpa suara di hadapan Luo Yi, seolah cahaya itu membawanya langsung dari tempat lain.

“Yier,” kata Hua Lianyi tiba-tiba, suaranya lembut dan tenang.

Luo Yi tersentak ringan, lalu segera menoleh. “Guru?”

“Aku baru saja kembali dari menemui ibumu.”

Mata Luo Yi melebar. “Guru sudah ke rumah?”

Hua Lianyi mengangguk. “Aku telah menyampaikan izinmu dan juga pesanmu. Aku bisa merasakan dari sorot matanya, dia sangat menyayangimu dan bangga padamu, meski dia tak mengatakannya langsung.”

Hua Lianyi menatap rak buku di sekeliling mereka, lalu matanya tertuju pada buku yang sedang dipegang Luo Yi.

“Itu buku ‘Cara Menenangkan Diri’, ya?” tanyanya lembut sambil mendekat.

Luo Yi mengangguk. “Ya, Guru. Saya pikir jika saya memahami isi buku ini, saya akan lebih cepat menguasai Teknik Pernafasan Alam.”

Hua Lianyi tersenyum kecil, lalu mengangkat tangannya dan menarik sesuatu dari cincin penyimpanan di jarinya, sebuah seruling giok berwarna perak yang berkilau diterpa cahaya yang memancar dari kristal-kristal yang menggantung pada langit-langit ruangan ini.

“Kalau begitu, biarkan aku tunjukkan padamu cara merasakan ketenangan dengan lebih dalam.”

Ia mendekatkan seruling itu ke bibirnya dan mulai memainkan sebuah nada lembut.

Alunan musiknya pelan, menyapu ruangan seperti angin musim semi. Nada demi nada terasa menyusup ke dalam hati Luo Yi, menenangkan pikirannya, seolah semua beban pikirannya menghilang. Tubuhnya terasa ringan, matanya sayu, dan kesadarannya nyaris dibuai ke alam mimpi.

Hua Lianyi menurunkan serulingnya perlahan. Tatapannya jatuh pada Luo Yi yang duduk lesehan di atas lantai keramik Perpustakaan Bawah Tanah ini, bersila dengan punggung bersandar ringan ke rak buku. Mata pemuda itu tampak setengah terpejam, seperti sedang berjuang melawan rasa kantuk yang datang akibat alunan merdu serulingnya tadi.

Melihat itu, Hua Lianyi tersenyum tipis.

“Jangan tidur di sini, Yi’er. Ayo ke kamar,” katanya lembut, seolah suara lembutnya melanjutkan irama ketenangan yang baru saja ia ciptakan.

“Maaf, Guru,” kata Luo Yi. “Saya sebenarnya belum ingin tidur. Tapi karena suara seruling yang Guru mainkan begitu merdu, saya merasakan ketenangan luar biasa. Saking nyamannya, saya hampir tertidur saat mendengarkannya.”

Hua Lianyi menawarkan, “Apakah kau ingin belajar memainkan seruling?”

Luo Yi mengangguk seraya melempar senyum. “Ajari saya, Guru!” pintanya.

“Sepertinya aku tidak perlu mengajarimu bermain seruling,” kata Hua Lianyi.

Senyum Luo Yi sedikit memudar, tetapi matanya masih menatap penuh antusias.

Hua Lianyi melangkah pelan mendekatinya, lalu duduk bersila di hadapannya. Ia menunjuk buku yang masih digenggam oleh Luo Yi.

“Buka halaman 178,” katanya tenang.

Luo Yi menuruti, membalik halaman buku hingga menemukan halaman yang dimaksud. Di sana tergambar sketsa seruling dan posisi jari, serta beberapa keterangan teknik dasar meniup nada.

“Kau bisa belajar sendiri dengan buku itu,” kata Hua Lianyi, lalu menyerahkan seruling yang di tangannya pada pemuda itu. “Ambil ini!”

“Terima kasih, Guru.” Luo Yi menerima seruling itu sembari tersenyum senang, tangannya menggenggam benda itu dengan penuh semangat, seolah tak sabar untuk mulai belajar.

“Berlatihlah!” Hua Lianyi beranjak berdiri. “Tapi jangan lupa untuk beristirahat!” sambungnya, lalu melangkahkan kaki menaiki tangga spiral.

“Baik, Guru!”

Setelah kepergian gurunya, Luo Yi menatap seruling di tangannya dengan penuh rasa ingin tahu. Ia kembali melirik halaman 178, memperhatikan posisi jari dan cara meniup yang dijelaskan di sana.

Dengan perlahan, ia mengangkat seruling itu ke bibirnya. Ia menyesuaikan posisi jari seperti pada gambar, menarik napas dalam-dalam, lalu mulai meniup pelan.

Bunyi yang keluar masih terdengar sumbang dan tak beraturan.

Luo Yi tersenyum kecil. “Ternyata tidak semudah kelihatannya.”

Namun ia tidak menyerah. Ia kembali membaca, memperbaiki posisi jarinya, lalu mencoba lagi.

Kali ini, terdengar alunan sederhana, masih kasar, tapi lebih jelas dari sebelumnya. Nada-nada lirih memenuhi Perpustakaan Bawah Tanah, membawa nuansa baru di tempat itu.

Ia terus berlatih, nada demi nada, hingga akhirnya sebuah melodi pendek mulai terbentuk. Meski sederhana, alunan itu membawa ketenangan yang mendalam.

Tiba-tiba, seruling di tangannya bergetar ringan.

Luo Yi menurunkan seruling dan menatapnya dengan mata membelalak. “Apa yang terjadi?”

Namun tak ada yang terjadi lagi. Seruling itu hanya bergetar ringan, mungkin karena resonansi dari nada terakhir yang ia tiupkan. Ia menghela napas, berusaha menenangkan diri.

Tiba-tiba, suara langkah kaki bergema dari tangga spiral.

Luo Yi menoleh cepat, tubuhnya refleks siaga. Tapi langkah itu terdengar ringan, pelan, dan sangat asing.

"Itu sepertinya bukan suara Guru," gumamnya pelan.

Langkah itu semakin dekat. Siapa pun itu, kini sudah hampir mencapai ujung tangga.

Luo Yi menggenggam serulingnya. Pandangannya tertuju pada arah pintu masuk, napasnya tertahan.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel