5. Masuk UKS (2)
Bab 5 :
Masuk UKS (2)
******
GITA menunduk singkat kepada dokter di UKS itu yang baru saja memberikan beberapa instruksi kepadanya. Dokter itu mulai beranjak keluar dari ruangan istirahat Nadya yang sebenarnya hanya dibatasi oleh kain putih. Kain itu berfungsi untuk membatasi tiap kasur UKS; jarak tiap kasur adalah sekitar satu langkah.
"Makasih, Bu," ujar Gita saat dokter itu baru saja keluar. Dokter itu hanya menyahut 'Ya', kemudian Gita berbalik untuk melihat Nadya yang kini tengah berbaring di kasur UKS. Nadya memegangi kepalanya; matanya terpejam.
"Duh, Nad," ujar Gita. "lo juga ngapain tadi pake lambat segala? Kalo lo peka, lo pasti langsung lari dari situ karena lo bakalan kena smash!"
"Kan gue nggak sadar, Git..." ujar Nadya, dia membuka matanya dan menatap Gita.
Gita mendengkus. "Lo itu kalo yang beginian pasti lambat banget sadarnya," ujar Gita. "Kalo lo bisa cepet, lo nggak bakal kena! Nah, sekarang elo yang kesakitan, 'kan."
Nadya berdecak. "Git, kok lo marah-marah, sih... Kepala gue sakit, nih..."
"Ya salah sendiri," ujar Gita. Nadya menghela napas. Wangi lavendel di ruangan UKS itu lumayan membuatnya nyaman. Dia kembali kepikiran dengan insiden terkena bola tadi dan hal itu jadi membuatnya merutuki dirinya sendiri. Sebenarnya, dia mengikat tali sepatu lantaran takut jatuh saat bermain voli. Menghindari satu cedera, dia malah terkena cedera yang lainnya. Kentara sekali bahwa Nadya tidak bisa bermain voli. Instingnya berada di nol koma sekian.
"Ya udah, Git, lo balik aja ke lapangan biar lo ikut hadir. Gue nggak apa-apa sendirian," ujar Nadya.
Gita mengernyitkan dahi. "Lo beneran nggak apa-apa, Nad? Gue nggak apa-apa kok nemenin lo di sini."
"Nggak usah, Git, gue nggak apa-apa kok sendirian," ujar Nadya. "Kan gue cuma tidur."
Gita akhirnya menghela napas. "Ya udah, gue tinggal dulu. Nanti—pas selesai olahraga—gue ke sini lagi, oke? Lo istirahat, ya! Jangan sok-sokan mau duduk atau berdiri, kepala lo masih sakit, tuh."
Nadya terkikik. "Iya, Git, nggak kok."
Gita mengangguk; dia menepuk pelan pundak Nadya dan mulai berbalik, bermaksud untuk keluar. Akan tetapi, Gita sempat menoleh ke belakang lagi dan tersenyum sebelum akhirnya ia benar-benar membuka kain putih pembatas itu dan keluar.
Nadya mulai menghela napas, ia kembali memejamkan matanya.
Gila, rasa sakitnya semakin menjadi-jadi. Nadya merasa pusing sekali; dia seolah sudah terlalu lelah dan juga belum makan seharian. Ini menyedihkan, padahal Nadya sangat senang ketika bermain voli tadi. Berpikiran seperti itu memang membuat Nadya jadi terkesan naif, tetapi ia benar-benar menikmati permainan voli itu, bahkan ia sempat berpikir untuk mulai belajar bermain voli. Baru kali ini ia bisa memasukkan bola ke area lawan. Itu membuatnya sedikit bersemangat. Akan tetapi, yang terjadi malah tak terduga.
Nadya memijit dan menekan-nekan bagian belakang kepalanya serta bagian dahinya. Sakitnya memang menjalar hingga ke depan. Sudah lima menit berlalu dan Nadya hanya bisa mengoleskan minyak kayu putih di dahinya sembari terpejam.
"Ugh..." Nadya mengaduh saat sakit kepalanya terasa menyiksa. Dunianya seolah-olah berputar. Nadya agak heran, mengapa rasanya sakit sekali? Apakah seperti itu rasanya terkena bola di kepala?
Apa bisa pingsan juga?
Kalau iya, Nadya benar-benar bersyukur karena ia tidak sampai pingsan, padahal benturannya tadi sangat keras. Bola itu seperti ditembak oleh meriam saja, kalau menurut Nadya.
Tiba-tiba kain putih pembatas yang ada di sisi kanan kasur Nadya tersibak dengan cepat. Nadya langsung menoleh ke kanan dan di sana ada sosok cowok yang kini menatap Nadya dengan khawatir. Napas cowok itu agak terengah-engah dan mata Nadya pun terbelalak.
Itu Aldo.
Jantung Nadya serasa berhenti berdegup untuk sejenak. Nadya tanpa sadar menahan napasnya sendiri dan ia sedikit lupa dengan sakit kepalanya. Mengapa Aldo ke sini?
Aldo sampai di kasur tempat Nadya berbaring dan langsung menunduk untuk menatap Nadya. Cowok itu langsung memegang kepala Nadya dan matanya sedikit melebar, kemudian cowok itu berkata, "Nad, kamu kena bola?"
Aldo terlihat seperti baru saja berlari dari lapangan voli laki-laki sampai ke UKS. Nadya meneguk ludahnya dan menatap wajah tampan Aldo yang sedang berkeringat; cowok itu menatap tepat ke kedua mata Nadya dengan khawatir. Wajah Aldo lumayan dekat dengan wajah Nadya. Jempol cowok itu mulai memijit puncak kepala Nadya, lalu beralih memegang pelipis Nadya.
Mata Nadya masih melebar; cewek itu masih kaget. "A—Aldo? Kamu ngapain ke sini? Kamu tau dari...mana?"
"Aku tau dari Gita," jawab Aldo. "Dia tadi lari ke lapangan cowok dan ngasih tau aku kalo kamu kena bola dan masuk UKS."
Kedua mata Nadya terbelalak. Cewek itu meneguk ludahnya. Dia melipat bibirnya karena merasa malu.
Aduh... Gita nih... Kok ngasih tau Aldo, sih...
Nadya menatap Aldo lagi dan tiba-tiba jantungnya berdebar. Sikap Aldo yang berbeda 180 derajat ini membuatnya sedikit merasakan keanehan. Ada yang aneh dengan caranya menatap Aldo. Dari awal…mereka hanya teman sekelas yang sesungguhnya tidak bisa dikatakan sebagai 'teman', lalu tiba-tiba mereka punya hubungan seperti ini...
Nadya berkedip dan menatap ke lain arah, apa saja agar tidak menatap Aldo. Wajah Aldo yang terlalu dekat itu membuat Nadya mendadak tidak fokus. Mengapa Nadya jadi merasakan keanehan seperti ini saat ia dan Aldo punya hubungan spesial? Terutama...momen intens seperti membuat Nadya merasa seolah ia telah benar-benar menyukai Aldo.
Ternyata…cinta itu hanyalah sebuah kata, sampai seseorang datang dan membuatnya menjadi bermakna.
Tiba-tiba Aldo memegang pergelangan tangan Nadya dan hal itu membuat Nadya lagi-lagi kaget. Nadya langsung menatap Aldo kembali.
"Kamu mau aku anterin pulang? Ini pasti sakit banget, 'kan? Tatapan kamu gak fokus gitu. Gita bilang benturannya juga keras banget," ujar Aldo. Alis Aldo bertaut.
Mata Nadya membeliak. "Nggak usah, Aldo, aku nggak mau pulang. Aku mau di sekolah aja, soalnya ada ulangan Bahasa Indonesia habis ini."
Aldo menatap Nadya nanar, lalu cowok itu menghela napas. "Nanti aku bilang ke Bu Meidy biar kamu bisa ulangan susulan, Nad. Sekarang ayo kita minta izin biar kamu bisa pulang. Mau, ya?"
Nadya meneguk ludahnya. Kalau Aldo mah bisa saja minta ulangan susulan dengan gampangnya ke Bu Meidy—yang garang itu—soalnya Aldo adalah murid kesayangan semua guru. Bu Meidy malah sering memberikan Aldo perlakuan yang berbeda ketika di kelas, soalnya Aldo itu ganteng, penurut, dan pintar. Aldo itu selalu juara satu, bahkan dia berhasil meraih juara umum terus-menerus. Nah, masalahnya sekarang adalah: Nadya itu kalau sudah belajar, pasti bakal cepat lupa. Jadi, kalau ulangannya ditunda lagi, berarti dia harus belajar terus-menerus sampai hari dilaksanakannya ulangan susulan itu. Kalau Aldo mah...enggak perlu belajar pun pasti bakal dapat seratus, tuh.
"Nggak usah, deh... Nanti aku nggak bisa ngerjainnya lagi, Aldo... Aku cepet lupa, soalnya," ujar Nadya dengan pesimis. Namun, alih-alih meyakinkan Aldo, tiba-tiba sakit kepala Nadya justru terasa nyelekit dan kontan membuat Nadya mengerang kesakitan. Aldo langsung melebarkan matanya dan memijit kepala Nadya.
"Udah, nanti aku bisa ajarin kamu, oke? Kita pulang sekarang. Itu kepala kamu makin parah, Nad," ujar Aldo. "Kamu tunggu di sini. Aku minta izin ke wali kelas, ke Pak Bian, ke Bu Meidy...terus ke guru piket. Biar kamu bisa pulang dan aku bisa nganterin kamu. Tunggu, ya?"
Setelah itu, Aldo lantas keluar dari ruangan Nadya dan Nadya hanya bisa menatap kepergian Aldo dengan nanar. Mulut Nadya sedikit terbuka karena ia terkejut melihat Aldo yang tampak begitu panik. Itu terlihat seperti...Aldo benar-benar peduli padanya.
Nadya masih tidak mengerti dengan hubungan mereka, tetapi ia benar-benar berterima kasih kepada Aldo. Sekarang perut Nadya terasa seolah digelitik saat mencium wangi parfum Aldo yang tertinggal di ruangannya.
******
Aldo memakaikan jeans jacket-nya pada tubuh Nadya. Cowok itu merangkul Nadya dan membawa Nadya ke tempat parkir untuk menghampiri motornya. Semua orang melihat ke arah Aldo dan Nadya saat mereka berdua melewati lapangan basket dan lapangan voli yang ada di tengah-tengah gedung sekolah. Gedung sekolah itu membentuk segi empat dan mengelilingi lapangan-lapangan itu. Nadya menunduk dan tanpa sadar pipinya memanas. Ia sangat malu kalau jadi tontonan seperti itu. Semua orang tampak begitu penasaran dan begitu excited melihat mereka berjalan berdua. Akan tetapi, banyak juga yang tampak menyikut satu sama lain, lalu menatap Nadya dengan mata yang menyipit.
Itu adalah tatapan menilai.
Aldo yang dijuluki sebagai Pacar Bersama itu kini tak bisa dikatakan sebagai Pacar Bersama lagi. Belum lagi sikap Aldo yang sangat perhatian kepada pacar barunya itu membuat ‘penggemarnya’ hanya bisa gigit jari dan mencari tahu siapa nama pacar barunya itu, bagaimana penampilannya, ekstrakurikuler apa yang diikuti oleh pacar barunya itu, dari mana Aldo dan pacar barunya itu bisa berkenalan, dan lain-lain. Satu-satunya informasi yang baru terungkap adalah: Aldo dan pacar barunya itu ternyata satu kelas. Semuanya penasaran, tetapi tidak ada yang berani mengganggu Nadya secara terang-terangan.
Kalau kata Gita, mereka itu kepo di belakang.
Di sisi lain, Nadya merasa gugup bukan main, padahal Aldo hanya merangkulnya. Jika dipikir-pikir, Aldo melakukan itu juga karena Nadya sedang sakit kepala. Namun, Nadya tetap saja merasa malu.
Tas ransel Nadya dibawa oleh Aldo di sebelah pundak cowok itu. Saat mereka sudah sampai di dekat motor Aldo, Aldo memberikan helm pada Nadya—helm yang tadi pagi Nadya pakai—lalu cowok itu mulai menaiki motornya dan menghidupkan motor itu.
Aldo mulai memakai helm. Cowok itu lalu mengeluarkan motornya tempat parkir dan memutar, lalu motornya berhenti di depan Nadya. Nadya yang sudah memakai helm itu kini menatap Aldo. Aldo membuka kaca helmnya dan tersenyum.
"Ayo naik. Kamu nyandar aja, soalnya kepala kamu sakit, 'kan?" ujar Aldo. Nadya melipat bibirnya dan mengangguk pelan. Cewek itu lalu mulai naik ke motor Aldo dengan berhati-hati.
"Bisa?" tanya Aldo begitu Nadya duduk di boncengannya. Nadya mengangguk.
"Iya, Aldo," jawab Nadya.
"Pegangan yang kuat, ya." Aldo mengingatkan Nadya. Nadya sempat lupa bernapas saat mendengarkan perhatian dari Aldo itu, tetapi setelah itu ia mengangguk meski ia tak tahu Aldo bisa melihatnya atau tidak. Ia kemudian memegang seragam Aldo, di bagian pinggang cowok itu.
Nadya baru sadar bahwa ternyata bahu Aldo itu lebar. Aldo ini memiliki tubuh yang sangat bagus. Apa Aldo selalu berolahraga atau sempat nge-gym di sela kegiatan sekolahnya?
Saat Aldo membawanya keluar dari area sekolah pun, mereka tetap jadi tontonan murid-murid yang ada di lapangan, yang jelas berada lumayan jauh dari mereka.
Di tengah jalan, Nadya menunduk dan melipat bibirnya. Ia mendadak ingin tahu mengapa Aldo memacarinya.
Sebenarnya, hal ini terus mengganjal di pikiran Nadya sejak pertama kali Aldo berkata bahwa Nadya harus menjadi pacarnya sebagai persyaratan diberikannya tiket konser Muse kepada Nadya.
Nadya tanpa sadar meremas baju Aldo. Cewek itu kemudian memberanikan diri untuk bertanya, tepat saat mereka melewati perempatan jalan. "Aldo?"
"Iya, Nad," jawab Aldo sembari menoleh singkat kepada Nadya yang ada di belakangnya. Suara cowok itu terdengar pelan karena banyak kendaraan lain serta karena angin yang agak kencang kala itu.
Nadya lalu kembali berbicara, "Boleh aku tau...kenapa kamu mau aku jadi pacar kamu?"
Nadya tak mendengar jawaban Aldo selama empat detik lamanya. Besar kemungkinan Aldo tak mau menjawab pertanyaan itu dan Nadya mulai merutuki dirinya sendiri. Ah, mana mungkin Aldo meminta Nadya untuk menjadi pacarnya karena perasaan suka atau cinta! Ini semua pasti karena sama-sama perlu. Aldo pasti punya kepentingan juga. Begini, tiket itu, kan, penting banget buat Nadya. Berarti, persyaratannya ini juga penting buat Aldo.
Akan tetapi, Nadya tetap saja harus tahu alasannya.
Aldo masih diam. Enam detik sudah berlalu.
Namun, Nadya kontan melebarkan matanya saat Aldo tiba-tiba bersuara dalam tempo lambat. Cowok itu berkata, "Nad, ini sama kayak pelangi. Sebenernya, warna pelangi bukanlah tujuh, melainkan seluruh warna yang ada di dunia. Tapi mata kita nggak sanggup ngebedainnya. Nah, sebenernya alasan aku itu banyak, Nad, tapi pada akhirnya aku cuma bisa bilang ke kamu kalau alasanku itu hanya satu...karena aku nggak bisa ngebedainnya. Soalnya, semua alasannya itu adalah kamu." []
