Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 4 Melakukannya Sekali Denganmu

Kpps!

Willian memegang leher bagian depan milik Alexa, menariknya lebih dekat dengan satu tangan, meski tidak terlalu mencekiknya.

"Siapa yang kau sebut itu?" ucap Willian dingin.

Alexa terkejut dengan gerakan Willian, meski itu tidak menyakitinya tetapi ia takut jika pria itu akan benar-benar mencekiknya dengan kuat.

Ia segera menggelengkan kepalanya pelan, "Aku tidak ingat! Barusan aku menyebut paman dengan sebutan apa?"

Willian yang mendengar Alexa lagi-lagi menyebutnya paman, seketika merasa kesal, menarik tangan yang ada di lehernya dan beralih ke pinggang Alexa, hingga tubuhnya begitu dekat.

"Ah!" Alexa terpekik dengan gerakan Willian yang tiba-tiba. Hingga membuat keningnya harus menabrak bagian dada bidang Willian yang terasa keras.

Willian mengangkat dagu Alexa dengan kasar, membuatnya ingin sekali marah, namun bibir ranumnya begitu menggoda membuatnya tak bisa mengeluarkan sepatah kata pun dan langsung mencium bibir Alexa yang sedikit terbuka.

Mata Alexa membelalak dengan ulah Willian yang membuat tubuhnya terdiam kaku sejenak, sebelum akhirnya ia mendorongnya agar menjauh, tetapi sayangnya tenaga Alexa tidak sekuat Willian yang memaksanya. Ia hanya bisa pasrah sampai Willian melepaskan bibirnya yang terasa kebas.

"Jika kamu memanggilku dengan sebutan paman lagi, aku akan mencopot bibirmu ini," ancam Willian dengan suara pelan tapi tegas, lalu mengusap bibir mungil Alexa yang terasa manis baginya.

Alexa mengerutkan dahinya, "Lalu, aku harus memanggilmu dengan sebutan apa? Sudah cocok aku panggil paman.”

Willian yang mendengarnya langsung menatap Alexa tajam. "Aku tidak setua itu.”

"Ya, kau memang tidak terlalu tua tapi kau seperti paman pada umumnya. Hanya saja, kamu cukup tampan, kamu lebih dewasa dariku," ucap Alexa dengan percaya diri.

Alexa yang melihat raut wajah Willian seperti ingin mencekiknya lagi, ia langsung mengubah perkataannya.

"Ehhh … tidak-tidak, perkataanku tidak benar. Kau tidak seperti paman pada umumnya.”

Alexa tersenyum hingga memperlihatkan gigi putihnya yang rapi. “Lalu aku harus memanggilmu apa?" sambungnya.

"Kau panggil aku Willian, bukan paman," ucapnya dingin.

"Nama yang bagus … seperti orangnya," gumam Alexa, lalu melangkah keluar.

“Ke mana?” suara Willian menahan langkahnya. Alexa berhenti sejenak, menoleh, lalu menatapnya dengan santai.

"Makan. Kau sendiri yang bilang, setelah aku selesai mandi kita akan makan. Untuk biaya makan, kau bisa memotongnya nanti dari hasil kerjaku,” jawab Alexa ringan, seolah apa pun yang ia lakukan bersama Willian hanyalah pekerjaan yang bisa dibayar.

Willian mendengus mendengar perkataan Alexa. "Ya … aku akan memakanmu sekarang, karena kau sudah bersih dan wangi.”

Langkahnya perlahan mendekat, lalu tangan kekarnya merangkul pinggang Alexa, menariknya tanpa memberi celah. Wajah Willian semakin dekat, dan dari tatapannya Alexa mulai menyadari—maksud kata makan yang terucap tadi bukan sekadar soal makanan.

Alexa segera menahan wajah Willian yang hendak mencium dirinya.

“Kau ingin melakukannya sekarang? Tapi aku lapar…” rengeknya manja, lalu bergelayut di tangan Willian. Suaranya melembut, penuh rayuan, “Kalau aku pingsan karena kelelahan nanti, bagaimana?”

Wajah Alexa tampak menggemaskan, seperti seekor kucing yang memohon diberi makan.

“Aku tidak peduli jika kau pingsan. Karena aku menginginkannya sekarang,” jawab Willian dingin, sambil merangkul Alexa dan menggiringnya ke ranjang hingga keduanya terjatuh bersama.

Alexa cemberut. Lelaki ini jelas tidak mungkin berbaik hati padanya. Lagi pula, dia hanya wanita sewaan untuk memuaskan keinginan pria itu.

“Baiklah, lakukan saja secepatnya … supaya aku bisa pulang dan makan,” ujarnya kesal.

Namun tepat ketika Willian hendak menciumnya, ia berhenti. Matanya hanya menatap Alexa beberapa saat, lalu tubuhnya beranjak bangkit.

Alexa mengernyit, heran melihat Willian malah berjalan ke arah pintu.

“Kita makan,” katanya singkat sambil membuka pintu kamar.

“Asyik!” Alexa langsung melonjak girang. Senyumnya melebar, langkahnya ringan melompat-lompat mengikuti Willian menuju ruang makan yang megah.

Gadis itu seperti anak kecil yang baru melihat mainan baru, matanya sibuk berkeliling, tak henti mengagumi setiap sudut rumah.

“Rumah ini bagus sekali. Kalau aku sudah lulus sekolah nanti, aku ingin bekerja keras mengumpulkan uang, supaya bisa punya rumah secantik ini juga,” ocehnya riang, penuh mimpi.

Willian hanya diam saja tanpa berkata apapun, hingga mereka sampai di meja makan.

Alexa ternganga melihat hidangan mewah yang tertata rapi di meja makan.

“Willian, ini terlalu banyak. Aku cuma pesan nasi goreng,” katanya polos.

Beberapa pelayan menunduk, berusaha keras menahan tawa. Bahkan Willian yang baru saja meneguk air hampir menyemburkannya.

“Di sini tidak ada makanan seperti itu. Makan yang ada,” ujarnya tegas.

“Tapi … ini pasti mahal,” keluh Alexa pelan.

“Makan, atau dimakan.” Suara Willian terdengar dingin.

Alexa langsung meraih piring di depannya dan melahap makanan tanpa pikir panjang. Gerakannya cepat, seperti kucing kelaparan, membuat Willian hanya menatapnya dengan tatapan tak percaya. Gadis itu begitu lahap, seakan tidak memperdulikan Willian yang ada di sana. Namun apa yang dilakukan Alexa membuat Willian semakin tertarik.

“Astaga, perutku penuh sekali. Hampir meledak,” keluhnya sambil menyandar dan mengusap perut.

“Kau sudah makan. Sekarang giliranku memakanmu,” bisik Willian dengan senyum menyeringai.

Alexa mendelik. “Apa kau mau aku memuntahkan semua ini? Aku baru selesai makan! Tunggu sebentar, setidaknya sampai perutku tak sesak.”

“Banyak alasan.”

“Hey, Tuan Willian yang terhormat, ini bukan alasan. Perutku benar-benar penuh,” protes Alexa dengan bibir cemberut.

“Bangun, berjalan sedikit. Biar cepat turun,” perintah Willian.

“Mana mungkin aku bisa bangun,” rengeknya. Wajah merengut itu justru membuat Willian ingin meraih bibirnya.

“Dasar manja,” gumamnya ketus.

Alexa sontak menegakkan tubuh, menatap Willian. “Apa tadi kau bilang? Aku manja? Kalau aku manja, aku tidak akan hidup sendirian dan mencari uang dengan cara seperti ini.” Suaranya meninggi.

Reaksi ini justru membuat Willian tersenyum kecil, terlihat meremehkan, karena baru kali ini ada yang berani berbicara seperti itu padanya—terlebih hanya seorang gadis.

“Oh, begitu? Aku tidak tahu kalau kau gadis pekerja keras sampai mau menjual dirinya sendiri. Tapi di sini, semua usahamu sia-sia. Kau hanya perlu menuruti perintahku.”

Willian mengucapkan kata-kata itu dengan nada dingin, dan Alexa terdiam sesaat. Hatinya tersentak mendengar sindiran tajam itu, matanya memancarkan kesedihan yang berusaha ditutupinya. Setelah menghela napas dalam, ia memaksakan tersenyum dan menjawab, "Aku hanya akan melakukannya sekali denganmu saja, itu pun karena terpaksa, aku membutuhkan banyak uang sekarang. Setelah itu, kedepannya aku tidak akan melakukannya," jawab Alexa panjang lebar.

Willian hanya mengangguk mendengar jawaban Alexa. Melihat mata Alexa yang berkaca-kaca dan wajah yang berbeda, ia merasa sedikit menyesal dengan ucapannya. Mungkin perkataannya telah menyakiti gadis di hadapannya.

"Dimana orang tuamu? Kenapa mau melakukan hal seperti ini di usiamu yang masih muda?" tanya Willian, penasaran dengan gadis di hadapannya.

Alexa tersenyum getir mendengar pertanyaan Willian, meski hatinya terasa sesak saat mengingat kedua orang tuanya.

"Aku tidak mempunyai orang tua," kata Alexa dengan mata yang berkaca-kaca, akhirnya air mata jatuh di pipinya. Alexa buru-buru menghapusnya.

"Maaf, aku seharusnya tidak menceritakan tentang diriku pada orang lain," ucap Alexa sambil tersenyum.

Willian, melihat Alexa menangis, merasa hatinya sedikit tergerak. Ia menjadi tidak tega menyakiti gadis di hadapannya.

Setelah beberapa saat, Alexa berdiri dari kursi. “Ayo, sekarang aku sudah bisa berjalan sepertinya,” ucap Alexa. “Lihatkan, aku sudah kuat. Sekarang aku sudah siap, ayo,” sambungnya dengan wajah ceria yang kembali seperti semula setelah menangis.

“Kau yakin? Aku tidak ingin saat waktunya tiba, kau merengek meminta berhenti karena perutmu sakit gara-gara habis makan banyak,” ujar Willian sambil mengangkat sebelah alisnya.

“Ya, aku yakin. Meski aku tidak rela harus kehilangannya,” balas Alexa dengan wajah lesu, lalu berjalan menuju kamar yang ia datangi tadi.

Willian yang mendengar ucapan Alexa hanya tersenyum tipis.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel