BAB. 2. Penghianatan
Percumbuan yang hebat membuat keduanya kini ambruk bersama. Mereka tidak menyadari ternyata permainan mereka telah di saksikan oleh seorang wanita yang selama ini rela berubah demi suaminya. Melihat ada penghianatan di cintanya, sisi yang berbeda kini mulai menguasai tubuhnya.
"Brengsek." Elea lekas meninggalkan kamar utama yang sudah di kotori oleh suaminya itu.
"Goyangan kamu memang hebat, Melisa. Sudah cantik,bodynya bagus. Patut di sematkan menjadi goyangan janda kembang," bisik Arga sambil menjilat telinga Melisa.
Kedua pipi Melisa bersemu merah.
"Ya sudah bersihkan diri kamu. Nanti akan aku antar pulang," ucap Arga sambil mendorong tubuh Melisa.
Melisa hampir saja terjungkal, namun tangan Arga dengan cekatan segera meraihnya.
"Hehe, maaf."
Melisa mencelos. Ia segera bangkit dari tidurnya dan segera berjalan menuju ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Di saat Melisa sedang membersihkan tubuhnya, Arga mengambil telefonnya di atas nakas lalu mulai menelefon seseorang yang memang sangat berarti buat kehidupannya.
[ Sayang, apa kamu masih lama di kantornya?]
[Memangnya kalau masih lama, kamu mau apa. Mas?]
[Tentu aku akan menjemput kamu.]
[Tidak usah. Aku mau ada perlu dengan client.]
[Siapa?]
Belum juga mendapat jawaban, sambungan telefon di matikan. Arga mendengus kesal lalu ia lempar ponselnya di ranjang.
"Istri tidak tahu diri. Harusnya bersyukur karena sudah ada yang mau,'' cicit Arga sambil beranjak dari duduknya.
Selang beberapa menit, Melisa keluar dari kamar mandi. Aroma harum dari tubuh Melisa menguar di udara hingga Arga yang semula hendak membersihkan diri pun jadi urung.
"Kamu mau ngapain lagi?" selidik Melisa sambil menaikkan satu alisnya, terlihat bingung dengan kelakuan pelanggannya itu.
"Melihat kamu aku jadi horny lagi," bisik Arga lalu memeluk Melisa.
"Bukannya istri kamu akan segera pulang?"
Arga menggeleng sambil menenggelamkan wajahnya pada leher Melisa.
"Loh kenapa?"
"Katanya mau ada perlu. Ya sudah," sahut Arga sambil melepaskan pelukannya.
"Hei, aku sudah bersih dan mau pergi ke tempat Madam Chelsi." lirik Melisa kesal.
"Hanya satu kali hentakkan saja,"
"NO!"
"Please,"
Melisa mendengus lalu pergi meninggalkan Arga tanpa menghiraukannya.
"Aku akan bayar lebih plus bonus." teriak Arga yang sama sekali tidak di hiraukan Melisa. "heuh, sok-sokan ngga mau."
Drrtt, drtt, drtt.
Ponsel Melisa bergetar, Ia lalu mengambilnya dan melihat siapa yang tengah menelefonnya.
"Madam Chelsi," gumamnya lalu segera menekan gambar hijau.
[Heh jangan kabur dari tugas! ini sudah waktunya kamu melayani pelanggan lain.]
[Hm. Aku baru saja selesai, suruh Vio atau Rena saja untuk melayaninya.]
[Sudah aku tawarkan. Tapi mereka kekeh pengennya kamu. Cepat kembali atau aku pecat dan sebagai gantinya anak kamu yang akan-]
[Ya-ya aku akan segera kesana.]
"Selalu saja ancamannya anak."
"Mau kemana?" ucap Arga yang tiba-tiba memeluk Melisa dari belakang.
Melisa terlonjak kaget dengan ekor mata yang melirik jengkel ke arah Arga.
Ia pun berbalik badan sambil menjulurkan tangannya"Mana bayarannya? waktu penyewaanya sudah habis. Madam Chelsi sudah menelefon dan ada pelanggan yang sedang menanti."
"Bilang saja aku minta penambahan waktu. Kapan lagi kita bisa berduaan di rumah ini? Mumpung istri aku tidak ada di rumah,"
"Tidak bisa. Segera transfer atau cash." Melisa kukuh, tidak bisa di rayu lagi.
"Aku kasih bonus dua kali lipat,"
Melisa menggeleng kepala cepat.
"Tiga kali lipat."
Melisa tetap menggeleng.
"Arrgh. Shit! Fine, aku akan segera mentransfernya." Arga lantas mengambil ponselnya dari atas ranjang."Berapa nomor beha,"
Melisa melirik kesal.
Arga menutup mulut menahan tawa,"ehm, maksudku nomor rekening."
"132338****''
"Oke." Arga lalu menekan-nekan layarnya dan hanya beberapa detik saja suara notifikasi dari hape Melisa terdengar.
"Sudah masuk. Terima kasih ya,"
"Desahannya mana?"
Melisa mengernitkan keningnya,"dasar mesum." lalu ia segera pergi meninggalkan kamar Arga.
"Tunggu. Aku akan mengantar kamu," Arga mengekor di belakang Melisa.
***
Sementara di ruangan lain, Elea tengah tergugu sambil memeluk tubuhnya sendiri. Ia tidak menyangka lelaki yang selama ini ia percayakan bisa menjaga serta membuat hidupnya berubah nyatanya sama saja seperti Ayahnya.
Selama ini ia selalu menuruti dan melayani suaminya itu dengan baik. Tetapi kenyataannya Elea kecolongan dan melihat sendiri penghianatan itu di depan kepalanya.
"Aku akan menuntut kamu, Arga. Dan akan aku cari siapa dan bagaimana latar belakang dari wanita yang kamu ajak tidur itu. Berani menyakiti seorang Elea maka kamu akan menanggung akibatnya, Mas." monolog Elea sambil menatap maya di cermin besarnya.
"Untung saja aku tidak percaya seutuhnya sama kamu. Jadi sedikit demi sedikit aku akan mengambil kembali semua fasilitas dan benda penting yang sudah aku berikan padamu. Siapalah kamu kalau tidak ada bantuan uang dariku, Mas."
Elea lalu beranjak dari duduknya dan mulai mengambil selembar kertas yang tersimpan rapi di laci ranjangnya, dimana kertas itu tertempel berbagai foto orang yang sudah tiada. Elea lalu memasukkan foto suaminya itu ke dalam kertas yang berisikan foto-foto itu.
Setelah tertempel, Elea menusuk buku jarinya dengan jarum lalu menekannya hingga keras sampai darah itu keluar banyak. Dengan darah segar itu Elea tempelkan pada foto Arga yang terlihat tersenyum bahagia memandanginya.
"You must died!" gumam Elea lalu kembali menyimpan kertas itu pada laci rahasianya.
Setelah menyimpan kertas itu, Elea lantas mengedarkan pandangannya pada ruangan yang dimana tempatnya bereksperimen dulu, sejujurnya ia sangat merindukan hal ini. Ia lantas segera mengambil bendaa kesukaannya yaitu bor listrik dan juga pisau potong.
"Masih tajam." kekehnya lalu kembali menyimpannya.
Ia kembali berjalan ke dalam ruangan. Bau obat-obatan serta bau anyir darah masih menguar kuat di indra penciumannya. Sudah bertahun-tahun tidak terpakai, namun suasana serta baunya masih sama seperti dulu ketika ia pertama kali mengeksekusi seseorang.
Arga sama sekali tidak mengetahui ruangan ini, bahkan ia mengira bahwa bangunan ini adalah rumah kosong peninggalan jaman belanda. Jadi ia tidak begitu penasaran dan menyelidiki bangunan di sebelah rumah orang tua istrinya itu.
"Kamu tidak akan bisa merubahku, sampai kapanpun! karena rasa sakit inilah yang selalu memunculkannya. Jadi jangan salahkan aku jika sampai ada hal-hal yang tidak kamu inginkan tiba-tiba saja terjadi."
Elea terus masuk ke dalam rumah peninggalan orang tuanya itu.
"Rumah ini, menyimpan banyak kenangan. Namun juga kesedihan,"
Elea terus berbicara seakan ada seseorang yang mengajaknya mengobrol.
"Andai saja Ayah tidak melakukan itu, tentu saja aku tidak akan memilikimu."
Terus meracau dan sampailah pada satu ruangan dimana sangat amat Elea tidak inginkan untuk masuk. Karena di dalam ruangan itu masih tertata rapih berbagai benda serta baju-baju keseharian milik mendiang Ibunya.
Elea menghentikan langkahnya dengan tangan bergetar ia menelefon seseorang, kawan serta rekannya dulu.
"Hallo Paul."
