Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Three

Setahun lalu, aku memutuskan menyewa sebuah bangunan kecil yang tadinya disewakan sebagai toko alat tulis, untuk menjalankan usaha toko roti dan kue. Tempat berukuran 10 x 5 meter ini adalah milik orang tua dari teman Alan sehingga urusan penyewaan dan nego biaya lebih mudah. Maklum, modal yang kupunya saat itu sangat minim. Itu pun aku dapat dari tabungan uang jajan dan menerima pesanan kue saat SMA, juga uang hadiah dari kompetisi kreasi pastry yang diadakan sebuah hotel Antariksa.

Louvre. Aku menamainya begitu. Itu kuambil dari nama sebuah museum terkenal di Perancis. Selain itu, aku juga selalu mengartikannya sebagai jendela. Aku ingin toko ini bukan hanya sekadar usaha atau pekerjaan, tapi jendela yang akan menunjukkan arti jati diri. Karena aku selalu menemukan duniaku, di dalam perpaduan antara tepung, gula, telur dan semua bahan yang menghasilkan berbagai rasa pemanja lidah. Aku ingin orang-orang yang datang juga merasakan hal yang sama.

"Eh!" Aku sedikit terkejut saat merasakan tarikan di lengan. Seseorang dengan dua kardus besar di tangan, melewati kami dengan tergesa. Hampir saja aku tertabrak.

"Hati-hati."

Aku menyengir pada Alan yang kini menggenggam tanganku sebelah tangan, sedangkan tangan lainnya memegang kamera yang tergantung di leher. Kami berjalan pelan melewati banyaknya pengunjung pasar tradisional ini. Besok aku sudah harus mulai kembali ke Louvre, mau tak mau. Dan untuk menetralkan perasaan melankolis yang pasti akan muncul saat memasuki tokoku itu, aku memutuskan ikut Alan hunting foto. Kebetulan, kali ini dia memilih pasar tradisional sebagai obyek.

"Mau beli itu, boleh?" Aku menunjuk lapak penjual kue lumpur.

Alan yang selesai mengambil potret pedagang buah, menoleh. Lalu kepalanya naik turun, meski tetap mempertahankan wajah datar itu. "Yuk."

Aku tersenyum lebar, mengikutinya berjalan menuju tempat yang kumaksud. Tentu saja setelah itu aku yang berinteraksi dengan bapak-bapak yang menjual jajanan tradisional itu. Alan mana mau berbicara pada orang asing, jika tidak dalam keadaan terpaksa.

Aku menggeleng saat Alan mengulurkan uang. "Pakai punyaku."

"Icha." Dia menatapku tegas.

Aku tetap menolak, mengambil uang di dompet dan langsung membayarnya ke penjual sebelum didahului Alan. Dia memasang muka masam, membuatku terkekeh kecil. Aku tidak mungkin terus menerima ketika dia membayari apapun, kan? Padahal aku sudah punya uang sendiri.

"Jalan lagi, yuk."

Alan mengangguk. Sambil berjalan, dia sibuk mengabadikan suasana ramai pasar dengan kamera miliknya. Sesekali, aku menyuapi kue di tanganku, yang tentu saja diterima dengan pasrah olehnya.

"Alan, lemper!" Aku menggoyangkan lengan Alan sambil menunjuk lapak yang ditunggui seorang bapak-bapak. "Beli, ya. Kesukaan kamu, itu!"

Alan malah menatapku dengan mata memicing. Aku memiringkan kepala, mencoba menebak isi kepalanya. Dia memikirkan apa? Pasti aku!

"Ah!"

Aku mengerjap-ngerjapkan mata, terlalu terkejut dengan apa yang barusan dilakukan Alan. Dia memandangi layar kameranya dengan seringai kecil di bibir. Aku langsung mencubit lengannya.

"Alan tuh ya! Kalau mau ambil foto aku, kan tinggal ngomong. Sini lihat!" Aku memberikan plastik kue lumpur yang masih tersisa sedikit ke genggamannya, lalu merebut kamera itu. "Tuh kan jelek banget!"

Aku cemberut memandangi hasil fotoku yang 'enggak banget' karena tak siap. Alan hanya kelihatan santai sambil memakan kue lumpur itu.

"Fotoin lagi yang bagus!" Aku mengembalikan kamera itu ke tangannya.

"Bentar." Dia menghabiskan sisa dua buah kue itu dengan cepat, lalu bersiap membidikku.

Aku langsung pasang berbagai pose, mulai dari yang imut, sok kalem, candid, bahkan sampai bibir dimonyong-monyongkan. Dan selama itu Alan tetap menurut mengambil semua gambarku. Tapi ya jangan harap dia tertawa atau sekadar senyum geli. Nanti ayam jago terpaksa beranak. Kan kasihan.

"Udah ah, capek." Aku mengelap keringat di dahi, masih sambil tersenyum pada Alan. "Coba dong nanti itu fotoku ditawarin ke majalah yang biasa nerbitin foto kamu. Kali aja aku ditawarin jadi model. Kan lumayan it–ah!" Aku cemberut, menggosok-gosok jidat yang disentil olehnya.

"Lemper?" tanya Alan.

Aku mengangguk. "Yuk. Sekalian buat oleh-oleh Zeva sama yang lain."

Alan mengangguk. Kemudian kami berjalan menuju lapak lemper dan teman-temannya berada.

"Mau beli apa, Neng?"

"Mau ini, Pak, lemper. Sama..." Alan mengangkat alis ketika aku menoleh padanya. "Oh itu, nagasari sama klepon. Masing-masing lima belas buah ya, Pak."

"Siap, Neng. Bapak bungkusin, ya."

"Iya, Pak."

Ingat Zeva, aku bisa menebak kalau dia pasti akan mencibir, alih-alih berterima kasih saat aku bawakan oleh-oleh jajanan pasar. Dan kalimatnya pasti begini, "buang-buang duit aja lo beli beginian. Terus gunanya lo punya toko roti itu apa? Masa beginian aja kudu beli? Bikin sendiri, dong! Gimana lo mau kaya kalau prinsip ekonomi aja masih nol? Upgrade otak dong, Cha, upgrade!" Sudah pasti itu begitu.

Tapi ada kalanya aku malas, kan? Lagipula, aku membeli begini juga ada tujuannya kok. Salah satunya, untuk mengetahui rasa yang bagaimana yang lebih disukai masyarakat umum. Aku ingin Louvre tetap terjangkau semua kalangan, baik kue dan roti tradisional maupun yang modern.

Sambil menunggu dibungkuskan oleh si Bapak, aku mengedarkan pandangan ke sekeliling. Ini memang sudah hampir siang, sih, jadi wajar kalau kondisi pasarnya sudah makin ramai. Beberapa orang lalu lalang dengan tujuan masing-masing. Bau keringat dan teriakan-teriakan para kuli yang menawarkan jasa, sudah biasa bagiku. Aku dan Alan tidak pernah terganggu dengan itu. Justru, keramaian dengan aroma tradisional begini selalu disukai Alan. Dia tidak terlalu tertarik jika berada di pasar modern.

"Eh." Aku menoleh dua kali, saat melihat seorang ibu-ibu berjilbab biru muda berjalan cepat meninggalkan kios buah. Bukan itu yang menarik pandanganku. Tapi pada benda yang terjatuh dari goodie bag besar yang dijinjingnya.

"Kenapa?" Alan menyentuh bahuku.

"Kamu bayarin dulu, ya. Aku ke sana bentar." Tapi Alan mencekal lenganku, saat aku akan melangkah. "Bentar aja. Nggak jauh kok."

Setelah cekalan Alan terlepas, aku agak berlari menghampiri benda yang nyaris terinjak orang-orang yang lewat. Kuraih benda itu, kemudian kembali bergegas menyusul ke arah ibu-ibu itu pergi. Untungnya, di depan kios ikan, aku melihatnya. Ibu itu kelihatan sedang memeriksa isi goodie bag-nya dengan muka bingung. Aku segera mendekat.

"Permisi, Bu."

Dia seketika menoleh. Aku sedikit tertegun melihat wajahnya yang sangat cantik, meski usianya mungkin sudah lima puluh tahun ke atas. Dia menatapku bingung, sementara aku tersenyum sesopan mungkin.

"Ini punya Ibu, bukan?" Aku mengulurkan benda itu padanya. "Tadi saya lihat ini jatuh dari tas Ibu."

Si ibu kelihatan terkejut sesaat saat menerimanya, lalu ekspresinya berubah lega. "Ya Allah, iya bener ini punya Tante. Alhamdulillah. Ini Tante bingung banget tadi kok hp Tante nggak ada di tas. Makasih banyak ya, Nak. Makasih."

Aku tersenyum ketika si Ibu menggenggam tanganku. "Sama-sama, Bu."

"Tante mau telepon anak Tante soalnya. Kalau hp Tante hilang, gimana nanti Tante pulangnya coba?" Si ibu terkekeh. "Anak-anak Tante itu protektif dan bawel semua. Kalau tahu Tante pulang sendiri dengan ojek, pasti mereka ngomel. Untung kamu nemuin. Alhamdulillah masih ada orang jujur ya zaman sekarang."

Aku menyengir. "Alhamdulillah masih jadi rejeki Ibu."

"Jangan panggil formal gitu. Panggil Tante aja. Tante Dewi. Nama kamu siapa?"

"Danisha, Tante. Bisa dipanggil Icha."

"Oke, Icha." Tante Dewi tersenyum lembut. "Kamu belanja di sini?"

"Enggak, Tante. Cuma jalan-jalan aja sambil cari jajanan pasar. Icha tadi sama–"

"Cha."

Kami seketika menoleh. Alan terlihat menenteng plastik berisi makanan yang kubeli tadi. Dia memandang kami penuh tanya.

"Icha datang sama dia, Tante." Aku menyentuh lengan atas Alan. "Kenalin, Alan, Tante. Alan, ini Tante Dewi yang tadi aku kejar karena hp-nya jatuh."

"Alan, Tante."

"Halo, Alan." Tante Dewi membalas menyalami tangan Alan. Lalu tiba-tiba, ponsel Tante Dewi berdering. Dia langsung menekan dan menempelkannya ke telinga. "Assalamu'alaikum, Bang."

"..."

"Lho, udah di jalan? Ini Bunda baru mau telepon."

"..."

"Belum. Ini masih mau beli ikan."

"..."

"Lho, kalau ada tugas, kenapa malah jemput Bunda?"

"..."

"Oh dekat sini? Ya udah, iya."

"..."

"Iya, Bang."

"..."

"Iya. Ya udah, nanti langsung susul Bunda aja."

Pasti itu anaknya Tante Dewi yang katanya mau jemput. Oke, abaikan saja pikiran sok tahuku.

"Tante udah mau dijemput, ya?"

"Iya, ini. Anak Tante ini ngotot banget mau jemput, padahal lagi ada tugas di sekitar sini." Tante Dewi menepuk-nepuk pundakku. "Sekali lagi, terima kasih ya Icha, sudah nemuin hp Tante."

"Terima kasih kembali, Tante." Aku tersenyum. "Kalau begitu kami tinggal ya, Tante. Nggak apa-apa, kan?"

"Tentu nggak apa-apa, Nak. Hati-hati ya kalian."

"Terima kasih, Tante. Kami pamit."

Alan mengangguk sopan pada Tante Dewi. Setelah itu, dia menggenggam pergelangan tanganku saat berjalan keluar dari area pasar.

"Kita pulang sekarang?" tanyaku.

Alan mengangguk. "Louvre."

"Oke."

Ingatanku kembali pada Tante Dewi tadi. Aku melakukan itu bukan karena ingin dianggap baik. Aku hanya ingin, jika suatu saat Ibu juga mengalami hal yang sama, dia juga akan ditolong orang lain. Karena sungguh, aku tidak akan pernah rela ibuku mendapatkan kesusahan di luar sana.

Kami sampai di parkiran. Sudah banyak kendaraan beroda dua maupun empat yang terparkir di sana. Alan memintaku menunggu di tempat yang sedikit terhindar dari matahari, sedangkan dia bergerak mengeluarkan motornya yang berada sedikit di dalam. Sambil menunggu, aku memandangi sekeliling. Sesekali merapikan rambut sepunggung yang terbang-terbang karena angin. Saat itulah, tiba-tiba mataku menangkap sosok yang baru turun dari sebuah mobil.

"Mas Bara." Aku bergumam kecil, tak berkedip menatap sosok yang kini makin mendekat itu. Sedang apa dia di sini?

Dia terlihat tegap jeans panjang hitam dan kaus putih yang dibalut jaket biru berbahan jeans juga. Kepalanya menunduk, dan kaki panjangnya terayun dengan mantap di sekitar lalu lalang orang. Masih tak menyadari keberadaanku yang kini menahan degup kencang di dada.

"Cha."

Aku sedikit terlonjak saat merasakan sentuhan di pundak. Alan sudah berada di sebelahku, menatap heran.

"Bengong?"

Aku menyengir. "Motornya mana?"

"Itu." Alan menunjuk motornya yang ternyata baru dikeluarkan oleh petugas parkir. Sepertinya dia meminta bantuan orang itu.

Aku mengangguk, kemudian menoleh ke arah Mas Bara tadi berja—eh dia lihat aku! Matanya menyorot lurus ke arahku, seiring jaraknya yang makin dekat. Aku berdiri terpaku sambil menelan ludah. Bahkan lengan Alan yang melingkari bahuku, tak kuhiraukan. Kami bertatapan. Dan berjarak tiga langkah Mas Bara dariku, napasku spontan tertahan.

Aku memikirkan kalimat apa yang nanti akan kuucapkan saat dia memanggil. Atau juga jawaban apa yang harus kuberi waktu dia mempertanyakan sikap menghindarku belakangan ini. Atau bahkan—eh?!

Mataku melotot. Mulutku menganga lebar. Leherku bahkan memutar, memandangi punggung tegap yang kini menjauh ke arah berlawanan. Apa ini? Mas Bara ... melewatiku begitu saja?

Sebulan tidak bertemu, apa membuat dia pangling dengan mukaku? Mustahil!

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel