Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Two

"Knock knock!"

Mendengar suara itu, aku langsung menoleh ke arah pintu di mana kepala Alan menyembul. Segera, aku bangkit dari posisi berbaring di karpet dan menghampirinya.

"Alan!" Lalu seluruh tubuh Alan masuk. Aku berlari menghampirinya. "Tumben masih siang udah pulang?"

"Dosennya nggak masuk." Alan menepuk puncak kepalaku pelan. "Makan, yuk."

Aku meraih bungkusan plastik yang diulurkan Alan dan memeriksanya. Gulai ayam! Aku tersenyum lebar padanya. "Telepati kita emang kuat banget, ya. Tahu aja kamu, kalau aku hari ini nggak masak."

Alan hanya tersenyum tipis, lalu duduk di karpet depan televisi. Sebenarnya, mitos tentang kuatnya insting dan telepati-apalah itu tentang kami, masih kuragukan kebenarannya. Karena selama ini, Alan sangat tahu isi hatiku bukan karena insting itu, tapi karena dia memang nyaris mengenalku luar dalam. Seperti sekarang. Dia membelikan gulai ayam karena tahu aku sedang datang bulan dan kalau sudah begitu, akan malas melakukan apapun. Bahkan nasi saja tadi dia yang memasaknya sebelum berangkat ke kampus.

"Siapin."

"Siap!" Aku menaruh dua jari di pelipis, dan segera berlalu ke dapur yang ukurannya sepertiga dapur Louvre.

Kusiapkan gulai ayam ke dalam mangkuk dan menumpuknya bersama dua piring bersih, memindahkan nasi dari rice cooker ke wadah, lalu membawanya ke ruang santai—yang ketika malam berubah jadi tempat tidur Alan karena kamarnya kupakai. Dia tidak mungkin membiarkan gadis kesayangannya tidur tanpa kasur, kan?

"Alan?" Aku mengerutkan kening saat sampai, dan Alan sudah tidak ada di sana. Tasnya juga tidak ada. Dia tidak pergi lagi, kan? Masa tidak–

"Hm?"

Aku menoleh. Alan ternyata keluar dari kamarnya, dan sudah berganti pakaian dengan celana selutut dan kaus pendek warna abu-abu tua. Dia berkali-kali lipat jauh lebih ganteng kalau sedang mode santai begini. Tapi tetap saja, muka dinginnya itu tidak pernah hilang. Nah lihat! Dia bahkan hanya melirikku sekilas, sebelum berlalu ke kamar mandi sempit yang ada di dapur. Aku merengut, mulai menata makanan sekaligus menyendokkan nasi dan gulai ke piring kami.

Aku mendongak saat Alan datang membawa wadah berisi air. Aku menyengir. Baru sadar kalau lupa dengan air kobokan. Alan duduk di sampingku. Aku masih terus memperhatikannya. Wajahnya yang kelihatan segar karena baru dibasuh—masih tersisa titik-titik air di beberapa tempat. Rambutnya yang acak-acakan dan juga basah. Lalu mata tajamnya yang ... eh dia lihat aku!

"Aku kira kamu pergi lagi."

"Nggak pamit?" balasnya.

Aku menyengir, lalu meraih tangannya yang ditaruh di pangkuan. "Jangan ninggalin Icha, yaa."

Alan mengangkat tangan, mengelus alis, lalu melepaskan tangannya yang kugenggam dan mulai makan setelah berdoa dulu. Aku mengikutinya dalam diam. Respon begitu saja sudah cukup. Kebiasaannya saat mengiyakan permintaanku adalah mengelus alis. Entah dari mana kebiasaan itu dia dapat. Dugaanku sampai sekarang sih, karena dia pelit bicara. Padahal bicara tidak akan mengurangi pulsa, kan?

Dan soal permintaanku barusan, sebenarnya aku sudah tahu dia akan merespon seperti apa. Hanya saja, aku selalu perlu upgrade keyakinan bahwa dia tidak akan pernah meninggalkanku. Hanya dia, satu-satunya.

"Kemarin jadi tukang foto di mana?" Aku bertanya, ketika kami selesai makan dan sudah cuci tangan.

"Jalan."

Aku yang sedang menyalakan kamera miliknya, menoleh. "Ada orang bikin acara di jalan, gitu?"

Alan mencecap lolipop yang dia gunakan sebagai pencuci mulut, lalu mengeluarkannya. "Hunting aja."

"Ooh." Aku terkikik, sambil menggeser-geser hasil foto miliknya. "Kirain ada acara ulang tahun di jalan, gituu."

Alan hanya mendengus. Dia kembali menikmati lolipopnya dan membiarkan aku bersandar di lengannya. Selain kuliah kedokteran, Alan juga bekerja jadi tukang foto untuk menunjang prinsipnya yang tidak mau menyusahkan orang tua. Bahkan rumah kontrakan ini dia bayar dengan uang sendiri. Sekarang, dia dikontrak jadi tukang foto tetap di sebuah butik sekaligus fashion online shop bernama Moshei. Selebihnya, freelance. Hebat, kan?

"Ini di mana?"

Alan melihat sebentar melalui bahuku lalu berkata, "Dekat Moshei."

Aku mengernyitkan kening. "Toko furnitur?"

"Iya."

Aku terkikik. Kalau Zeva yang kutanya, pasti jawabannya akan membawa-bawa kapasitas otakku. Dan kalimatnya pasti begini, "Otak lo kalau banyak virus jangan kebangetan gitu dong, Cha. Emang lemari, kursi, meja itu sekarang pindah lapak ke butik? Retoris gitu. Heran gue kenapa si Alan bisa betah melihara lo. Upgrade, dong, upgrade!". Hih, tahu banget aku!

"Foto-foto kamu emang the best deh." Aku tersenyum lebar, meletakkan kamera di pangkuannya lalu mengubah posisi menyandarkan kepala di bahunya. "Itulah kenapa Louvre bisa dapat kerja sama dengan istri pejabat, kata Zeva kemarin. Itu kan ada campur tangan hebat kamu dan caption keren aku!"

Alan seketika menarik bahunya dariku. Ekspresinya mendingin. "Kemarin?"

Aduh! "I-iya."

Kelopak mata Alan berkedip pelan. "Nggak niat ... cerita?"

"Ng ... itu, apa itu namanya? Icha kan nggak ... itu ... nggak tega gitu lho ganggu-ganggu Alan kalau pulang malam terus ... terus kelihatan capek banget. Makanya semalem nggak cerita. Gituu." Aku mengkerut. Alan itu kadang posesif dan keponya berlebihan. Dan bodohnya, aku sering lupa. Padahal, muka dia kalau lagi begini bikin ngeri banget! Dan aku harus bersikap sok imut sebagai senjata peluluh.

Dan berhasil! Alan mengembuskan napas pelan dan menormalkan ekspresinya. Mode dingin, maksudnya. Dan dia kembali menarik kepalaku ke bahunya. "Terus?"

Aku senyum-senyum, dong! "Terus lima ... eh empat hari lagi kerja sama pertama dengan pesanan lima ratus puff pastry berbagai jenis."

"Hm?"

"Dan kamu tahu apa artinya?" Aku menarik kepala, menatapnya serius. "Aku harus balik ke Louvre! Gawat, kan?"

Alan mengerutkan kening, tanda heran. Dan memiringkan kepala, tanda berpikir. Lalu bola matanya berubah sorotnya. Tanda dia paham. "Hadapi."

Aku cemberut. "Masa harus hadapi? Pak Gio itu, kata Zeva hampir setiap hari nyari aku. Nggak mau ah!"

"Danisha."

"Nggak mau, Alantra...."

Alan mengelus alisku—yang setebal alisnya. "Sama aku."

"Kamu kuliah."

"Senin libur."

Aku mengerjapkan mata. "Serius?"

"Hm."

"Seharian nemenin? Nggak ada jadwal jadi tukang foto di Moshei?"

"Hm."

"Okay ... aku pikirin lagi."

Elusan Alan berubah jadi ketukan di dahi. "Pikirin Louvre."

"Tapi nggak siap ketemu Pak Gio, Alaan."

"Yakin ketemu?"

"Ng...." Aku menggaruk kepala. "Enggak juga, sih."

"Ya udah."

Aku mengembuskan napas pelan. "Tapi nanti kalau Pak Gio datang, aku ngumpet ya? Terus Alan tidur di Louvre juga nemenin aku sama Santi. Terus juga, Alan nggak usah nemuin Pak Gio. Biar Zeva aja yang galak. Okay?"

Alan mengangguk. Aku tersenyum lega. Oke Pak Gio, jangan harap Icha mau ketemu ya. Icha punya tambahan satu tameng yang bakal menghalangi kanker bucin itu flare lagi.

Alan memang segalanya. Pak Gio? Nggak ada apa-apanya tuh!

Setidaknya itu harapanku.

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel