Four
Pertama kali melihatnya, adalah di sebuah halte, empat bulan lalu. Saat itu hujan, aku sedang menunggu bus datang. Tiba-tiba ada sebuah mobil menepi. Awalnya biasa saja. Aku hanya memperhatikannya sambil lalu. Seorang pria tinggi turun membentangkan payung, berjalan tegak menghampiri seorang nenek beberapa meter dari tempatku duduk. Saat itulah, mataku terpaku.
Pria itu memiliki struktur wajah yang tegas dan pandangan mata tajam. Dia berkata sesuatu pada nenek itu, lalu membantunya menyeberang. Tak lupa, memayungi tubuh tua yang basah kuyup itu. Dan saat mereka berpisah, pria itu memberikan beberapa lembar uang pada nenek yang kutebak seorang penjual gorengan itu.
Hanya seperti itu. Tidak ada yang istimewa. Bahkan aku tak sedikit pun dilirik oleh pria itu. Tapi kenapa malam-malam setelahnya, aku selalu mengingat kejadian itu? Bahkan tak jarang sampai terbawa mimpi. Dan aku selalu meyakinkan diri sendiri bahwa itu terjadi karena hati kecilku tersentil oleh perbuatan pria itu. Aku merasa tidak berguna karena tidak bisa peka dan perhatian pada sekitar.
Sampai sebulan kemudian, saat aku membuka pintu kontrakan, aku melihatnya lagi. Berdiri di kontrakan sebelah dan memperkenalkan diri dengan nama ... Bara. Waktu itu aku terpaku. Butuh beberapa detik untukku tersadar dari rasa terpana, terpesona, terpukau, atau entah apa namanya. Hanya saja, tidak tahu datang dari mana pikiran gila itu, hingga di hari selanjutnya aku bertekad untuk mencuri perhatian pria itu. Aku ... tertarik pada Mas Bara.
"Woi!"
Aku mengerjapkan mata. Menemukan gadis dengan rambut bob di atas bahu dengan cat biru elektrik yang nyentrik, sedang menatapku galak.
"Bengong aja lo!"
"Nggak, kok." Aku berkilah sambil mengubah posisi tiduran di sofa panjang di dapur. "Capek aja."
Zeva berdecih dengan satu tangan bertengger di pinggang. "Gue kenal lo bukan setahun dua tahun, ya. Gue tahu mana muka lo yang lagi capek, lagi ngelamun, apalagi pas mikir jorok."
Aku cemberut. "Nggak pernah ya aku mikir jorok."
"Halah. Pas keganjenan ngejar tuh satpam gadungan, emang lo nggak mikir jorok? Nggak percaya, gue."
"Emang enggak."
Aku memejamkan mata. Walaupun tidak sepenuhnya jujur, tapi aku benar-benar kelelahan. Bekerja dari sore sampai pagi dan tidak tidur semalaman jelas membuat badanku terasa sangat remuk. Bahkan Santi, pegawai yang selalu bertugas membantuku di dapur, sekarang sudah tidur di lantai atas. Ruangan seluas delapan meter persegi yang kujadikan tempat istirahat dan sholat.
"Alan mana?" Aku seketika tersadar. Tadi saat orang suruhan klien yang kata Zeva istri pejabat, mengambil pesanan yang sudah siap, Alan pamit keluar sebentar. Dan sampai sekarang belum kembali, padahal sudah hampir satu jam.
"Tuh di tokonya Arya." Zeva duduk di sebelahku, mengotak-atik ponsel.
"Oh iya." Aku menatapnya. "Gimana progress kamu sama Arya?"
"Kepo!"
Aku terkikik. Masalahnya walaupun dia memasang muka judes begitu, pipinya kelihatan memerah. Lucu juga sih melihat Zeva akhirnya jatuh cinta. Pada Arya, lagi. Cowok yang sekampus dengannya dan setiap hari sambil bekerja mengelola toko alat tulis di sebelah bangunan Louvre. Arya itu sangat lembut dan penurut, berkebalikan dengan Zeva yang galak dan keras kepala. Sayangnya, Arya itu seperti alergi kalau melihat Zeva. Mungkin karena tidak nyaman dengan aura galaknya. Padahal sebenarnya sahabatku ini baik, cuma tertutupi dengan sifat blak-blakan dan tomboi-nya.
Sebenarnya tak beda jauh denganku. Mas Bara juga selalu kelihatan alergi setiap aku mendekat. Dia akan memasanf muka dingin dan tak bersahabat setiap kali aku menyapa atau mengajaknya bicara. Walaupun setiap hari kami lebih sering bertemu karena dia juga bekerja sebagai satpam di SMA seberang Louvre, tapi tetap tak berhasil mengikis dinding yang dia ciptakan agar aku tak masuk. Meskipun, di beberapa kesempatan aku merasa ada sedikit kemajuan setiap aku memberinya bronis kukus.
Hanya saja, pada akhirnya tetap sama. Dia tidak pernah berubah lembut dan melirikku. Sampai pada akhirnya sebulan lalu aku tahu bahwa dia bukan satpam, melainkan polisi yang sedang menyamar. Nama aslinya Sergio Barachandra. Kenyataan itu membuatku terpaksa mundur dan menjauh darinya. Aku bertekad menghapus ketertarikan padanya.
Walaupun entah, sudah berhasil atau belum.
"Cha."
Aku mendongak. Alan ternyata sudah berdiri, dengan kamera menggantung di lehernya.
"Kamu dari mana?"
"Arya." Alan mendekat, mengelus puncak kepalaku. "Ada dia."
Mataku membelalak. "Siapa?"
Alan melirik Zeva, kemudian kembali menatapku. "Polisi."
Aku menutup mulut dengan kedua telapak tangan. Sedangkan Zeva langsung bangkit dan raut mukanya mulai kesal. Dia menatapku tajam.
"Mas Bara lo, tuh!"
"Ih enggak, ya. Itu Pak Gio. Orang pakai seragam polisi, kok." Aku mendongak kembali pada Alan. "Iya kan, Lan?"
Alan mengangguk. "Temui."
"Nggak mau. Zeva aja."
Zeva berdecak keras. "Nyusahin aja sih lo. Pengecut. Ngadepin satpam gadungan aja nggak berani. Nggak inget, dulu keganjenan mepet-mepet macem–"
"Zev."
Zeva melotot pada Alan yang menatapnya tak suka. "Terus aja belain kesayangan lo ini. Lagian itu si polisi ngapain sih ke sini lagi? Ganggu ketentraman orang aja!"
Aku cemberut. "Kamu kan tahu, kenapa aku nggak mau ketemu Mas–Pak Gio."
"Takut gagal move on?" Zeva memutar bola mata. "Ya udah, nggak ada yang suruh lo move on. Alan juga enggak. Ya kan, Lan? Lo nggak larang Icha suka sama siapa aja, kan? Walaupun orangnya polisi?"
Aku bisa merasakan elusan lagi di kepala, saat Alan berkata datar, "Jangan maksa."
"Gue nggak maksa, anjir! Kan cuma kasih saran. Muka lo juga. Biasa aja dong, dasar es batu. Balik aja lo sana ke kandang lo di kulkas!"
Setelah mengomel begitu, Zeva keluar dari dapur. Meninggalkanku yang menghela napas berat. Ini bukan sekadar aku yang merasa dibohongi oleh Mas Bara selama kami kenal. Karena jelas, Mas Bara tidak pernah menceritakan apa-apa soal pekerjaannya. Aku hanya menebak karena dia yang setiap hari berjaga di pos satpam SMA itu, juga memakai seragam satpam. Siapa yang tidak berpikir begitu, coba?
Tapi bukan itu saja yang masih menciptakan ganjalan di pikiranku. Masalahnya ada di aku. Yang mungkin bagi orang lain sederhana, tapi bagiku tidak semudah itu. Bahkan memanggilnya seperti biasa saja aku sudah tak bisa. Karena bagiku, dia yang memakai seragam polisi adalah Pak Gio. Bukan Mas Bara, orang yang selama ini kusukai.
"Ngapain Bapak ke sini lagi?"
Suara ketus Zeva terdengar sampai dapur. Itu membuatku dan Alan saling berpandangan. Kalau Alan berdecak malas sambil menatapku tajam, aku malah hanya menyengir. Untung sekarang toko sudah cukup sepi. Karena penasaran, aku mendekat dan berdiri di belakang dinding dapur. Jaraknya yang tak seberapa dengan ruang depan, membuatku bisa mendengar suara mereka dengan lumayan jelas.
"Mana Icha?"
Aku menelan ludah. Rasanya lama sekali telingaku tak mendengar suaranya yang berat dan tegas itu. Tolong, usir jauh-jauh rindumu, Danisha!
"Nggak bisa ganti pertanyaan lain, Pak? Bosen saya tuh tiap hari ditanyain itu mulu!"
"Icha mana?"
"Nggak ada! Ngilang dia tuh!"
"Jangan coba bohongi saya."
"Ya elah, untungnya buat saya bohong itu apa, sih? Lagian Bapak tuh kenapa ribut mulu nyariin Icha, sih? Bocah labil gitu kok. Cari aja cewek lain yang lebih dewasa, gampang kan? Saya nggak lupa ya dulu gimana Bapak nolak Icha. Ya oke Icha emang keganjenan, sih."
Aku menepuk dahi. Ini Zeva mau membela atau malah menghinaku, sih?
"Saya suka dia."
Zeva terbahak keras. Aku menahan napas, juga meresapi bagaimana berulahnya jantungku sekarang. Ucapan Pak Gio menusuk-nusuk telingaku. Menciptakan desiran halus di ulu hatiku.
"Bullshit, Pak!"
Seruan Zeva menyadarkanku. Ya, benar. Aku tidak boleh goyah hanya karena pengakuannya yang entah benar atau tidak. Bahkan aku tidak bisa lupa saat kemarin dia berlalu begitu saja saat berpapasan.
"Saya serius."
"Bodo amat ya, Pak. Icha sekarang udah nggak suka Bapak."
"Dari mana kamu tahu?"
"Ya dari Icha, lah. Dia udah punya cowok kali. Yaa Bapak sendiri kan pernah bilang kalau Icha cuma bocah labil. Dan emang bener. Kemarin-kemarin dia emang ngejar-ngejar Bapak macam cabe-cabean." Zeva! "Tapi namanya labil. Seleranya sekarang bukan yang om-om, jadi ya sorry to say. Bapak udah nggak bikin Icha naksir."
"Saya nggak percaya."
"Ya udah, sih. Nggak ada untungnya juga buat saya."
"Bilang sama dia, saya nggak peduli dia sembunyi berapa lama. Kemarin dia bebas karena saya ada urusan." Apa?! "Tapi kalau sampai kami ketemu lagi, jangan harap dia bisa lepas."
"Wow. Bapak Polisi lagi ngancam?"
"Nggak mengancam. Hanya menegaskan. Permisi."
Suara ketukan sepatunya terdengar menjauh. Aku meraup udara sebanyak mungkin. Baru sadar selama dia bicara dengan Zeva, selama itu pula napasku tertahan. Mataku memanas. Setiap katanya yang tegas dan penuh keyakinan, membuat telingaku berdenging. Tidak. Aku tidak boleh begini.
"Cha."
Aku mendongak. Alan menatapku penuh arti. Senyumku terulas getir, membuat dia menghela napas kemudian merentangkan kedua tangan. Menahan tangis, kubenamkan wajah di bahunya.
"You're nothing."
"You don't deserve it. I'm sorry."
"Nothing."
Kata-kata itu terngiang di telingaku. Aku baru akan menangis, saat usapan tangan Alan terasa lembut di belakang kepala.
"You're everything." Dia berbisik lembut. "Please."
Aku tidak tahu.
***
