Five
"Kamu masih di kontrakan Alan?"
Aku menghela napas mendengar pertanyaan Ibu di seberang sana. Kutatap Santi yang sedang membuat fla untuk toping pie coklat, menggantikan tugasku. "Masih."
"Jangan gitu dong, Cha. Pindah secepatnya."
"Kenapa sih, Bu? Kan nggak dosa juga."
Ibu terdiam selama sepersekian detik sebelum akhirnya berkata, "Jangan nyusahin Alan. Dia udah capek sama kuliah dan kerja. Jangan tambahin dengan kerepotan ngurusin kamu."
"Tapi Bu–"
"Ini konsekuensi kamu waktu memilih tinggal jauh dari rumah. Konsisten dong, Icha. Ibu nggak suka ya kamu jadi begini. Kamu harus bertanggung jawab dengan apapun yang jadi keputusan kamu. Termasuk soal toko. Kamu udah balik kerja lagi, kan?"
"Iya, udah."
"Bagus. Dan mulai besok, jangan tinggal di kontrakan Alan."
Aku mendesah. "Bu...."
"Icha!" Ibu mulai meninggikan suara, membuat bibirku terkatup rapat. "Ibu nggak mau kamu nyusahin Alan, ya. Alan juga bakal repot kalau tiap pagi anter kamu ke toko dengan jarak sejauh itu. Jangan buat Ibu menyesal melahirkan dan merawat kamu sampai sebesar ini, kalau nyatanya kamu nggak bisa belajar dewasa!"
"Ibu lebih sayang Alan ya, daripada Icha?" tanyaku, dalam hati.
Ya, aku tidak mungkin berani menyuarakan pertanyaan itu. Tidak, meskipun itu bermaksud bercanda atau benar-benar serius. Dan meskipun ini hanya prasangka, atau aku sungguhan merasakan itu. Hal terakhir yang paling kuinginkan, adalah menghadapi kemarahan Ibu. Cukup sekali saja, empat tahun lalu.
Waktu itu, aku agak kesal karena Ibu membiarkan Budhe Risna terus-terusan memojokkanku. Kakak tertua Ayah itu selalu mengolok-olok dan membanding-bandingkan aku dengan orang-orang yang katanya lebih hebat dan berguna. Dan seringnya yang paling terkuat sebagai pembanding, adalah Alantra Mahendra. Itu adalah hal yang sangat memuakkan untukku. Meski sampai kapan pun, dia tidak pernah bisa untuk kubenci. Karena Alan adalah satu-satunya yang tak pernah merendahkanku.
Hari itu aku memberanikan diri menanyakan rasa sayang Ibu. Apakah wanita yang melahirkanku dua puluh tahun lalu itu, lebih condong ke Alan daripada Danisha Maharani? Dan aku mendapatkan sebuah hadiah tamparan darinya. Juga didiamkan berhari-hari. Hatiku sakit saat itu, tapi tak bisa apa-apa. Apalagi, aku memang sadar telah melakukan kesalahan. Ibu pasti merasa terluka karena pertanyaanku itu. Ditambah, semua orang terus menyalahkanku. Terutama Mbak Dita, Budhe Risna, Gina, bahkan Ayah. Hanya Nenek dan Alan yang menasehatiku dengan lembut tanpa memojokkan.
Sejak itu, aku jera. Setelah meminta maaf dan berjanji untuk tidak mengulangi, aku tidak lagi mempertanyakan segala hal yang berkaitan dengan kasih sayang Ibu, Ayah, maupun semua orang yang tinggal di rumah besar Nenek. Aku terus diam dan menerima semua sikap tak bersahabat mereka yang tidak kutahu sebabnya. Walaupun di dalam hati, aku bertekad untuk keluar dari rumah itu. Bukan pergi, tapi menjaga jarak.
Dan itu berhasil, sejak Louvre hadir.
"Besok Minggu pulang."
Suara Ibu membuyarkan lamunanku. Aku sedikit tergeragap. "Apa, Bu?"
"Pulang, Icha. Kamu harus ikut persiapan selamatan empat puluh hari Nenek. Ibu nggak mau dipermalukan hanya karena kamu nggak ada."
Aku mendesah berat. Pulang dan berkumpul dengan semua orang lebih dari sehari, adalah sesuatu yang selalu ingin kuhindari. Tapi kalau Ibu sudah memberi titah, aku bisa apa? "Iya, Bu."
"Ya sudah, sana balik kerja."
"Iya, Ibu sehat-sehat ya. Icha besok bikinin bolu singkong kesukaan Ibu. Ya udah, Icha tutup ya." Aku baru akan memutus sambungan, tapi suara Ibu kembali terdengar.
"Jangan lupa makan siang. Vitamin jangan absen."
Sambungan terputus. Aku mengulum senyum. Sebanyak dan sekeras apapun Ibu mengomeliku, pada akhirnya dia akan tetap menyelipkan perhatian. Dan membuat keraguanku luntur.
"Udah selesai?" Aku mendekati Santi yang sedang memasukkan pie pizza itu ke dalam kardus.
"Done." Santi tersenyum lebar. "Tinggal kasih ke Abang kurir."
"Sip." Aku mengacungkan dua jempol.
Santi tertawa. Gadis ini adalah tetangga beda kampung denganku, dulu pernah satu sekolah saat SD. Dia putus SMA dan memilih bekerja serabutan untuk melunasi hutang yang ditinggalkan kedua orang tuanya. Meskipun anak tunggal, dia tidak lantas hidup penuh kesenangan. Bahkan sampai sekarang hutang itu belum habis juga. Yaa, kalau sudah begini, aku harus lebih bersyukur pada hidupku.
"Cha!"
Aku menoleh. Di ambang pintu dapur, Riska berdiri. Saat ini memang hanya kami bertiga di toko. Alan kuliah. Zeva sedang mengurus cuti kuliahnya yang habis, dan mungkin minggu depan sudah mulai rutin ke kampus lagi.
"Ada apa, Ris?"
"Ada yang nyari."
Aku langsung mengkerut di belakang tubuh Santi. Riska langsung terkikik mengejek.
"Bukan Pak Polisi, kok." Dia kembali tertawa. "Cewek."
Aku mengerjapkan mata, melepas tangan dari bahu Santi. "Siapa?"
"Nggak tahu. Cuma nanyain Louvre beneran punya elo bukan? Imut tahu, anaknya. Kayak boneka." Riska mengibaskan tangan. "Sana ah, samperin aja."
Aku menurut, melepas apron kemudian keluar dari dapur. Saat sampai di depan di mana cukup banyak pengunjung di jam makan siang begini, aku melihat seorang gadis sedang membelakangi etalase kue tradisional. Dia memakai sweater warna hitam. Rambut hitamnya dikuncir tinggi. Aku segera mendekat.
"Permisi," ucapku.
Gadis itu langsung membalikkan badan dan aku membelalakkan mata. Dia mengamatiku dari atas ke bawah lalu ke atas lagi, dan akhirnya pekikan kerasnya berhasil membuat orang-orang menoleh seketika.
"KAK ICHAAA!"
Aku terkejut bukan main, dan tak siap untuk menerima tubrukan darinya. Dia memelukku kuat-kuat dan menjerit heboh, sebelum melepas tubuhku beberapa detik kemudian.
"Kinara." Aku menyengir. "Hai."
"Hai hai hai!" Dia menepuk pundakku keras-keras. "Sombong ya sekarang, nggak kabar-kabar kalau udah punya toko ramai kayak gini!"
Aku tertawa. "Buat apa coba aku kabarin kamu?"
Dia cemberut sambil mengibaskan rambut ekor kudanya. "Ya biar aku bisa main, lah. Gila aja. Aku udah lama kangen lava cake Kakak, tahu!"
Aku tertawa. "Duduk dulu, yuk." Lalu menoleh pada Riska yang baru keluar. "Ris, lava cake ya."
"Siap, Bos." Riska tertawa saat aku mendelik tak suka. Aku memang tidak pernah setuju kalau dia dan Santi memanggilku seperti itu.
"Jadi, Louvre ini semacam toko plus kedai?" tanya Kinara, begitu kami duduk di satu-satunya meja yang tersisa.
"Yup." Aku menunjuk ke sekeliling. "Baru dikit, sih. Cuma delapan meja."
"Tambahin, dong. Aku udah bayangin bawa semua teman-teman kampusku ke sini, tahu." Kinara mengacungkan kelingking. "Diskon tapi, ya."
Aku tertawa, membalas tautan jari kelingkingnya. Kinara ini adalah adik kelasku saat SMA. Dia termasuk jajaran siswa populer dan terpandang, yang tentunya banyak teman. Dia juga pemberani. Saat kelas sepuluh, dia lumayan sombong dan berani membully verbal teman-temannya. Sikapnya itu bertahan selama hampir satu tahun. Di akhir semester genap, dia dibalas bully oleh korban-korbannya yang menaruh dendam. Saat itulah aku dan Zeva tak sengaja melihat, dan berusaha menolongnya yang mengalami kekerasan fisik.
Sikapnya mulai berubah, tidak lagi merendahkan teman-temannya. Bahkan, dia meminta maaf dengan lantang di depan semua murid dan guru, selepas upacara bendera. Sejak saat itu, dia jadi akrab dengan kami. Dan dia adalah pelanggan pertamaku yang setidaknya dua minggu sekali, selalu memesan kue padaku. Sayangnya setelah lulus, kami tidak lagi bertemu. Bahkan tidak saling komunikasi karena saat SMA, aku memang tidak menyimpan nomor teleponnya. Maklum, waktu itu aku belum punya ponsel.
"Makasih!" Kinara tersenyum lebar saat Riska menaruh sepotong lava cake dan air mineral di hadapannya. Tanpa malu, dia langsung melahap kue dengan lelehan coklat itu. "Umm ... super duper yummy!"
Aku terkekeh. "Kamu dapat dari mana alamat sini?"
"Dari instagram." Dia menelan kuenya dengan cepat. "Followers Kakak udah lumayan banget, ya. Heran aku. Kok bisa aku nggak tahu? Kak Icha tega banget nggak kabarin."
"Aku kan nggak tahu nomor hp sama sosmed kamu."
"Iya juga sih." Dia menyangga dagu dengan telapak tangan. "Oh ya, terus Kak Icha ngurus toko sambil kuliah?"
Aku menggeleng. "Aku nggak kuliah."
Dia manggut-manggut, tanpa ekspresi heran atau merendahkan yang kupikir akan dia perlihatkan. "Aku malah nggak mau lanjut kuliah, tapi Ayah sama Abang maksa. Kan kesel."
"Emang jurusan apa?"
"Seni."
"Lho, itu kan sesuai sama cita-cita kamu. Katanya pengen jadi pelukis?"
"Iya juga sih." Dia menyengir. "Tapi males belajarnya. Otak aku udah capek. Beban hidup aja udah berat."
"Dasar!" Kami tertawa bersama. "Kamu ke sini sendiri?"
Dia mengangguk. "Naik ojol. Tapi ini bentar lagi abangku mau nyusul. Eh, ini dia telepon. Bentar."
Aku tersenyum, memperhatikannya yang menekan tombol hijau di layar ponsel dan menempelkannya di telinga. Riska benar. Kinara memang cantik dan imut seperti boneka. Bahkan tanpa banyak berusaha, dia bisa menarik perhatian pengunjung toko ini yang didominasi anak-anak SMA seberang jalan.
"Halo, Abang. Udah sampai mana?"
"..."
"Iya, bener."
"..."
"Iya, Abang. Louvre itu punya kakak kelas Nara. Kenapa sih?"
"..."
"Abang udah di depan? Ya udah masuk, dong."
Dia menaruh kembali ponselnya di meja, lalu menyengir padaku. "Abang udah di depan, ternyata. Nanti aku kenalin, ya. Dia ganteng, tahu, tapi jomlo. Padahal udah tua. Habisnya galak, sih. Pantes nggak ada cewek yang—"
Suara lonceng angin di pintu masuk, mengejutkan kami. Kinara menoleh ke belakang. Sedangkan posisi yang menghadap ke sana, membuatku langsung tahu siapa yang masuk. Mataku membeliak.
"—eh Abang!"
Mulutku menganga. Apa? Abang? Orang yang sekarang menatapku terkejut, lalu menyeringai jahat itu adalah abangnya Kinara? Oh ya ampun! Dia mendekat ... dan badanku kaku sekadar untuk melarikan diri. Aku menahan napas saat dia sudah sampai dan berdiri menjulang di samping kursiku.
"Kak Icha, kenalin ini abangku. Panggil aja Bang Gio."
Bodohnya, aku hanya bisa mendongak tanpa berkedip. Matanya berkilat-kilat tajam menatapku. Jaketnya yang bertuliskan police di bagian dada, seolah mengejekku.
"Abang, kenalin ini kakak kelasku namanya Icha."
Dia tersenyum miring, menundukkan tubuh dan menyejajarkan kepala denganku. Lalu kalimat lirihnya terdengar bagai ancaman di telinga.
"Halo Sayang, sudah capek ngumpetnya?"
Mati aku!
***
