Six
"WOW!"
"Kakak pacaran sama Bang Gio? Super duper wow!"
"Gila ini mah!"
Iya, aku juga setuju dengan Kinara kalau ini gila. Maksudku, hanya abangnya yang gila. Bisa-bisanya dia mengucapkan kalimat itu, dan memanggilku 'Sayang'? Memangnya aku siapanya dia? Lupa ya kalau dulu selalu menolak tanpa perasaan setiap aku mendekat? Oh tolonglah, Danisha Maharani! Kamu tidak boleh bengong dan mematung begini. Tidak lucu kalau sekarang kamu ketakutan, padahal sebulan ini sibuk menghindar. Dan tentunya, kamu tidak boleh mati hari ini!
"Kak Icha!" Kinara kembali duduk di kursinya, menatapku dengan ekspresi syok yang tidak repot disembunyikan. "Kakak pacaran sama Bang Gio? Bener? Ngomong dong, Kak!"
Aku menggigit bibir, diam-diam melirik pada pria yang kini duduk di sebelahku dan sedang ... menatapku? Bibirnya bahkan masih menyeringai macam psikopat. Ih!
"Kak." Kinara menggenggam satu tanganku, lalu memasang muka iba. Ada apa dengannya? "Pikirin ini baik-baik, Kak. Aku sama Bang Gio itu beda dua belas tahun. Artinya sama Kak Icha beda sepuluh. Dia udah om-om, Kak. Pikirin nasib Kakak. Jangan hancurin masa depan Kakak cuma kare–auh!"
Aku meringis. Kinara cemberut dan mengusap-usap kening, tak lupa sambil memelototi sang pelaku yang menyentilnya itu.
"Jangan ngomong macam-macam ya, Ra."
"Tuh kan Kak!" Kinara menatapku dengan tatapan berapi-api. "Dia itu galak. Jangan mau pacaran sama dia. Kak Icha harus balik ke jalan yang benar. Nggak rela aku, kalau Kak Icha terjerumus ke dunia sesat."
"Nara."
"Nggak usah melotot, Abang. Nara lagi nyadarin Kak Icha, ini. Sesayang-sayangnya Nara sama Abang, tetap aja Nara peduli sama Kak Icha. Jadi jangan ganggu."
"Tunggu di mobil aja sana!"
"Nggak mau, ya! Nara masih mau ngobrol sama Kak Icha. Abang yang tunggu aja di mobil."
"Kinara."
"Nggak mau, Abang!"
Aku menghela napas, menyaksikan perdebatan kakak beradik ini. Yang satu bersuara galak dan tanpa ekspresi, sedangkan yang satunya legi ekspresif dan heboh. Sukses deh membuat orang-orang yang di ada di Louvre menonton mereka dengan melongo. Ya bagaimana? Visualisasi mereka memang menarik mata, sih. Bahkan Santi dan Riska mengintip di balik etalase.
"Kata Revan, kamu ngincer tas keluaran terbaru yang kemarin itu ya? Abang bisa lho–"
"Oke deal!" Aku melongo saat Kinara bangkit dengan semangat dan menatap abangnya berbinar. "Janji. Awas kalau nggak ditepati!"
"Kinara." Aku menatapnya protes.
Kinara menyengir. "Mending kalian ngobrol dulu, deh. Lagi berantem, kan? Pasti iya. Aku denger Kak Icha ngumpet kan dari Bang Gio? Ada masalah itu diobrolin baik-baik, Kak. Okay? Besok aku ke sini lagi ajak teman-teman. Dadah!"
Aku memandangi punggung kecil Kinara yang menghilang di balik pintu masuk Louvre. Tidak bisa dipercaya. Masa dia rela meninggalkanku demi sebuah tas baru? Wah!
"Hei, Icha."
Aku sedikit terlonjak, lalu menoleh pada si Bapak Polisi yang menyangga dagu sambil tersenyum tipis. Bergegas, aku bangkit dan berkata, "Maaf, lagi sibuk."
Tapi gerak cepatku kalah dengan kecepatan tangannya yang mencekal pergelangan tanganku. Aku memekik pelan, menoleh pada Riska untuk minta bantuan tapi dia malah meringis dan berlalu menghampiri pengunjung yang akan membayar.
"Duduk."
Aku menggeleng, masih berusaha melepas cekalannya. "Aku sibuk."
"Aku?" Tatapannya berubah tak suka.
Aku memejamkan mata, lalu mencoba tersenyum manis. "Icha sibuk, Pak Gio. Mau lanjutin kerjaan di dapur. Lepas, ya? Please."
Dia balas tersenyum manis, namun kilat matanya tetap saja kelihatan berbahaya. "Ngobrol dulu yuk. Sebulan ngumpet, nggak kangen emang?"
"Enggak." Dia melotot, tapi aku berusaha tidak peduli. "Icha nggak kangen sama Mas Bara, apalagi Pak Gio."
Wajahnya berubah suram, tapi hanya sebentar. Pegangannya mengerat, membuatku kaget. Dia menyeringai. "Kamu pasti kemarin dengar kan, kalau saya nggak akan lepasin kamu setelah ketemu lagi?"
"Pak Gio jangan ngancam."
"Saya polisi lho, nggak mungkin melakukan tindakan pengancaman."
"Buktinya iya."
Dia terkekeh kecil. "Makanya ayo bekerja sama. Kamu nggak malu dilihat banyak orang gini? Saya sih enggak."
Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling, lalu menghela napas berat. "Ya udah, tapi di luar aja."
"Gitu dong." Dia bangkit, lalu berjalan masih sambil menggenggam tanganku.
"Lepas."
"Nanti kamu kabur."
"Atau Icha teriak?"
Dia menyipitkan mata, lalu pada akhirnya mengalah dengan melepas tanganku. Aku tersenyum lega, mengikuti langkahnya keluar pintu. Oke, Icha, kamu hanya perlu mengatakan tidak suka dia dan masalah selesai. Pasti bisa!
"Mau ngomong apa?" tanyaku, saat kamu sudah duduk di bangku kayu panjang depan toko.
Tapi dia malah tetap diam, memandangiku lekat dengan kedua tangan bertumpu di lutut. Jelas aku gusar, dong. Mata tajamnya itu lho. Bikin merinding.
"Kalau diem aja, Icha mending masuk aja lagi."
Dia tersenyum geli, menahan sikuku agar aku tak kemana-mana. Lalu kembali menatap mataku. "Alasan kamu ngilang, benar karena tahu saya adalah polisi?" Aku mengangguk. "Kenapa?"
"Nggak suka."
"Kenapa? Kamu ada pengalaman nggak enak sama polisi?" Aku menggeleng. "Takut?" Aku menggeleng lagi. "Terus kenapa?"
Aku menghindari tatapannya. "Ya pokoknya nggak suka ya nggak suka."
Dia berdecak. "Bisa nggak sih kalau nggak keras kepala?"
"Nggak bisa."
Lalu napasnya terembus berat. "Ini nggak bakal ribet kalau kamu mau memikirkannya dengan sederhana."
Aku seketika menatapnya protes. "Jangan maksa dong, Pak!"
"Gimana nggak maksa kalau sikap kamu aja bikin kesal gini? Menghilang selama satu bulan, ninggalin toko ke teman-temanmu itu. Pindah kontrakan." Dia mengusap wajah dengan sebelah tangan. "Mau kamu apa sih?"
"Pak." Aku berkata pelan. "Icha nggak suka sama Pak Gio. Sukanya sama Mas Bara."
"Tapi Mas Bara-mu itu nggak suka balik."
"Udah tahu, kok."
"Kalau udah tahu, kenapa masih mengharapkan orang invisible itu?"
"Nggak merasa bersalah, menyindir diri sendiri?" Jelas mereka orang yang sama.
"Saya justru nyata. Di depan kamu." Dia mendelik. Kekesalan tampak nyata di wajahnya. "Bujuk-bujuk anak kecil yang keras kepala dan bikin rumit masalah simpel. Senyata rasa suka saya ke kamu."
"Icha mau muntah." Aku bergidik. "Pak Gio ngapain suka Icha, sih? Bikin beban aja!"
"Beban? Beban?!' Dia melotot galak. "Kamu mau dicium di sini, di depan banyak orang? Mulut kamu itu perlu diakhlakin! Icha yang ngejar-ngejar Mas Bara dulu manis. Nggak kayak kamu gini. Lagian siapa yang ngajarin ngomong pedes gitu? Cowok yang rangkul-rangkul kamu di pasar waktu itu? Iya?"
Aku cemberut. "Duh, jangan bawa-bawa Alan dalam pembicaraan ini, dong. Alan mah baik, sopan, lembut. Nggak kayak seseorang yang judes dan galak minta ampun dan selalu nyakitin Icha."
Pelototannya semakin lebar. Tapi aku masa bodoh. Aku harus keras kepala dan melawan, kalau ingin segera lepas darinya.
"Eh kenapa Pak Gio melotot? Icha kan ngomongin Mas Bara. Nggak usah tersinggung."
"Saya bawa borgol lho, Cha."
Lah? "Nggak takut. Orang Icha nggak salah. Emang Icha maling?"
Dia terkekeh kecil. "Kamu memang maling hati saya, kan?"
"Aduh, muter-muter kepala Icha. Mual juga."
Sebelah alisnya naik. "Hamil?"
"Mau muntah!" Aku mengernyit jijik. "Nggak cocok muka-muka garang Pak Gio ngegombal."
Dia tersenyum geli, menggumamkan sesuatu yang tak jelas di telingaku. Tapi aku bisa menangkap nama Kevin dia sebut. Ya, Kevin kalau tidak salah adalah salah satu temannya. Aku pernah ketemu satu kali saat Mas Bara mengajakku tiba-tiba, ke acara fashion week Kak Agnes yang cantik dan imut itu.
"Lagian nih ya, Pak, Icha bilangin. Sekarang tuh Icha udah nggak suka lagi sama Mas Bara. Maksudnya, sukanya masih sedikit." Aku berdehem saat teringat 'keganjenanku' mengejar-ngejarnya dulu. "Nggak sampai bikin ilang kewarasan kayak kemarin-kemarin. Jadi sekarang kita nggak ada keterkaitan. Deal?"
"Nggak ada deal-dealan!" Dia menimpali dengan galak. "Kamu harus tanggung jawab."
"Tanggung jawab apa lagi?"
Dia mengangkat bahu. "Karena kamu ngejar-ngejar Mas Bara, tiap hari kegatelan sama dia, bikin saya nggak bisa lupa."
"Salah sendiri kalau gitu. Icha nggak niat baperin Pak Gio, kok. Mas Bara aja biasa aja."
"Kalau Mas Bara nggak baper, saya nggak bakal ada di sini."
"Tahu, ah. Pokoknya Icha udah nggak minat. Kita balik jadi orang asing aja, deh. Lagian setelah dipikir matang-matang, Icha berubah tipe. Nggak lagi suka age gap. Apalagi yang beda sepuluh ta–"
"Nggak bisa gitu, dong, Danisha Sayang."
Aku mendelik. "Apa-apaan dengan panggilan itu?"
"Kamu bebas panggil saya 'Pak', jadi saya juga bebas panggil kamu apa aja."
"Lho, kan semua polisi dipanggil 'Pak'. Nggak ada tuh ceritanya masyarakat umum yang manggil Mas Polisi, Bang Polisi, Uda Polisi. Apalagi Oppa Polisi. Nggak ada!" Tidak pernah aku merasa sekesal ini pada orang.
"Kamu kan satu-satunya masyarakat umum yang mendiami negara hati saya."
Dia bisa menggombal receh juga. "Pak Gio minta dipukul?"
"Pakai bibir kamu?"
Aku spontan berdiri dan menatapnya kesal. "Lihat siapa yang nggak ada akhlak!"
"Akhlakin pakai bibir, dong," katanya sambil mengerling geli.
"Ya Allah, tuhan kami, otak Pak Gio kegeser berapa senti sih?" Aku mengusap wajah dengan kedua tangan. "Pak Gio baik-baik aja? Nggak ngerasa sakit, gitu? Dulu Mas Bara nggak gini, lho. Mas Bara itu kalem, dan nggak akan ngegombalin cewek kayal gini. Walaupun galaknya kebangetan."
Dia mendongak, masih tersenyum. "Waktu itu kan lagi nyamar."
"Pak Gio." Aku tersenyum, bersuara selembut mungkin. "Lupain Icha, ya. Pak Gio itu ganteng dan mapan. Pasti banyak perempuan dewasa yang mau sama Pak Gio. Bukan bocah labil dan keras kepala kayak Icha."
Dia balas tersenyum hingga matanya menyipit. "Sayangnya, saya maunya cuma kamu."
"Icha udah punya pacar."
Tatapannya langsung menajam. Wajahnya mengeras. Jangan takut, Icha. Dia tidak akan berani menyakiti kamu. Dia polisi, ingat? Jadi tidak mung—kok malah tertawa?
"Icha, Icha." Dia bangkit berdiri, masih tertawa. "Kalau pacar yang kamu maksud adalah cowok yang rangkul-rangkul di pasar itu, saya nggak akan percaya. Kamu nggak bisa bohong."
Aku mempertahankan wajah beraniku. "Kenapa Pak Gio yakin banget kalau Icha bohong?"
Dia tersenyum. "Karena saya akan pastikan sendiri dengan cara mencari informasi tentang cowok itu."
"Jangan apa-apain Alan, ya!"
"Enggak, Icha." Sorot matanya berkilat-kilat ketika melihatku meninggikan suara. "Cuma cari informasi."
Aku mengembuskan napas keras-keras. Bagaimana sih caranya lepas dari dia? Aku harus segera berhasil sebelum hatiku kembali jatuh ke tempat yang sama. Itu tidak kuinginkan sama sekali. Ah, aku ada ide!
"Alan adalah cowok kesayangan Icha. Dia segalanya buat Icha. Bahkan," aku tersenyum lebar. "Icha tinggal berdua sama dia sebulan ini."
Senyumnya lenyap seketika. Rahangnya mengeras. Dan ekspresi marahnya berkali-kali lipat dari yang tadi. Bahkan, tanpa sadar aku menahan napas karena tertusuk oleh tatapan tajamnya. Badanku kaku dan sulit untuk menghindar saat dia merapatkan jarak hingga sepatu kami bersentuhan. Wajahnya menunduk dan sejajar di depan wajahku. Aku menelan ludah susah payah karena napas hangatnya menerpa ujung hidungku.
"P-pak...."
Dia tersenyum tipiiis sekali. Aku merasakan telapak tangannya bertumpu di puncak kepalaku. Lalu bisikannya terdengar, "Saya kalau marah, bisa bikin kamu ketakutan lho. Jangan mancing lagi, Sayang."
Dia menepuk kepalaku dengan lembut sebanyak tiga kali. Aku mengerjapkan mata. Dan baru benar-benar tersadar saat punggungnya sudah menjauh. Aku mengangakan mulut. Kusentuh dada yang asyik berdikso.
Zevania, tolong!
***
