BAB. 9 DATANG
Satria mendekati mereka.
"Hallo kenalkan saya Satria, suami Siti." satu tangan Satria memeluk pinggang Siti, seakan ingin menegaskan pada semua orang, kalau Siti miliknya.
Tangan Satria yang satunya terulur ke arah teman-teman Siti.
Teman-teman Siti menatap Siti, dengan pandangan penuh tanya.
Siti mengangguk.
"Kenalkan ini ... suamiku," jawabnya akhirnya.
"Kapan nikahnya?" tanya Neni, sambil menyambut uluran tangan Satria.
"Jumat kemaren," Jawab Satria seraya menyalami teman Siti yang lainnya.
"Kada bahabaran …."
"Aku juga tidak tahu kalau Papi ingin menikahkanku dengan dia," jawab Siti.
"Ngobrolnya bisa disambung nanti ya, bisa kita ke rumah sebentar, ada yang ingin aku katakana," kata Satria.
"Dang bawai Abang ikam makan ka rumah, gin."
(Sayang ajak abangmu makan di rumah sana).
"Inggih ni ... Abang mau makan apa?" tanya Siti.
Satria menunjuk apa yang diinginkannya.
Siti mengambilkan untuknya.
Lalu membawa makanan ke rumah mereka, yang tepat berada di belakang warung, diikuti Satria di belakangnya.
Tidak dipedulikan teman-teman, dan pengunjung warung yang menatap penuh rasa penasaran.
"Abang bule kenapa tidak bilang kalau mau datang, dan kok bisa tahu rumah kami?".
"Aku diantar Papi tadi, tapi Papi langsung pulang, setelah menjelaskan semuanya pada nenek kakekmu. Lagian kalau aku bilang, memang kamu mau apa?" tanya Satria menggoda.
"Ya nggak apa-apa."
"Sini ....ikut ke kamar sebentar." Satria menarik lengan Siti masuk ke kamar.
Satria memepet Siti ke pintu kamar yang ditutupnya.
"Ada apa?"
"Ada titipan dari Bunda buat kamu."
"Ap ... hmmmmpppp …" Satria tak tahan lagi, menahan rasa yang terasa ingin meledak di dadanya.
Dilumatnya bibir Siti dengan sedikit kasar.
"Maaf … aku sudah terlalu lama menahan rindu." Satria mengusap bibir Siti dengan jarinya.
Siti hanya diam, sembari mengerjapkan matanya.
Satria ingin melepaskan hijab di kepala Siti.
"Jangan!" Siti menahan tangan Satria.
"Kenapa? Apa kamu masih menganggapku orang lain, bukan suamimu, sampai kamu tidak mengijinkan aku membuka kerudungmu?" Mata Satria menatap tajam ke mata Siti.
"Bu ... bukan begitu."
"Lalu."
"Habis makan siang aku harus kembali ke kantor."
"Tidak bisakah kamu tidak kembali ke sana?"
"Tidak bisa, aku harus kembali ke kantor."
"Kalau begitu, berikan aku dp nya!"
"Dp ... apa?"
"Dp malam pertama."
"Malam pertama?" Wajah Siti langsung merona.
"Kamu sadar tidak, Acil Siti? Kalau ikam sudah membuat Aku sengsara?" tanya Satria, sambil semakin memepetkan tubuhnya, ke tubuh Siti.
Siti menahan dada Satria dengan kedua telapak tangannya, agar dada Satria tidak lekat ke tubuhnya.
"Rindu apa tidak, Ading wan Aa?" tanya Satria seraya menundukan wajahnya, menyentuhkan hidung mancungnya ke hidung Siti.
Tangan Satria meraih ke dua tangan Siti yang ada di dadanya.
Dilingkarkan tangan Siti ke bagian lehernya, sehingga Siti mendongakkan wajahnya.
"Beri Aa DP malam pertamanya, Ding."
"Dp apa, ulun kada paham," jawab Siti, mencoba memberanikan diri menatap mata Satria.
"Cium Aa."
"Eeh ... indah …."
(Indah=tidak mau).
"Harus mau! Ading hutang malam pertama dengan Aa. Aa minta bayar sekalian bunganya."
"Lepasin, Bang! Kita makan siang sekarang. Aku harus cepat kembali ke kantor."
"Cium dulu, baru aku lepasin".
"Abang!"
"Cium dulu!"
"Ya Allah, Abang … aku bisa di pecat kalau terlambat kembali ke kantor, Bang."
"Biarin ... toh kamu bakal berhenti juga kerja, nini kai sudah setuju Aa bawa Ading ke Jakarta."
"Tapi ...."
"Enggak ada tapi!"
"Bang, aku lapar.”
"Cium Aa dulu baru kita makan."
Siti menarik nafas panjang.
Cup.
Akhirnya dikecup juga bibir Satria, setelahnya langsung didorong tubuh Satria.
Cepat dibuka pintu kamar, lalu ke luar kamar.
Satria mengikuti dengan senyum tersungging di bibirnya.
Siti menunduk dalam, saat mengisi piring Satria dengan nasi, dan lauk yang tadi dipilih Satria.
"Ini apa?"
"Telur sama perut ikan gabus."
"Kalau ini?"
"Tumis mandai."
"Mandai itu apa?"
"Makan dulu, Bang, nanti aja ngobrolnya."
Satria menikmati makananannya, meski ini baru pertama kali ia memakan makanan seperti ini.
"Enak, Bang?"
"Jangan panggil Bang, panggilan lain gitu biar beda sama yang lain."
"Abang minta dipanggil apa?"
"Aa ... coba panggil Aa!"
"Enak makannya, A'?" tanya Siti.
"Enak, Ading."
Siti membereskan bekas makan mereka.
"Kita sholat dzuhur dulu, baru aku kembali ke kantor."
"Ayo lah …."
***
Ternyata jam lima sore, Siti belum pulang juga, ada meeting dadakan di kantornya.
Saat Siti tiba di rumah, Satria diajak kai Ijul, ke musholla yang ada di dekat rumah untuk sholat berjamaah.
Usai maghrib, mereka pulang ke rumah untuk makan malam.
Siti, dan Nini Inur sudah selesai menyiapkan makanan di atas meja makan.
Mereka duduk makan bersama.
Kai, dan nini banyak bertanya perihal Satria, dan keluarganya, semua dijawab Satria dengan apa adanya.
Usai makan malam, kai Ijul, dan Satria kembali ke musholla untuk sholat isya.
Tok ... tok ... tok ....
"Ding … buka …" pinta Satria.
Siti membuka pintu, Satria langsung masuk.
Siti membereskan bekas sholatnya. Sementara Satria melepas baju koko, dan sarungnya, tinggal kaos putih, dan celana pendek.
Satria duduk di tepi ranjang besi yang tampak sudah tua.
Krekooottt ... ranjang berbunyi saat Satria duduk.
'Aduuh ....didudukin saja bunyi, apa lagi kalau dinaikin ... gimana? Mana dinding rumah terbuat dari papan lagi,' batin Satria.
"Duduk sini," pinta Satria kepada Siti.
Siti duduk di sebelah Satria.
Kreekooottt ... ranjang berbunyi saat Siti duduk di tepi ranjang.
"Kamu nggak terganggu dengan suara ranjang ini?"
Siti menggeleng.
"Sudah biasa," jawabnya.
Satria menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal.
"Kenapa ... terganggu sama suara ranjangnya?" tanya Siti.
"Aku cuma takut, nini kai terganggu dengan suara ranjangnya."
"Tiap malam juga sudah dengar suara ranjang ini kalau aku tidur."
"Sekarang kan beda."
"Beda apanya?"
"Bedanya kalau biasanya kamu tidur sendirian, sekarang berdua sama aku. Aku ta …."
"Memang aku mau tidur berdua?"
"Eeh ... mau nggak mau harus mau!" Satria mendorong pelan Siti agar badannya berbaring, Satria langsung menindih tubuh Siti, tapi tiap mereka bergerak, ranjang pasti berbunyi kreekoottt ....
Siti, dan Satria saling pandang.
Satria duduk lagi di tepi ranjang, Siti juga ikut duduk.
'Uuhh punya malu juga ternyata Aa bule ini, dia pasti malu sama Nini Kai.'
"Berdiri!" tiba-tiba Satria minta Siti untuk berdiri.
Siti menurut.
"Berdiri dekat lemari sana!" perintah Satria lagi, Siti menurut.
Satria menurunkan kasur ke atas lantai dari atas ranjang.
Dirapikannya sprei yang terlepas.
"Bagaimana? Kalau begini nggak akan ketahuankan kita lagi ngapain?" Satria bertolak pinggang, menatap kasur yang tergelar di atas lantai.
Siti menggigit bibirnya.
'Apa harus malam ini? Aku tidak bisa menghindar lagi, ini pasti akan terjadi,' batin Siti.
"Lucu juga ya, orang-orang malam pertamanya di kamar hotel begitu, kita malah di atas kasur yang digelar di atas lantai," gumam Satria.
Siti yang masih berdiri dekat lemari diam saja.
"Sini!" Satria menggapaikan tangannya ke arah Siti.
Ragu-ragu Siti mendekat.
"Duduk sini!" Satria menepuk tempat di hadapannya.
Siti menurut.
Satria melepaskan kerudung Siti, lalu ingin menarik lepas daster batik panjang yang melekat di badan Siti.
Siti menggeleng.
"Kenapa?" tanya Satria.
"Nggak usah dilepas," pinta Siti lirih.
"Kamu panuan, kudisan, apa kurapan?" tanya Satria, membuat mata Siti melotot gusar.
"Kalau enggak ada apa-apa, kenapa enggak mau dilepas?"
"Aku ... tidak ... enghh ... aku …."
"Aku suamimu, Siti, tidak ada yang boleh kamu tutupi dari aku."
"Tapi ...."
"Tidak ada tapi!" Satria meraih ujung daster Siti.
"Jangan …" Siti menepis tangan Satria.
Satria merasa kesal, dibantingnya tubuhnya ke atas kasur, berbaring membelakangi Siti.
Matanya dipejamkan.
Siti jadi merasa menyesal, tidak disangkanya Satria bisa marah juga.
Pelan Siti membuka dasternya sendiri dengan tangan sedikit gemetar.
"A'!" panggilnya lirih.
Satria hanya diam tidak bergerak juga tidak bersuara.
"A'!" panggil Siti lagi, kali ini digoyangkannya lengan Satria.
Satria masih diam saja.
"Maafkan aku, A'. Aku hanya malu. Bukan bermaksud menolak," kata Siti, air mata turun di pipinya.
Satria masih tetap diam saja.
'Hhhh ... apa begini ya punya suami lebih muda, besar ambekannya,' batin Siti.
Karena Satria tidak juga bereaksi, Siti akhirnya merebahkan dirinya di atas kasur, tepat di belakang tubuh Satria.
**** Bersambung****
