Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB. 8 GALAU

****Siti****

Ku ketuk-ketukan pulpenku ke atas meja.

Pikiran, dan perasaanku lagi gundah, bukan hanya gundah sebenarnya, tapi gelisah galau merana.

Dimana-mana yang terlihat hanya wajah bule songong itu.

Apa ini tanda aku mulai jatuh cinta ... rindu kan tanda cinta.

Tapi dianya rindu nggak sih? Sampai sekarang sudah hari ketiga sejak aku pulang dia nggak pernah telepon atau kirim pesan, hanya bunda Sekar yang tiap pagi menelepon. Bunda Sekar ... memang mertua idaman.

'Ya Allah ... tolong bantu aku menghalau gundah gulana yang menyesakan dada ini.'

"Lai!" pekikan cempreng sungguh mengganggu pendengaranku.

"Kenapa melamun, Lai?" tanya Neni sahabatku sejak SMP.

Dari dulu Neni selalu memanggilku Lai, kependekan dari Laila.

"Nggak melamun kok, cuma merenung."

"Apa yang direnungin."

"Merenungi hiduplah."

"Masih ingat sama dua lelaki liur baungan itu ya?"

(Liur baungan= playboy).

"Idiih ngapain ingat mereka, enggak banget lah ya."

"Kali aja masih ingat mereka."

'Bukan mereka yang aku ingat, tapi seseorang yang lain ... yang sudah ... ya Allah ... kenapa pikiranku jadi ingat hal-hal yang sudah dia lakukan padaku.

Haduuhhh Abang bule, aku mohon tolong jangan ganggu pikiran dan perasaanku.'

"Nah loh ... melamun lagi, Lai?"

"Enggaaakk ... kita makan siang ke warung nini yuk.”

"Ayo lah."

Aku dan Neni bekerja disebuah kantor pembiayaan yang tidak jauh dari rumahku.

***

***Satria***

Hari keempat setelah kepulangan Siti ke kampung halamannya, papi dan aku pergi menyusulnya.

Ada kerinduan yang entah kapan datangnya, perasaan rindu itu muncul begitu saja, meski tiap pagi aku mendengar suaranya dari telpon bunda karena bunda setiap hari meneleponnya.

Aku sendiri mencoba menahan diriku untuk tidak menghubunginya, biar rindu ini menggunung dulu, tinggal tunggu meletusnya saat bertemu nanti.

Dengan taksi bandara aku dan papi menuju kediaman Siti.

Aku mengamati apa yang kami lewati sepanjang perjalanan.

"Ini Banjarmasin, Pi?" tanyaku pada papi.

"Banjarbaru, Satria," jawab papi.

"Lalu Banjarmasin dimana? Bukannya bandara ada di Banjarmasin."

"Banjarmasin ada di arah berlawanan dari tujuan kita, dan bandara ini ada di daerah Landasan ulin, Banjarbaru."

"Ooh ... dulu Papi kerja di sini?"

"Iya."

"Banyak kenangan ya, Pi di kota ini?"

"Ya ... kenangan yang manis," jawab papi seakan tengah mengingat kenangan itu.

"Apa Siti seperti ibunya, Pi?"

"Ya ... mirip meski mata dan hidungnya seperti papi, tapi yang lain seperti mama'nya."

"Jalan ini dari tadi lurus aja enggak ada belok-belok, Pi?"

"Ini jl. A.yani jalan protokol terpanjang di Kalimantan."

"Ooh ... masih jauh ya rumahnya Siti, Pi?

"Tidak juga, ini kita sudah masuk ke pusat kota Banjarbaru."

"Pusat kota? Sama sekali nggak ada yang namanya macet ya, Pi? Lampu merah pun cuma ada dua rasanya sepanjang perjalanan kita tadi."

"Itulah yang membuat papi ingin tinggal di sini, tapi mamimu menolak."

Taksi yang kami tumpangi berhenti di depan sebuah warung yang berdinding papan.

"Turun, Bang, kita sudah sampai." kata papi seraya membuka pintu mobil.

Aku turun.

Tampak sepasang suami istri yang sudah tua menyambut kami.

"Assalamuallaikum Abah ... Uma ... apa habar?"

(Assalamuallaikum ... Ayah Ibu apa kabar?)

"Waalaikum salam, Umar … Alhamdulillah baik ja barataan. Kayapa habar kaluarga di sana, sigar ja kalu barataan?"

(Waalaikum salam, Umar ... Alhamdulillah sehat semuanya, bagaimana kabar keluarga di sana apa sehat semuanya).

"Alhamdulillah ... sigar berataan, Abang kenalkan ini kakek nenek Siti, kakek Ijul, dan nenek Inur." Papi memperkenalkan mereka ke padaku.

"Assalamuallaikum, Nini, Kai, kenalkan, ulun Satria menantu Papi." Aku mencium punggung tangan nenek, dan kakek Siti.

"Minantu Ikam kah nanang bungas nih?"

(Menantumu kah lelaki tampan ini)

Tanya nenek Siti.

"Inggih ... Ulun datang ke sini, ada nang handak Ulun sampaikan lawan Pian," kata Papi.

"Ayo masuk ka dalam." Kai Ijul mempersilakan kami masuk.

Aku mengamati keadaan warung yang tidak terlalu besar, tidak juga terlalu kecil.

Ada dua orang yang tengah menata meja, dan masakan di dalam etalase kaca.

Kami masuk terus ke dalam, lalu ke luar dari pintu belakang warung, masuk ke sebuah rumah kecil berdinding papan, tapi lantainya sudah memakai ubin, aku dan papi lalu dipersilahkan duduk di kursi yang berbahan dasar rotan.

"Duduk." Nini Inur mempersilahkan.

"Handak minum apa?" tanya Nini Inur.

"Barang ja Ma' ai."

(Terserah saja Bu).

Jawab papi.

Nini Inur kembali dengan teh hangat, dan penganan yang aku tidak tahu apa namanya.

"Hayuu ... diminum banyunya, dimakan wadainya." Kai Ijul mempersilahkan.

"Terima kasih." papi dan aku menyahut berbarengan .

"Apa tadi nang handak disampaikan?" tanya Kai Ijul.

Papi menceritakan apa yang terjadi, dari Mila kabur, sampai Siti, dan aku menikah.

Aku sedikit cemas akan reaksi keduanya, cemas mereka tak bisa menerimaku sebagai cucu menantu mereka.

Nini Inur berlinang air mata mendengar cerita papi .

"Ya Allah ... itu nang ngarannya judu, mun judu hudah hampai siapa nang tahu wayahnya."

(Ya Allah … itu yang namanya jodoh, kalau jodoh sudah tiba siapa yang tahu kapan datangnya).

Nini Inur terisak pelan.

"Jadi Nanang buli nginilah laki Siti?"

(Jadi lelaki bule ini suami Siti).

Tanya kai Ijul.

"Inggih ... mun kawa Abah wan Uma bapandir bahasa Banjar nang kawa dipahami inya ja."

(Kalau bisa ayah dan ibu berbicara dengan bahasa Banjar yang mudah dimengerti dia saja).

Kata papi Siti.

Setelah berbicara cukup lama, akhirnya papi pamit pulang kembali ke Jakarta.

Tinggal aku di sini berusaha menyesuaikan diriku dengan keadaan yang sungguh asing bagiku.

**** author****

Nini Inur menunjukan kamar Siti pada Satria.

"Nah ini kamar Siti, silakan ja, Nanang buli kalo mau istirahat, kaya ini pang keadaan kami," kata Nini Inur.

"Inggih ... terima kasih, Ni."

"Nini wan Kai ka warung dulu lah. Bamula banyak sudah urang handak makan," pamit Nini Inur.

"Boleh ulun membantu, Ni?"

"Boleh banar .. .Ayo kita ke warung." Nini Inur menyambut gembira keinginan Satria untuk membantu di warungnya.

Satria membantu kai Ijul membakar ikan.

Dan tentu saja ia langsung jadi pusat perhatian.

"Nini Inur punya pelayan baru ya? Aduuh langkarnya ai."

"Cucu minantuku, Ding ai.”

"Cucu menantu? Laki Siti Kah?"

"Hiih."

"Pabila nikahnya? Kada bahabaran."

"Jumat tadi nikahnya di Jakarta. Abahnya Siti nang manikah akan."

"Untungnya … ai, Siti dapat laki langkar banar."

Saat Satria sibuk membantu di warung, Siti datang untuk makan siang dengan beberapa temannya.

Siti termangu di tempatnya.

"Abang bule," gumamnya.

"Siapa, Lai?" tanya Neni mengikuti arah pandangan Siti.

"Aduh ada pelayan hanyar kah, Lai? Bule lagi … gantengnyaaa … ai," gumam Neni.

Siti hanya diam saja mendengar celoteh heboh teman-temannya.

BERSAMBUNG

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel