BAB. 10 BAHAMPAR TILAM
Siti merasa gelisah karena Satria tidak bergerak juga.
Akhirnya Siti duduk sambil mengepit selimut di ketiaknya, karena bagian atas tubuhnya hanya tinggal memakai bra saja.
"A' maafin ulun, A'…." Siti memberanikan diri menarik lengan Satria agar tidur telentang.
Satria telentang, tapi matanya tetap terpejam.
"A'…." Siti menggoyangkan lengan Satria.
"Apa?" jawab Satria pelan.
Mereka memang berusaha berbicara sepelan mungkin, takut kedengaran Nini, dan Kai di kamar sebelah.
Satria bersorak dalam hati, jurus ngambek Safira ternyata mantap juga.
"Ulun minta maaf, A’."
"Mau dimaafin?" tanya Satria, Siti mengangguk.
"Sini." Satria menepuk dadanya.
"Apa?"
"Sini." Satria menarik Siti, hingga Siti tersungkur di dada Satria.
"Mau apa?" Siti mencengkram selimut di bagian dada.
Satria berguling membawa Siti bersamanya.
"Kamu tahu, aku sudah tersiksa sekali, karena malam pertama yang tertunda, kamunya malah nggak mau," gerutu Satria.
"Bukan nggak mau, tapi ...."
"Selalu tapi, bisa nggak jangan pakai tapi?"
"Tapi ...."
"Tapi lagi ... sudah, kalau memang nggak mau, ya sudah …" Satria ingin turun dari atas tubuh Siti, tapi Siti menahannya dengan memeluk Satria dengan kedua tangannya.
"A', jangan ngambek lagi, Aku enggak akan bilang tapi lagi. Sekarang terserah Aa mau apa," kata Siti pelan.
"Benar?"
"Inggih." Siti mengangguk pelan dengan wajah merah.
"Jangan kabur ke kamar mandi lagi, seperti kemaren ya," bisik Satria.
Siti mengangguk pelan lagi.
Mata mereka bertemu.
Satria menurunkan kepalanya.
"Adinda Siti … Aa sayang Ading," bisik Satria.
Siti memejamkan mata, saat dirasakan bibir Satria menyentuh bibirnya.
Siti berusaha mengimbangi pagutan bibir, dan lidah Satria.
Kecupan Satria pindah ke leher Siti.
Siti menggigit bibirnya, menahan suara yang ingin keluar dari mulutnya.
Satria melepaskan bra Siti.
Tangan Siti sebenarnya ingin menahan tangan Satria, tapi ia sudah berjanji untuk pasrah pada maunya Satria.
Tak bisa ditahan, terlompat juga akhirnya erangan dari bibir Siti, saat Satria mengisap ujung buah dadanya.
Satria menatap wajah Siti yang merona, karena malu juga gairah.
Dimainkan dengan bibir, dan lidahnya ujung buah dada Siti.
Tangan Siti mencengkram sprei dengan kuat, tanpa disadari tubuhnya melentik, seakan meminta Satria lebih agresif lagi memainkan buah dadanya.
"Nyamankah, Ding?" (Enak dek?). Tanya Satria.
Siti tidak menjawab, hanya desahan terdengar, yang sebenarnya membuat Siti malu bukan kepalang, karena hal itu bisa keluar dari mulutnya.
Satria menarik lepas celana dalam, dan celana legging panjang Siti sekalian.
Refleks Siti menutupi dengan telapak tangan, wajahnya merah padam.
Pelan Satria menyingkirkan telapak tangan Siti, yang menutupi pangkal pahanya.
Disentuh pelan milik Siti, tubuh Siti menggeliat tanpa dapat ditahan.
"Aku suka melihat tubuhmu yang menggeliat. Aku suka mendengar desahan yang keluar dari mulutmu. Aku suka mendengar deru nafasmu. Kamu tahu? Kamu sangat seksi, dan aku beruntung, karena cuma aku yang bisa melihat, dan mendengar itu," bisik Satria di telinga Siti.
Siti diam saja, karena merasa jengah dengan kalimat Satria yang terasa tidak biasa di telinganya.
Satria mengucapkan doa di telinga Siti. Mata Siti terbuka, tak menyangka bule songong yang tengah menindih tubuhnya ini, hafal juga doa sebelum berhubungan, jangan-jangan ....
"Aa sudah pernah melakukan ini sebelumnya?" pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulut Siti.
"Kenapa? Apa kamu pikir karena aku hafal doa itu, maka aku pernah bercinta sebelumnya?" tanya Satria tajam, matanya juga tajam menatap Siti.
"Maaf … bukan begitu, tapi ...."
"Tapi lagi … tapi lagi, kalau kamu masih ragu, sebaiknya kita tidak melakukannya, tidurlah. Aku mau keluar." Satria ingin berdiri, tapi tangan Siti menahannya.
"Maafkan aku. Aku ikhlas, sungguh."
"Kalau kamu ikhlas, kamu yang harus buka bajuku."
"Eeh ... t ...," Siti menutup mulutnya saat ingat Satria sangat sensitif dengan kata 'tapi'.
"Sudahlah … kau tidurlah, aku keluar saja." sekali lagi Satria ingin berdiri, sekali lagi Siti menahan lengannya.
"Katakan, aku harus bagaimana?"
"Masa kamu tidak tahu harus bagaimana. Kamu lebih tua dari aku, jadi pasti tahu apa yang harus dilakukan seorang istri pada suaminya."
Kali ini Siti yang menatap tajam ke mata Satria, matanya berkaca-kaca.
"Aku memang lebih tua, t ... itu bukan berarti aku tahu segalanya," gumam Siti lirih, dengan air mata yang mengaliri pipinya.
Meski sedang marah, Siti tetap ingat untuk menghindari kata 'tapi'.
Satria termangu di tempatnya, ia tahu sekarang perbedaan usia mereka sepertinya adalah hal yang sensitif bagi Siti.
"Maafkan aku. Sekarang kamu tidurlah. Aku tidak akan memaksamu melakukan apa yang tidak ingin kamu lakukan." Satria sekali lagi ingin berdiri.
Siti menarik selimut menutupi tubuh polosnya.
"Bule pengecut," desis Siti.
"Kamu bilang aku apa?" Satria duduk kembali dengan pandangan marah ke arah Siti.
"Kamu cuma berani memulai, t... namun tak berani menjalani."
"Aku bukan pengecut, kamu akan tahu seberani apa aku," cepat Satria berdiri, ia melepaskan semua yang melekat di tubuhnya.
Mulut Siti terbuka lebar, matanya mengerjap-ngerjap menyaksikan tubuh Satria yang tanpa pakaian.
Dipalingkan mukanya karena jengah.
Satria sebenarnya hanya pura-pura marah saja, karena sebenarnya ia gugup juga.
Ini pertama kali baginya.
'Kalau ketahuan gugup bikin malu, masa keturunan Adams family gugup saat malam pertama.'
Satria merenggut selimut yang menutupi tubuh Siti.
Diciumi Siti, tak ada penolakan, Siti malah mencengkram punggung Satria dengan kuat.
Ciuman terus turun ke dada Siti, Siti terpaksa menggigit ujung bantal untuk menahan desahannya.
Sebenarnya Satria suka mendengar desahan Siti, tapi masalahnya malu kalau sampai kedengaran nini, dan kai.
"A' ... ja ...." Siti ingin berkata jangan saat tangan Satria menyusup di pangkal pahanya, dan wajah Satria tenggelam di atas dadanya, tapi ia takut Aa nya ngambek lagi.
"Aaa ... Aa ...."
"Kenapa, Sayang?"
"Aku ...."
"Keluarkan, Sayang, jangan ditahan."
"Ta ...."
Satria mengangkat kepalanya, lalu berlutut, dan mengarahkan miliknya ke milik Siti.
"Gigit bantalnya yang kuat, Sayang, jangan sampai teriakanmu kedengaran orang." Satria memperingatkan.
Dahi Siti mengernyit, matanya terpejam, giginya menggigit ujung bantal.
'Ya Allah ... sakitnyaaa ....'
Air mata mengalir di pipi Siti.
Satria mengambil bantal dari tangan Siti. Ia menghapus air mata Siti.
"Aku mencintaimu, Adinda Siti, tapi aku tidak akan memaksamu untuk segera mencintaiku. Aku percaya, waktu akan membuatmu jatuh cinta padaku, sekarang aku sudah merasa bangga, dan bahagia memilikimu, dan juga kamu miliki," bisik Satria.
Siti diam saja, meski hatinya berteriak, kalau ia sudah mulai jatuh cinta, saat Satria menjadi imam sholat mereka di rumah papinya, usai mereka menikah.
Mata mereka saling bertemu, bibir Satria memagut bibir Siti, sedang pinggulnya naik turun dengan berirama.
Deru nafas mereka memenuhi ruangan kamar Siti, yang hanya seperempat kamar Satria luasnya.
Tak ada AC, yang ada hanya kipas angin, yang membuat peluh mereka mengucur deras.
"Kamu di atas, Sayang." Satria menarik punggung Siti, agar Siti duduk di pangkuannya.
Wajah Siti merah padam.
Satria melingkarkan tangan Siti di lehernya, kedua kaki Siti dilingkarkan di pinggulnya.
"A', Ulun supan."
(A' Aku malu).
"Kita suami istri, Sayang, singkirkan rasa malumu, karena hanya kita berdua, dan Tuhan yang tahu apa yang kita lakukan," bisik Satria, sebelum menggigit daun telinga Siti.
"Begini, Sayang." Satria membantu Siti memaju mundurkan pinggulnya, sementara bibir Satria sudah asik dengan ujung buah dada Siti.
"Lebih cepat, Sayang," bisik Satria.
Siti hanya menurut apa yang diperintahkan Satria, sampai ia merasa meledak, dan kepalanya terkulai di atas bahu Satria.
Satria mengelus pelan punggung Siti yang berkeringat.
"Tidurlah …." Satria merebahkan tubuh Siti di kasur.
Lalu menarik selimut untuk menutupi tubuh mereka berdua.
Dikecup kening Siti, sebelum ia merebahkan tubuhnya.
'Malam pertama yang luar biasa.
Di atas kasur yang digelar di lantai, ngambek-ngambekan dulu, akan jadi cerita yang tak terlupakan seumur hidupku,' batin Satria.
BERSAMBUNG
