Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB. 11 JANGAN MERAJU

Satria menepuk tempat di sebelahnya, Siti tidak ada.

Pintu kamar terbuka.

Siti masuk dengan sarung yang diikat di salah satu bahunya, dan handuk yang menutupi kepala, dan bahunya.

Tubuhnya gemetar, bibirnya terdengar bergemerutuk.

Satria dengan mata terpejam, pura-pura tidak sengaja menarik ujung bagian bawah sarung Siti, sampai Siti jatuh di sisinya.

"Dingin, ya?" tanya Satria.

"A', aku sudah mandi."

"Ooh sudah mandi ya, ya sudah pakai bajumu sana!" perintah Satria kesal.

"Aa jangan merajuk lagi pang, Aa handak apa, Ading turuti."

(Aa jangan ngambek lagi dong, Aa mau apa adik turuti).

"Satu ronde lagi dong!"

"Satu ronde? Apanya?"

"Aku mau ini lagi." Tangan Satria meremas milik Siti.

"Aa ... tadikan ... su ...enghhhhh ...."

'Iya tidak ya, hhhhh ... si Aa bule paket komplit, taat ibadah, tapi kok mesumnya kebangetan, yang paling susah ngambekannya itu, hhhhhh ....' batin Siti.

Tanpa menunggu lagi, Satria sudah melepas sarung, dan handuk Siti.

"Maha besar Allah, yang sudah menciptakan manusia seindah dirimu, Ading Sitiku," puji Satria.

Siti tersenyum tersipu mendengar pujian Satria.

"Aa, pintar merayu."

"Jujur kukatakan padamu, aku ini mantan playboy, pastilah pintar merayu. Tapi kamu harus tahu, rayuan yang kuucapkan padamu, itu orisinil, belum pernah aku ucapkan pada siapapun sebelumnya."

"Iihh ... semua lelaki jago merayu pasti bilang begitu."

"Ading tidak percaya?"

Siti mengangkat bahunya, Satria mengecup bahu itu lembut.

"Aku mungkin tidak akan bisa meyakinkanmu dengan kata-kata, tapi kamu pasti akan bisa rasakan, ketulusan ucapanku suatu saat nanti. Nanti saat hatimu sudah terbuka untukku."

Siti mengerjapkan matanya.

'Aa bule so sweetnya kebangetan, siapa yang tidak meleleh mendengar ucapannya.'

Tok ... tok ... tok ....

"Nang ... bangukah sudah?" suara kai di luar pintu.

"Inggih sudah, Kai."

"Kai bedahulu ke langgar lah."

(Kai duluan ke musholla ya).

"Inggih, Kai," jawab Satria.

Siti ingin bangun.

"Mau kemana?"

"Aa, kan harus mandi terus ke langgar."

"Iya tahu, tapi selesaikan dulu urusan ini, masih ada waktu," Satria menunjuk miliknya yang ngacung sehingga membuat Siti membuang pandangannya.

"Buka pahamu acil Siti."

Entah kenapa Siti menurut saja, dan benar saja, hanya sebentar Semuamya sudah selesai.

Satria berdiri, lalu meraih handuk, ia melilitkan handuk itu di pinggangnya.

"Aku mandi dulu, mau bareng nggak?" tawar Satria membuat Siti melotot.

Satria terkekeh pelan.

Usai subuh, kai, dan nini pergi ke pasar, membeli bahan yang akan diolah untuk dijual, di warung makan mereka.

Satria sudah membereskan kasur yang kembali diletakannya di atas ranjang.

Saat Siti masuk ke kamar, usai dari membeli sarapan, Satria langsung mengunci pintu kamar.

Lalu menarik Siti rebah di atas ranjang.

"A'?!"

"Mumpung Nini, Kai, enggak ada, mau ngerasain sensasi begituan di ranjang berbunyi," kata Satria.

'Ya Allah ... punya suami kok mesumnya maksimal begini sih,' batin Siti.

Satria menindih Siti, sedikit saja mereka bergerak. Kreekoot ... ranjang berbunyi. Satria sengaja menciumi Siti sambil menggerakan badannya. Kreekoott ....

Tiba-tiba Satria tertawa.

"Kalau cuma kita berdua begini, aku jadi pengen nambah lagi, tapi di atas ranjang ini, asik kan ada sensasi tersendiri."

"A', aku harus ke kantor".

"Ke kantor? Aku minta hari ini juga, kamu serahkan surat pengunduran dirimu."

"Tapi, A'."

"Aku sudah bilang, tidak ada kata tapi, waktumu tinggal hari ini, mengundurkan diri, dan ikut dengan aku ke Jakarta, atau kita cukup sampai di sini," ancam Satria.

"A' ...."

"Sebaiknya aku keluar sebentar, biar kamu bisa berpikir jernih." Satria melangkah ke luar kamar.

"A'," panggil Siti, tapi Satria sudah keluar dari rumah.

Siti baru teringat, Satria baru sehari di sini.

'Mau kemana dia, jangan-jangan nanti nyasar ... eeh tapi dia kan pintar, punya mulut nggak mungkin nyasar.'

Diakui Siti, Satria memang pintar meultimatumnya, saat semua sudah ia serahkan.

'Aku harus mulai terbiasa dengan kesongongannya, ngambekannya, mesumnya, egoisnya, semuanya dari A sampai Z.'

Siti mengeluarkan pulpen, dan kertas dari laci meja di sudut kamarnya.

Siti menulis surat pengunduran dirinya.

***

Siti berbaring di ranjang, badannya sungguh terasa tidak enak, mungkin karena tidak terbiasa tidur tanpa pakaian jadi masuk angin.

Nininya tadi sempat bertanya, kenapa ia tidak ke kantor, dijawabnya tidak enak badan.

"Aciiilll Sitiiii!"

Braaakkk ....

Pintu kamar Siti terbuka dengan keras.

Sakha, dan Salsa masuk ke kamar langsung naik ke atas ranjang, melompat-lompat dengan riang.

"Sakha, Salsa ...." cepat Siti merapikan rambut, dan memasang kerudungnya.

Sekar, dan Satria masuk ke dalam kamar.

Siti segera mencium punggung tangan Sekar.

"Bunda sehat?"

"Sehat, Sayang, kamu sakit ya, wajahmu pucat."

Kepala Siti menggeleng.

"Cuma masuk angin, Bunda," jawab Siti.

"Kalau masuk angin, nanti bisa minta kerokin sama Abang," kata Sekar.

"Kerokin ... bule kerokan juga ya, Bun? Eeh maaf, Bunda ..." Siti menyesal sudah keceplosan bertanya seperti itu.

"Mereka itu cuma tampilannya yang bule, Sayang, tapi di sini mereka Indonesia sepenuh hati," jawab Sekar.

"Ooh ...."

"Nenek … tempat tidur Acil Siti ada bunyinya, Caca nanti mau minta beliin Bunda tempat tidur yang ada bunyinya, seperti punya Acil Siti," cerocos Salsa, membuat Siti tidak tahu lagi warna wajahnya.

"Sakha, Salsa, ayo turun dari situ," kata Sekar.

"Enggak mau, asik bunyinya krekooot ... krekoot … hahahaha …." tawa Sakha, dan Salsa bergema di ruangan kamar Siti.

"Biarin, Bun, enggak apa-apa," kata Siti akhirnya.

"Acil Siti bikin adiknya sudah belum?" tanya Salsa tiba-tiba.

'Aduuhh pertanyaan itu lagi,' batin Siti.

"Tanya Uncle ya," sahut Siti akhirnya.

"Kok Uncle? Kan yang bisa buat adik bunda-bunda, seperti teman Caca, sebentar lagi punya adik, perut mamahnya besaaarr." Salsa menirukan perut buncit dengan kedua tangannya yang memegang bantal di depan perutnya.

Siti menatap Satria, bingug harus jawab apa.

"Sini turun, kalian tenang saja, adiknya sudah dibikin kok, tuh Acil sampai sakit gara-gara bikin adik buat kalian," sahut Satria akhirnya.

"Supaya jangan capek, dibantuin dong, Uncle, Mas Cakha, sama Caca bantu Bunda kok, kalau Bunda bikin cake, ya kan, Ca," kata Sakha.

Kepala Salsa mengangguk.

"Sudah Uncle bantuin kok," jawab Satria.

"Ayuk diminum banyunya, dimakan wadainya, adanya tinggal pais pisang wan untuk. Maaf'ai kada kawa mahadapi nah, lagi babanyakannya urang makan d warung." Suara Nini mempersilahkan mereka minum.

(Silahkan diminum airnya, dimakan kuenya, tinggal kue pais pisang, dan kue untuk, mohon maaf tidak bisa ikut ngobrol, karena lagi banyak-banyaknya pembeli di warung).

"Wadai itu apa?" tanya Sakti pada Siti yang mencium punggung tangannya.

"Kue, Ayah ... silahkan dicoba, Ayah, Bunda."

"Iya terimakasih," jawab keduanya.

"Sakha, Salsa, sini, Sayang." Sekar memanggil kedua cucunya.

"Enggak mau, kita mau tiduran di sini asiikk … krekoott ... krekoott ... hahahaha …" jawab Sakha.

"Kapan, Ayah, Bunda tiba?"

"Barusan dari bandara tadi, langsung ke sini," jawab Sekar.

"Ooh ... makan siang di sini, ya, Ayah, Bunda, biar nyicipin masakan khas Banjar bikinan nini," kata Siti.

Sekar, Sakti, dan Siti menuju warung sementara Satria menjaga Sakha, dan Salsa yang masih asik bergulingan di ranjang Siti sambil bercanda.

Sekar, dan Sakti makan siang ditemani kai, dan nini, dengan menu gangan keladi kepala haruan, dan sapat siam, juga papuyu beubar, plus Sambal acan ramania.

Sementara Siti membawakan Sakha, dan Salsa, sop ayam bapukah.

"Sakha, sama Salsa makan sendiri, apa Acil suapin?" tanya Siti.

"Suapin, Aciiill." bukan cuma Sakha, dan Salsa yang berteriak tapi Satria juga.

"Iih ... Uncle yang ditanyakan kita, kenapa Uncle ikut jawab?!" protes Sakha.

"Unclekan pengen juga disuapin Acil Siti," jawab Satria.

"Uncle sudah gede, masa minta suapin sih?!" kali ini Salsa yang protes.

"Iya nih Uncle, kalau di rumah kita Ayah yang nyuapin Bunda, bukan Bunda yang nyuapin Ayah," timpal Sakha.

"Ya sudah, kalau begitu, Acil Siti nyuapin kita, Uncle nyuapin Acil Siti, gimana? Okee?" Satria mengangkat jempolnya.

"Okeee!" seru Sakha, dan Salsa seraya melompat-lompat kegirangan.

"Ya Allah A', mending Aa suap sendiri kalau begitu, dari pada suapannya muter-muter" kata Siti.

"Aku enggak mau makan, kalau nggak Kamu suapin," jawab Satria dengan ekspresi persis bocah yang lagi ngambek.

"Duduk manis ya, dari siapa dulu nih?" tanya Siti.

"Aaaa …" ketigamya mengangakan mulutnya ke arah Siti.

"Uncle dulu yaaa." Siti menyuapi Satria, baru Sakha, dan terakhir Salsa.

Satria mengambil sendok dari tangan Siti, lalu menyuapi Siti, ragu-ragu Siti membuka mulutnya, ada rasa malu dihatinya, apa lagi saat Sakha, dan Salsa berlompatan sambil tertawa girang.

Sakha bergelayut di belakang punggung Satria, Salsa melakukan hal yang sama pada Siti.

"Aku pengen banget makan kamu," Satria berkata pelan, saat Siti menyuapkan makanan ke mulutnya.

"Aa … didengar anak-anak!" protes Siti.

"Bunda juga sering bilang pengen makan Ayah, ya kan Mas. Memang boleh ya Uncle orang makan orang?" tanya Salsa.

Satria, dan Siti saling pandang.

"Jawab, Uncle," kata Siti sambil menyunggingkan senyum manis di bibirnya.

Satria menggaruk kepalanya, karena bingung.

"Jawaab, Uncle … " Sakha, dan Salsa ikutan minta Satria menjawab pertanyaan Salsa tadi.

"Sebenarnya bukan dimakan, Sayang, tapi cuma digigit sedikit ... Uncle boleh gigit Acil Siti, Bunda kalian juga boleh gigit Ayah, Kakek juga boleh gigit Nenek, kalau Sakha, sama Salsa belum boleh gigit orang ya, kan masih kecil, " jawab Satria akhirnya.

"Ooh begitu ya, pantes ya, Mas, Ayah sering lehernya merah seperti bekas kena gigit, pasti Bunda tuh yang gigit Ayah. Kalau kita sudah besar, boleh gigit orang juga kan, Uncle?" cerocos Salsa.

"Boleh," jawab Satria.

"Kalau Acil Siti enggak suka gigit Uncle ya? Leher Uncle enggak ada bekas gigitannya." Salsa mengamati leher Satria.

"Acil Siti masih belum belajar gigit orang, ntar kalau sudah bisa juga pasti Uncle digigit."

"Aa … anak-anak kok diajakin ngomong begitu!" protes Siti dengan wajah merah padam.

"Begitu apa, Acil?" tanya Salsa.

"Ayo Acil jawab begitu apa?" goda Satria.

Siti terdiam sesaat.

"Begitu itu, artinya bukan begini, Sayang," jawab Siti seraya menyuapkan makanan ke mulut Salsa.

"Ooh ... kalau begitu bukan begini, terus begini itu apa?" tanya Sakha.

Siti terdiam lagi, membuat Satria senyum dikulum.

"Behini itu ya seperti ini, Acil nyuapin kalian makan," jawab Siti.

"Oooh," angguk keduanya, sepertinya cukup puas dengan jawaban Siti.

Siti menarik nafas panjang lalu dihembuskannya pelan, seakan dia baru melewati ujian yang sangat sulit.

"Baru sebentar ngadepin mereka sudah berasa stress, kan? Apa lagi tiap hari nanti, jadi kuatkan hati, dan imanmu, Sayang," kata Satria pelan, sambil mencubit pipi Siti.

Untung 2S tidak mendengar, dan melihatnya, karena mereka lagi asik bergulingan menikmati sensasi bunyi ranjang Siti yang tidak akan mereka temui di Jakarta.

Kreekoott ... kreekoott ....

*** Bersambung***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel