BAB. 12 MERABUTI LAKI URANG
Selesai makan mereka sholat dzuhur berjamaah di langgar dekat rumah Siti.
Sakti dan Sekar mengajak Satria, Siti dan dua bocil ke pasar intan Martapura.
Tapi dua bocil tidak mau ikut, mereka lebih suka naik lagi ke atas ranjang Siti.
Terpaksa Sekar dan Sakti pergi berdua dengan diantar taksi yang dipesan Satria lewat telepon. Nomer telpon taksi sendiri didapat Satria dari papi saat mereka baru tiba di Banjarbaru.
Setelah Sekar dan Sakti pergi, Siti dan Satria menidurkan dua bocil biang rempong.
Karena listrik padam terpaksa Siti dan Satria mengipasi Sakha dan Salsa dengan kipas dari anyaman bambu.
Mereka berempat berbaring melintang di atas ranjang.
Walau ranjang terus berbunyi merespon setiap gerakan, tapi untungnya keduanya bisa tertidur juga akhirnya, meski harus di lepas dulu baju luarnya, keduanya sekarang hanya tinggal memakai kaos dalam, dan celana pendek saja.
Untung listrik padam cuma sebentar.
"Hhhh ... pegell ... memangnya di sini sering ya pemadaman listrik?" tanya Satria.
Tidak terdengar jawaban Siti, Satria bangun menatap Siti yang berbaring di ujung lain dari ranjang, karena di tengah mereka ada Sakha, dan Salsa.
"Hhhh ... dianya ketiduran juga," gumam Satria.
Satria turun dari atas ranjang, lalu mengunci pintu kamar yang tadi hanya tertutup saja.
Jendela kamar juga ditutup dengan hordennya sekalian.
Satria menggeser posisi tidur Sakha, dan Salsa agar ia bisa berbaring di sebelah Siti.
Dibukanya pelan kancing daster Siti, dinaikkan bra Siti.
Diisapnya ujung buah dada Siti.
"Aa …." Siti membuka mata, wajahnya memerah.
"Tidurlah, " bisik Satria.
"Nanti anak-anak lihat, A'," bisik Siti.
"Merekakan tidur, enggak akan lihat," jawab Satria.
"A'…."
"Tidurlah ... aku cuma mau menyusu saja kok," kata Satria.
Siti malas berdebat, akhirnya dipejamkan lagi matanya, dan digigit ujung kerudungnya, agar desahan tak keluar dari mulutnya.
Satria masih mengisap, dan menjilat buah dada Siti.
Siti sendiri akhirnya tertidur lagi.
Tapi Siti terbangun lagi saat merasakan bukan hanya dadanya yang diisap, tapi ada yang menari di pangkal pahanya.
"A' …" panggilnya pelan, takut membangunkan Sakha, dan Salsa yang lelap tertidur meski ranjang tak berhenti berbunyi, kreeekoott.
"Hmmm …." jawab Satria.
Siti menatap ke bagian bawah tubuhnya.
Daster memang masih melekat di tubuh, tapi ada yang bergerak-gerak dibalik dasternya.
Ada tangan Satria mencumbui pangkal pahanya, ada kepala Satria berada di atas dadanya.
Lutut Siti ditekuk Satria, daster Siti bagian bawah ditutupkan ke lutut Siti yang ditekuk ke atas, hingga tangan Satria terlindung dasternya.
Siti menggigit ujung kerudungnya lebih kuat.
Ia bisa menahan desahan, tapi tak bisa menahan gerakan tubuhnya, yang merespon setiap aksi Satria di tubuhnya.
Kreekoott ... krekoottt ....
"Aa!" panggilnya.
Satria mengangkat kepalanya.
"Hmm …."
"Nanti dilihat anak-anak, A'."
"Kita pindah ke bawah, ya," ajak Satria.
"Pindah ke bawah mau ngapain?"
"Ya mau nerusin."
"Nerusin apaan?"
"Nerusin ini, Sayang." Satria mengecup bibir Siti lembut.
Bibir mereka saling cium, lidah saling belit.
"Uncle ... pipis …." Sakha bagun sambil mengucek matanya.
Cepat Siti, dan Satria melepaskan ciuman mereka.
"Sakha mau pipis, ayo ke kamar mandi." Satria menggendong Sakha ke luar kamar, menuju kamar mandi.
Sementara Siti cepat memakai kembali celana dalam, dan celana leggingnya yang dilepas Satria saat ia tidur tadi. Dirapikannya juga bra dan dasternya.
'Hhh ... si Aa bule nggak pandang waktu ternyata kalau lagi ingin,' batinnya.
Sakti, dan Sekar sudah kembali dari pertokoan intan pasar Martapura.
Sakha, dan Salsa sudah bangun, dan sedang bercanda dengan Satria, juga Siti, di dalam kamar saat mereka datang.
"Bunda beli apa saja kok pake dus besar begitu bawanya?" tanya Satria.
"Oleh-oleh buat yang di Jakarta," jawab Sekar.
"Apa isinya, Bun," tanya Satria penasaran.
"Ada kain batik khas Banjar, apa tadi namanya, Ayah?" tanya Sekar pada Sakti.
"Sasirangan," jawab Sakti.
"Iya ... itu ada beberapa, ada juga perhiasan dari manik-manik, tas, dompet, ada makanan kecil juga," jawab Sekar.
"Buat kita ada nggak, Nenek?" tanya Salsa.
"Adaaaa ... tapi nanti ya setelah tiba di Jakarta, baru Nenek kasih buat Mas Sakha, dan Salsa," jawab Sekar.
"Yaaahhh, Neneeekkk," sahut keduanya dengan wajah cemberut.
"Nih, Kakek tadi beliin ini buat Mas Sakha, dan Salsa." Sakti menyerahkan tas kecil dari manik warna warni ke tangan Salsa, dan peci dari kain Sasirangan ke kepala Sakha.
"Horeee … Kakek memang paliiing baik, iya kan, Mas?" sorak Salsa.
"Jadi Nenek nggak baik begitu," rajuk Sekar.
"Nenek juga baik kok, ya kan, Ca?" Sahut Sakha.
Sekar tersenyum.
"Aku dibeliin nggak, Bunda?" tanya Satria.
"Abang kan bisa beli sendiri, Bang, tapi Bunda beliin sesuatu untuk Acil Siti." Sekar meraih tas tangannya yang besar, mengeluarkan kotak berwarna merah dari dalam tasnya.
"Ini untuk Acil Siti, dipasangkan ya, Bang." Sekar menyerahkan kotak merah itu ke tangan Satria.
Satria membuka kotak, ada satu set perhiasan dari emas putih dengan mata berlian.
Kalung, gelang, dan cincin.
"Sini tanganmu, Sayang." Satria minta Siti memberikan tangannya.
Ragu Siti mengulurkan tangan.
Satria memasangkan gelang, dan cincin di tangan Siti.
Kemudian kalung di leher Siti, setelah disingkapnya sedikit kerudung di bagian leher Siti.
"Kamu suka, Sayang?" tanya Sekar.
"Terimakasih, Bunda, Ayah, tapi ini rasanya terlalu mewah," jawab Siti.
"Tidak, Sayang, itu pas untuk kamu pakai," jawab Sekar.
"Terima kasih," jawab Siti.
"Eeh ... Abang, cincin kawin nya Siti yang ketinggalan di meja kamar, belum kamu pasangkan?" tanya Sekar, saat melihat Siti tidak mengenakan cincin kawinnya.
"Lupa, Bunda," jawab Satria, lalu bergegas masuk ke kamar, keluar lagi dengan membawa cincin kawin Siti di tangannya.
Sebenarnya Siti sengaja meninggalkan cincin kawin itu, karena tadinya, ia merasa tidak berhak memakainya.
Satria berlutut di samping kursi Siti.
"Siti Nur Laila Safarina, maukah kamu mencintaiku, seperti aku mencintaimu?" tanya Satria dengan mimik wajah, dan suara sangat serius.
Siti bingung, ditatapnya Sakti, Sekar, Sakha, juga Salsa.
"Jaaawaabb ... Aciilll!!" teriak kedua bocil dengan nada memohon.
Mata Siti menatap ke manik mata Satria.
"Jawaaabbb, Aaciiilll" pinta Satria sambil nyengir menggoda.
Siti ingin sekali menjitak kepala Satria, yang berjongkok di depannya, karena sudah membuatnya salah tingkah di depan ayah, bunda, dan Sakha, juga Salsa.
"Abaaang ... jangan goda istrimu," omel Sekar.
Satria tertawa, lalu dimasukan cincin kawin itu kejari manis Siti, setelahnya dikecup jari itu.
"Aa sayang Ading," ucapnya pelan, tapi masih bisa didengar yang lainnya.
Wajah Siti semakin merah, wajahnya menunduk dalam.
"Terima kasih," hanya itu yang keluar dari mulutnya.
Sakti, dan Sekar saling pandang.
"Aa sayang Ading ... Aa sayang Ading ... Aa sayang Adding …" teriak dua bocil heboh dengan suara berirama.
"Eeh sudaaah, sekarang waktunya kita pulang," kata Sakti.
"Ayah, Bunda, menginap di mana?" tanya Siti.
"Kita langsung pulang ke Jakarta hari ini juga," jawab Sakti.
"Ooh … nggak menginap dulu?" tanya Siti lagi.
"Enggak, Sayang, nanti lain kali saja menginapnya ya, kalian baik-baik ya, jangan berantem, dan Abang jangan suka menggoda istrimu, karena Bunda tahu betul, bagaimana rasanya digoda, dan dijahilin Ayahmu," pesan Sekar.
"Siap, Bunda," jawab Satria.
"Siti dimaklumin ya, kalau Abangmu suka jahil, dia memang begitu, suka sekali bercanda," kata Sekar ke Siti.
"Iya, Bunda."
"Boleh nggak kita pulangnya nanti saja, Nek? Nenek, Kakek saja pulang duluan, kita mau menginap di sini," kata Salsa tiba-tiba.
"Eeh ... nggak ... nggak ... kalian harus ikut Nenek Kakek pulang," jawab Satria langsung.
"Iih, Uncle, kenapa siih?" gerutu Sakha.
"Uncle sama Acil mau bulan madu, kalian nggak boleh di sini!" jawab Satria lagi.
Sakha, Salsa, dan Siti memandang Satria penuh tanya, tapi tentu saja dengan pertanyaan berbeda.
"Bulan madu itu apa?" tanya Salsa.
"Salsa masih kecil belum boleh tahu," jawab Satria.
"Hhhh … jadi anak kecil itu nggak enak ya, Mas, nggak boleh makan orang, nggak boleh juga ikut makan bulan, yang dikasih madu," gerutu Salsa.
"Kita berdoa yuk, Ca, biar cepet gede," ajak Sakha.
"Yuk, Mas... ya Allah tolong bikin kami cepet gede, aamiin …" doa keduanya.
Sakti, Sekar, Satria, dan Siti saling pandang lalu tersenyum.
Setelah pamitan pada nini kai, Sakti beserta istri, dan cucunya menuju Bandara Syamsudinnoor dengan naik taksi.
Satria, dan Siti sebenarnya berniat mengantarkan, tapi ditolak Sakti.
***
Warung sudah tutup, nini, dan kai pergi ke rumah saudara nini yang akan pergi Umroh subuh nanti, katanya mereka akan menginap di sana.
Siti tengah membersihkan halaman warung, dari daun-daun kering yang jatuh dari pohon mangga, nangka, dan ketapang yang ada di sekitar halaman.
Tiba-tiba sebuah motor matic yang dikendarai seorang perempuan, berhenti tepat di hadapan Siti.
Siti menatap perempuan itu dengan wajah sedikit terkejut.
Tanpa melepas helmnya, perempuan itu berdiri di hadapan Siti.
Satu tangannya melayang ke pipi Siti, satu lagi merenggut kerudung Siti hingga lepas, dan membuat Siti jatuh tersungkur ke tanah, kedua telapak tangan Siti yang menahan tubuhnya agar tidak jatuh tengkurap di tanah jadi terluka, karena tertusuk kerikil tajam yang banyak terdapat di halaman.
"Dasar perempuan perebut suami orang, jilbabmu itu cuma kedokmukan, kamu sembunyikan di mana suamiku!" teriak perempuan itu.
Satria yang tengah membakar sampah daun kering, langsung berlari ke arah Siti.
"Kamu nggak apa-apa, Sayang?" tanya Satria, sembari membantu Siti berdiri.
"Kamu siapa? Kenapa menyakiti istri saya?" tanya Satria gusar.
Kening perempuan itu terangkat.
"Istrimu? Haah ... suami siapa lagi yang kamu ambil, Siti? Dulu Kak Zain yang ingin kamu rebut dariku, tapi gagal. Kemudian Mas Iki ingin kamu rebut dari Mbak Lena, tapi juga gagal, dan sekarang lelaki milik siapa yang sukses kamu nikahi, hah?!" tanya perempuan itu sinis.
"Tutup mulutmu!" bentak Satria makin gusar.
"Aa, biar aku yang bicara dengan dia," kata Siti tetap tenang, meski sudut bibir, dan telapak tangannya terluka.
"Ati … kamu harus tahu, aku tidak pernah ingin merebut siapapun, dari tangan siapapun. Semua yang terjadi, karena aku tidak pernah tahu sebelumnya, kalau mereka ada yang memiliki, dan satu hal lagi, aku sudah lama tidak bertemu dengan suamimu. Jadi, jika kamu bertanya di mana dia, aku sama sekali tidak tahu. Sebaiknya sekarang kamu pergi, sebelum aku panggilkan polisi, karena aku merasa sangat terganggu dengan kedatanganmu ke sini," kata Siti panjang lebar, sebelum berbalik, lalu melangkah ke samping warung, untuk terus masuk ke rumahnya.
Ati ... perempuan itu menatap Satria.
"Sebaiknya anda segera pergi," kata Satria yang kemudian melangkah menyusul Siti.
Satria masuk ke dalam kamar, dilihatnya kepala Siti tertelungkup di atas meja, bahunya bergetar tanda ia tengah menangis.
Saat di depan perempuan bernama Ati tadi, Siti terlihat sangat tegar, dan berani, seakan tak perlu seorang lelaki untuk membela, dan melindunginya.
Tapi sekarang Siti tak bisa menahan kesedihan.
Meski benak Satria dipenuhi banyak pertanyaan, tapi ia merasa saat ini bukan waktu yang tepat untuk bertanya.
Luka di tangan Siti perlu diobati, lebih lagi luka di hatinya, karena diperlakukan semena-mena seperti tadi.
Satria ke luar kamar, ia menuju dapur, diambil baskom kecil, diisinya dengan air hangat. Satria masuk kembali ke dalam kamar, Siti masih dalam posisi seperti tadi.
Diambil handuk kecil, dan obat merah dari dalam ranselnya.
Diletakan semua di atas meja.
"Acil Siti ... Acil Siti ... jangan menangis dong," goda Satria, seraya menarik Siti agar berdiri.
Siti menghapus air mata dengan punggung tangannya.
"Aku tidak apa-apa," ucapnya seraya berdiri.
Satria duduk di kursi bekas Siti tadi, kemudian ditarik Siti agar duduk miring di atas pangkuannya.
"Aa … Aku berat," protes Siti.
"Kita bersihkan dulu luka di bibirmu." Satria membersihkan luka di sudut bibir Siti, dengan handuk yang sudah dibasahi dengan air hangat.
Siti memejamkan mata, merasakan sedikit perih di sudut bibirnya.
Cup
"Semoga cepat sembuh, Ading Siti tersayang." Satria mengecup bibir Siti sekilas.
Siti hanya diam saja.
Satria melingkarkan tangan di tubuh Siti, lalu membersihkan telapak tangan Siti dengan handuk yang dicelupkan ke dalam air hangat, baru ditetesinya dengan obat merah, yang kemudian ditiup-tiup dengan mulutnya.
"Aa, tidak ingin tahu, kenapa perempuan itu sampai menyerangku?" tanya Siti pelan, seraya menelengkan kepala, membuat wajahnya, dan wajah Satria yang ada di atas bahunya bertemu.
Wajah Siti memerah.
"Aku lebih suka menciumimu, dari pada bertanya tentang perempuan sinting itu," jawab Satria.
Bibir Satria langsung memagut bibir Siti.
Dibopong Siti ke atas ranjang tanpa melepaskan ciuman mereka.
"Aku sudah menunggu-nunggu saat ini, Sayang," bisik Satria.
"Saat apa?" tanya Siti bingung.
"Bercinta di atas ranjang tua, cup ... kecup sedikit, kreekoot ... kreekoot, mana ada orang lain bulan madu dengan sensasi ranjang krekooott, hahahaha …." Satria tertawa pelan.
"Aa, menghina ranjangku, atau bagaimana sih?" tanya Siti bingung, kesedihan di matanya mulai sirna.
"Tentu saja itu pujian, ranjang ini antik, seantik pemiliknya." Satria menowel pipi Siti.
"Apa aku tampak sangat usang, seperti ranjang ini sampai dianggap antik?" tanya Siti dengan mimik marah.
Satria terkekeh.
"Bukan antik karena usang, tapi antik karena istimewa," jawab Satria.
"Selalu pinter jawabnya," gerutu Siti.
"Waktunya berhenti bicara, Sayang, saatnya hanya deru nafas, dan desahan juga derit ranjang saja yang terdengar," bisik Satria di telinga Siti.
Siti menggidikan tubuhnya, merasa geli dengan kata-kata Satria yang baginya terdengar sedikit vulgar.
"Kenapa?" tanya Satria.
"Geli medengar kata-kata, Aa," jawab Siti.
"Geli mana sama kalau dibeginikan?" Satria menggelitik pinggng Siti dengan jari-jarinya, seperti biasa dilakukannya pada EBI.
Siti tertawa tanpa bisa ditahan, tubuhnya menggelinjang kegelian, membuat ranjang terus berbunyi kreekoot ... kreekoot ….
Dan krekooot ranjang semakin nyaring, dan semakin sering terdengar, saat kedua tubuh mereka menempel dengan ketat, sehingga peluh mereka menyatu, deru nafas mereka memburu.
***
Satria, dan Siti sholat maghrib di langgar.
Usai maghrib.
"Aa mau makan malamnya apa?" tanya Siti.
"Ading maunya apa?".
"Aa suka makan bakso?"
"Ading ingin makan bakso?"
Siti mengangguk.
"Ayolah ... di mana?"
"Enggak apa kalau kita naik angkot?" tanya Siti.
"Jauh ya?"
"Lumayan."
"Ayo lah."
Masih dengan memakai peci, sarung, dan baju koko, Satria mengikuti Siti naik angkot.
Sesuatu yang tidak pernah dilakukannya di Jakarta.
Mereka turun di dekat bundaran simpang empat, dengan tugu intan di tengah bundaran. Siti, dan Satria menyebrang jalan, menuju depot bakso, dan mie ayam. Kedatangan mereka langsung jadi pusat perhatian. Satria yang berwajah, dan berperawakan bule tulen, tapi mengenakan peci, sarung, dan baju koko sangat menarik untuk mereka pandangi.
"Aa mau bakso, aatau mie ayam, A'," tanya Siti.
"Bakso saja," jawab Satria.
"Bakso dua," kata Siti pada pelayan depot.
"Minumnya?" tanya pelayan.
"Aa mau minum apa?" tanya Siti lagi.
"Teh hangat," jawab Satria.
"Teh hangat satu, es teh satu," pesan Siti.
"Eeh ... jangan minum es, Sayang, teh hangat saja dua-duanya, Mas," ralat Satria.
"Tapi aku ingin minum es, A', " protes Siti.
"Enggak boleh, nanti batuk, pilek."
Siti memanyunkan bibirnya.
Pesanan datang.
Siti menambahkan kecap, saos, dan satu sendok sambal di mangkok baksonya.
"Sambalnya kebanyakan, Sayang, nanti perutmu sakit." Satria mengambil sambal dari mangkok Siti dengan sendok di tangannya.
"Kalau enggak pedas nggak enak, A'," protes Siti.
"Enggak ... pokoknya nggak boleh kebanyakan sambal."
'Iiih ... tahu begini, aku enggak akan mengajak makan bakso,' gerutu Siti di hatinya.
Baru makan beberapa suapan Satria memanggil pelayan.
"Minta pentol baksonya saja satu porsi, Mas," pinta Satria.
"Baik, Mister," jawab pelayan.
"Memang habis makan segini banyak?" tanya Siti.
"Ini juga masih kurang, Sayang," jawab Satria.
"Haah?" Siti melongo mendengar jawaban Satria.
Siti belum habis satu mangkok, Satria sudah habis dua mangkok.
"Mas," panggilnya pada pelayan.
"Ya, Mister" pelayan mendekat.
"Mie ayamnya satu, plus teh hangatnya satu gelas lagi," pinta Satria.
"Siap, Mister" jawab pelayan.
"Aa, belum kenyang juga?" tanya Siti heran.
"Aku perlu mengisi tenaga untuk perang kita malam ini, Sayang," bisik Satria, sambil mengedipkan sebelah matanya.
"Aa!" protes Siti dengan wajah merah.
Wajahnya semakin merah, saat Satria menyodorkan sate telur puyuh yang dipindang ke mulutnya.
"Coba, Sayang, ini enak banget loh," kata Satria.
Terpaksa Siti mengambil satu biji telur puyuh dari tusuknya dengan giginya.
"Lagi?"
"Sudah A', aku sudah kenyang, Aa cepat habiskan makannya, sebentar lagi masuk isya."
Satria menghabiskan mie ayamnya.
"Hay, Siti!!" seseorang menggamit lengan Siti, saat mereka bediri dari duduk mereka.
Siti berbalik.
"Oh hay, kak Fadli ... apa kabar?" Siti tersenyum.
"Baik, kamu?" tanya Fadli balik.
"Alhamdulillah baik, Kakak sama siapa?"
"Sendiri, kamu?" tanya Fadli.
Siti menatap Satria, raut wajah Satria tampak terlihat berbeda.
"Sama suamiku. Aa, kenalkan, ini Kak Fadli, rumahnya dulu dekat rumah nini, tapi sekarang pindah ke Martapura," Siti menjelaskan panjang lebar, agar tidak terjadi salah paham.
"Hallo, Saya Satria, suami Siti." Satria mengulurkan tangannya.
"Ooh saya Fadli. Kok tidak ngundang kami, Siti?" tanya Fadli.
"Kami nikahnya di Jakarta, di tempat Papi, Kak," jawab Siti.
"Ooh ...."
"Saatnya kita pulang, Sayang. Maaf ya, Mas Fadli, kita duluan," pamit Satria, tangan Satria melingkari pinggang Siti, seakan ingin menunjukan pada semua orang, kalau Siti adalah miliknya.
***
Setelah sholat Isya di langgar (musholla), mereka kembali ke rumah.
"Aa kasurnya nggak diturunkan?" tanya Siti.
"Enggak usah," jawab Satria sambil melepas peci, baju koko, dan sarungnya.
"Aa enggak terganggu dengan bunyi ranjangnya?" tanya Siti.
Satria terkekeh, ditariknya Siti ke dalam pelukannya.
"Aku justru ketagihan, bercinta ditingkahi suara derit ranjang," kata Satria.
"Bunyinya krekoot, Aa," ralat Siti.
"Andai bisa, ingin rasanya nih ranjang aku bawa pulang ke Jakarta," kata Satria.
Kali ini Siti yang tertawa pelan.
"Bawanya dibungkus pakai daun pisang, masukin kresek ya, A'," gurau Siti.
Satria menatap wajah ceria Siti, Siti tampak sudah lupa dengan kejadian sore tadi.
Dan yang terpenting sekarang bagi Satria, Siti sudah mulai tidak malu lagi untuk menanggapi candaannya.
****Bersambung****
