BAB : 8
Dalam perjalanan, Keyzia terus bertanya dan bertanya kemana dirinya akan dibawa. Tapi Rion seolah tak berminat untuk menjawab pertanyaannya.
Mobil kini berhenti di sebuah rumah yang lumayan besar. Tak jauh berbeda dengan rumah milik Rion.
“Ini rumah siapa, Om?” tanya Keyzia saat Rion memaksanya turun dan masuk ke dalam rumah.
Sampai di dalam, ia langsung memasang ekspressi kaget. Ada beberapa orang di sana yang sedang mengarahkan pandangan padanya. Parahnya lagi, ada kedua orang tuanya juga.
“Loh, Mama sama Papa kok ada di sini?” tanyanya bingung.
“Aku yang meminta mereka datang ke sini,” ungkap Rion.
Keyzia berniat menghampiri Emil dan Arini, tapi Rion malah tak melepaskan pegangan di tangannya sama sekali.
“Lepasin aku, Om,” pintanya.
“Diam, Key!” bentak Emil pada putrinya.
“Aku sudah bilang, kan, kalau aku meyukaimu. Jadi, sepertinya sebuah ungkapan kata saja tak cukup.”
Dahi Keyzia berkerut mendapat perkataan seperti itu. “Maksudmu apa, Om?”
“Aku mau kamu jadi milikku, seutuhnya.”
Demi apa Rion mengatakan hal itu padanya? Sungguh, pendengarannya benar-benar tak sehat lagi. Sepertinya ia harus memeriksakan diri ke THT.
Keyzia tertawa receh. “Jangan bercanda, Om. Mau memiliki diriku seutuhnya? Jangan bilang mau menikahiku. Astaga! Jujur, ini benar-benar lucu,” jelas Keyzia masih dengan tawanya.
Hanya ia yang tertawa, tapi tidak dengan yang lain. Bahkan Emil dan Arini saja hanya diam membisu memandang kearahnya.
Tiba-tiba tawanya terhenti seketika itu juga layaknya direm mendadak. Kemudian memandang tajam ke arah Rion yang ada di sampingnya.
“Kamu pikir aku sedang bercanda. Maaf, Key ... aku bukan orang yang seperti itu. Apa yang ku mau, harus ku dapatkan. Termasuk kamu sekalipun. Aku inginkan sekarang, itupun harus terjadi.”
“Pa ... Ma, apa semua ini?” tanya Keyzia pada kedua orang tuanya.
“Benar, Key ... kamu akan menikah dengan Rion. Sekarang,” jelas Arini.
“Kamu sudah membuat keluarga kita dalam masalah yang besar. Hanya Rion yang bisa menghandle semua itu.”
Keyzia menggeleng, berusaha melepaskan pegangan Rion di tangannya. Meskipun ia tak yakin bisa lepas.
“Itu sama saja kalian menjualku!”
Dua orang laki-laki berbadan kekar mengambil alih pegangan Rion di tangannya. Sudah jelas sekali ia tak akan bisa kabur.
“Aku hanya butuh restu ayahmu, terserah kamu mau setuju atau tidak,” balas Rion santai. “Bawa dia ke kamar,” perintahnya pada kedua orang yang memegangi Keyzia.
“Lepasin aku! Aku nggak mau nikah sama kamu! Aku nggak mau!”
Teriakan itu akhirnya hilang dari pendengaran saat pintu itu ditutup rapat. Bahkan sekuat apapun dia berteriak di dalam, tak akan berpengaruh ke luar kamar.
“Yakin dengan keputusanmu, kan?” tanya Rion pada Emil.
“Mungkin memang ini yang terbaik,” balas laki-laki paruh baya itu.
Jujur saja, dalam hati ia tak rela jika Keyzia jatuh pada Rion. Tapi, ia juga tak ingin bisnis turun temurun keluarganya hancur begitu saja dalam hitungan menit.
Tak ada yang sulit ia lakukan. Termasuk menikahi Keyzia saat ini juga. Hanya meminta orang suruhannya menyiapkan semuanya dan beres.
Sementara Keyzia, ia hanya bisa menangis terkurung di dalam kamar, tanpa bisa berbuat apa-apa. Berniat kabur? Bahkan tak ada jalan yang bisa ia gunakan untuk melarikan diri dari sini.
“Kenapa semuanya jadi begini, sih,” kesalnya merutuki semuanya.
Kesalahannya yang hanya salah masuk kamar, hingga harus melebar sampai separah ini. Jujur saja ia tak pernah menyangka kalau semuanya jadi begini. Harusnya ia masih bisa have fun sama teman-temannya, harusnya ia masih bisa jalan bareng sama kekasihnya, tapi semuanya malah berubah.
Satu jam kemudian, pintu dibuka dari arah luar. Ia yang tadinya hanya duduk di sudut tempat tidur, segera bangkit dan menghampiri seseorang yang masuk.
Ingin menghindari, tapi langkahnya ditahan. Ya, siapa lagi pelakunya kalau bukan Rion.
“Lepasin aku!”
“Ayolah, Key ... mulai detik ini kamu nggak bisa pergi dariku.”
Rion memperlihatkan sesuatu yang ada di tangannya, kemudian menyambar tangan Keyzia. Tak hanya itu, sebuah cincin langsung saja ia pasangkan di jari manis gadis itu.
Melihat benda yang dengan seenaknya dipasangkan Rion di tangannya, tentu saja ia kesal. Berusaha kembali melepaskan, tapi sialnya benda itu tak bisa lepas.
“Lepasin cincin ini dari tanganku!”
Rion memang menyambut uluran tangan Keyzia, tapi bukan untuk melepaskan cincin, melainkan mencium punggung tangannya.
Ia melihat ke sekeliing, tapi tak ia dapati lagi kedua orang tuanya di sana.
“Mana orang tuaku?” tanyanya.
“Sudah pergi.”
“Apa yang sudah Om lakuin?!”
“Seperti yang ku katakan sebelum mengurungmu di kamar tadi.”
“Apa?!”
Rion memperlihatkan sebuah cincin yang sama dengan yang dikenakan Keyzia. “Kita sudah sah menjadi suami istri, Key,” ungkapnya dengan senyuman mengumbar di sudut bibirnya.
“Nggak mungkin,” bantahnya. Yang benar saja, masa iya dirinya sudah menikah dengan Rion. Sepertinya dunia sedang mempermainkannya.
“Terserah, kamu mau percaya atau tidak, tapi memang begitulah kenyataannya. Saat ini statusmu adalah istriku. Paham!”
Keyzia berlalu dari hadapan Rion dan dengan langkah cepat ia pergi dari sana.
Kali ini tak ada perlawanan dari Rion. Ia hanya diam memandangi kepergian Keyzia sambil tersenyum.
“Kamu manikahinya, tapi kini malah membiarkan dia pergi begitu saja,” komentar mamanya.
“Tetap saja, dia pasti akan kembali padaku,” balasnya tenang.
****
Bayangkan, ia berlari hingga sampai di rumah. Tapi rasa capek itu sama sekali tak terasa, karena perasaannya kini sedang kacau dan tak tenang.
“Loh, Keyzia ... kamu kenapa ada di sini?” tanya Arini saat mendapati putrinya yang malah kembali ke rumah.
Ia menghampiri kedua orang tuanya. “Kenapa dia bilang kalau aku ini adalah istrinya?”
“Key ...”
“Semuanya nggak benar, kan, Ma?” tanyanya pada mamanya. “Aku bukan istrinya, kan, Pa?” Kini ia beralih pada papanya.
“Benar,” jawab Emil. “Apa yang dikatakan Rion memang benar. Kamu dan dia adalah suami istri sekarang, Key.”
Sedikit tersentak saat mendengar penjelasan papanya.
“Papa sama Mama nggak punya pilihan lain, Sayang. Bisnis keluarga kita sedang terancam. Dia menginginkan kamu, apa salahnya jika kami kabulkan keinginannya.”
“Tentu saja ini salah, Ma! Aku ini anak kalian, dengan gampangnya malah menikahkanku dengan orang yang tak ku kenal.”
“Kami terpaksa, Key.”
“Papa sama Mama tau, dia itu sudah punya istri. Dan sekarang kalian membuatku jadi istri kedua.” Ia tersenyum dengan berat. “Ini gila!”
Keyzia berniat untuk menuju ke kamarnya yang berada di lantai atas, tapi dihalangi oleh papanya.
“Pa, aku mau ke kamar,” ujarnya.
“Sudah Papa bilang, kan, kalau kamu adalah istrinya Rion. Jadi, kamu akan tinggal bersana dia. Bukan di sini lagi, Keyzia!”
Keyzia diam, tangannya mengepal. Ada rasa sakit yang kini ia rasakan saat mendengar penjelasan papanya. Seolah mulai detik ini ia tak berhak lagi untuk menginjakkan kakinya di rumah.
“Papa sama Mama benar-benar tega padaku.
Arini menghampiri putrinya. “Key, ini semua terpaksa kami lakukan, Sayang. Kamu nggak mau, kan, melihat Papa sama Mama menderita? Kami sudah tua. Harusnya di masa ini kami bahagia, bukan malah mendapatkan masalah. Setidaknya kamu bisa membuat kami bahagia.”
Keyzia mengumbar senyuman beratnya, kemudian bersidekap dada di depan mama dan papanya. “Jadi, kalian berdua bahagia dengan keadaanku saat ini?”
Arini dan Emil tak berkomentar. Bingung juga mau berkata apa. Karena apapun alasan yang mereka berikan, Keyzia tetap tak akan terima.
“Papa harap kamu kembali ke rumah Rion, suamimu,” suruh Emil.
Suami? Iya, suami yang tak diinginkan lebih tepatnya.
Dengan langkah berat, Keyzia meninggalkan rumah orang tuanya. Suasana sudah mulai gelap, tapi ia justru tak tahu harus pergi kemana. Menghubungi teman-temannya saja ia bingung, karena tak ada ponsel bahkan uang sekalipun tak ada.
Terbuang layaknya sampah di jalanan. Mungkin seperti itulah dirinya kini. Capek berjalan, ia berhenti dan duduk di pinggir jalan. Menutupi wajahnya sambil menangis tersedu.
“Aku tahu ini memang semua salahku, tapi kenapa hukumannya begitu berat? Aku nggak mau, aku nggak bisa jalaninnya,” gumamnya sambil terus menangis.
“Papa sama Mama bahkan nggak mau menerimaku lagi. Aku sendirian sekarang, benar-benar sendirian.”
“Ada aku, kan?”
Sontak, Keyzia mengarahkan pandangannya pada seseorang yang kini tengah berdiri dihadapannya. Mimik tak suka langsung ia tunjukkan.
“Mau apalagi?!” tanya Keyzia saat mendapati Rion yang tiba-tiba muncul dihadapannya. Bahkan dalam pikiran pun ia tak ingin ada laki-laki ini, tapi justru yang muncul malah dia.
Rion tersenyum dan duduk di samping Keyzia. “Key, sudah ku bilang, kan, kalau aku menyukaimu? Jadi, apapun akan ku lakukan untuk mendapatkanmu.”
“Om, udah ... jangan bicara seperti itu lagi. Karena ulah Om, aku jadi begini.”
“Kamu yakin karena ulahku?”
Keyzia diam.
“Semuanya kamu yang mengawalinya, Key ... bukan aku. Aku hanya melanjutkan apa yang kamu ciptakan,” jelas Rion.
Lagi, Keyzia hanya diam karena tak bisa memberikan komentar. Setidaknya apa yang dikatakan Rion memang benar adanya. Tapi, tidak dengan begini. Tidak dengan mengorbankan kehidupannya.
Lama Keyzia diam, dengan pandangannya yang hanya lurus memandangi ke jalanan yang ramai kendaraan yang lalu lalang. Sementara Rion seolah tak ingin mengeluarkan kata-kata lagi.
Tiba-tiba Keyzia beranjak dari posisi duduknya dan berlalu begitu saja meninggalkan Rion.
“Key, kamu mau kemana lagi?” tanya Rion, tapi pertanyaannya tak mendapat jawaban apa-apa.
Dengan cepat ia beranjak dari posisi duduknya dan mengikuti langkah Keyzia yang sudah berlalu pergi. Tangan gadis itu segera ia sambar.
“Lepasin aku, Om!” Bentak Keyzia langsung menghentakkan pegangan Rion di tangannya dengan kuat.
Kabar buruknya justru Keyzia tak sengaja mendorong tubuh Rion hingga cowok itu terdorong ke jalanan. Darah mengalir dari telapak tangannya yang tergores aspal. Lumayan parah, hingga ringisan itu terdengar jelas oleh Keyzia.
Mata Keyzia membulat. “Om, awas!!!!” pekik Keyzia mendapati mobil yang sedang mengarah pada Rion yang masih berada di jalanan. Entah dapat kekuatan dari mana, dengan cepat ia menarik tangan cowok itu agar bisa terhindar dari mobil yang siap menghantam.
Keduanya terhempas ke pinggir jalan. Lumayan kuat, hingga Rion merasa kali ini kepalanya dibagian belakang benar-benar terasa sakit karena membentur pembatas jalan. Tapi rasa sakit itu tiba-tiba terabaikan saat mendengar isakan tangis.
“Keyzia,” paniknya saat mendapati gadis yang kini sedang menangis memeluknya. “Kamu nggak kenapa-kenapa, kan? Ada yang sakit?”
Jangankan menjawab pertanyaannya, tapi justru tangisan itu yang semakin kencang. Tentu saja ia semakin cemas akan keadaan gadis itu. Dengan cepat ia berusaha bangun, membuat pelukan Keyzia di badannya terlepas.
“Mana yang sakit? Bilang padaku, Key,” panik Rion sambil memeriksa bagian tangan dan kaki Keyzia, kali aja ada luka atau tak sengaja terbentur.
“Aku nggak kenapa-kenapa, Om! Udah, jangan mencemaskanku!” kesalnya masih menangis.
Padahal ia tak ingin menangis, tapi heran saja kenapa air matanya malah keluar deras. Memalukan sekali rasanya menunjukkan wajah cengengnya di depan Rion.
“Lalu, apa yang kamu tangisi?”
“Ya kamu, Om!” berengutnya dengan nada jutek.
“Aku?” Rion menunjuk dirinya sendiri.
Lagi, Keyzia malah mengulang tangisnya. “Maaf, aku nggak sengaja mendorongmu.”
Dahi Rion berkerut, mendengar perkataan Keyzia.
“Terlambat sedikit saja barusan, pasti kamu bakalan ketabrak sama mobil. Kalau itu terjadi, semuanya salahku,” ungkapnya masih menangis.
Rion malah terkekeh menanggapi pernyataan Keyzia. “Lalu?”
Keyzia malah memukul dada Rion karena kesal. Ia dalam keadaan cemas, sedangkan Rion malah meledeknya.
“Aku sedang cemas, jangan meledekku seperti itu.”
“Aku bukan sedang meledekmu, tapi aku senang saat kamu memikirkan aku. Setidaknya saat aku tak baik-baik saja, ada rasa kasihan darimu padaku.”
Keyzia beranjak dari posisinya, ia hapus bekas air mata yang masih membasahi kedua pipinya. Kesal, air matanya malah dibalas ledekan.
Rion merasa saat ini kepalanya seperti sedang dipukul oleh benda keras. Rasanya benar-benar sakit dan bikin pusing, tapi mungkin masih bisa ia tahan.
“Benar, tak ada yang luka, kan?” tanya Rion pada Keyzia yang masih memasang wajah kesal padanya. “Jawab pertanyaanku, Key,” tambahnya.
“Iya, aku baik-baik aja. Jangan mencemaskanku.”
Tiba-tiba Rion malah memegang erat lengan Keyzia dengan satu tangannya yang memegangi kepalanya.
“Kenapa?” tanya Keyzia melihat reaksi Rion.
Ia kembali tersenyum. “Nggak kenapa-kenapa," jawabnya.
Keyzia tahu betul kalau kali ini Rion berbohong. Nggak kenapa-kenapa, katanya? Lihatlah, bahkan untuk berdiri saja dia berpegangan di lengannya. Ia juga tak buta, yang dengan jelas bisa melihat raut tak baik-baik saja di wajah itu.
“Ikut pulang denganku, ya?” pinta Rion pada Keyzia.
Keyzia tak langsung menjawab. Jujur saja, ia kesal dan marah pada cowok ini, tapi rasanya kok jadi tak tega untuk menolak. Apalagi dengan kondisi dia yang seperti ini. Berasa kejam sekali ia jika malah meninggalkan Rion di jalanan.
“Hanya karena kondisimu tak baik,” ujarnya. “Mana kunci mobil,” pintanya.
Rion menyodorkan kunci mobil ke tangan Keyzia, dengan satu tangannya yang masih bergelayut di lengan gadis itu.
“Rasanya aku ingin pingsan saja,” gumamnya semakin mengeratkan pegangan di lengan Keyzia.
“Katamu barusan nggak kenapa-kenapa,” komentar Keyzia.
Baru juga bicara, tiba-tiba tubuh Rion langsung ambruk begitu saja. Tentu, itu membuat Keyzia panik dan cemas.
