Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Semanis kamu

Lana bekerja seperti biasanya, mengupas ketela di mamak Yuda. Dia punya teman sekarang, namanya Tiwi, gadis seusia dengannya yang juga mengupas ketela.

"Tadi kudengar ada anak baru, katanya mau dijual ke desa sebelah. Dia masih muda." Tiwi menceritakannya sambil senyam-senyum.

"Kamu nasir, yo?" tanya Lana tanpa menoleh, sibuk dengan Peeler di tangannya.

"Dia ganteng, tapi aku endak tahu dia sudah menikah apa belum."

Lana terkekeh, "Kalau dia mau jualan, nanti sering ketemu, to? Pasti lama-lama juga tahu dia sudah menikah apa belum." Ke duanya pun tertawa.

"Lana?!"

Lana mendongak, mamak Yuda memanggilnya.

"Tatakan ceriping dulu, tiga ratus, mau dibawa, cepetan!"

Lana menoleh ke Tiwi, "Ayo bantu! Tiga ratus banyak loh." Ke duanya pun segera ke dalam gudang simpan, membawa ceriping, "Aku sepuluh, kamu sepuluh, jangan salah, yo? Nanti mamak Yuda marah." Ucapnya ke Tiwi saat dia melangkah ke teras, akan menata ceriping itu di sana.

"Lana? Kamu kerja di sini?"

Lana menelan ludah, sekali saja bertemu dengan kemalangan, seolah terus menyapa di mana dia berada, seperti saat ini, "Ari, kamu yang ... beli ceriping ini?" tanyanya memastikan apa yang ada di pikirannya saat ini.

"Iyo, Lana. Aku mau jualan ceriping. Ceriping di sini terkenal enak, ya ... dari pada aku nganggur, to?" Ari tertawa, memang dia sengaja ke sini setelah tahu kalau Lana bekerja di pabrik ceriping ini. Dia hanya ingin tahu seperti apa Pras sekarang, setelah lama meninggalkan rumahnya yang besar di desa sebelah.

Lana tersenyum, "Semoga lancar. Aku ... ke belakang dulu, Ari." Lana segera menyelesaikan pekerjaannya, bahkan saat Ari mengajaknya berbincang, tak terlalu menanggapi karena tahu seberapa liciknya Ari.

"Kenal, to?" Tiwi sempat melihat beberapa kali pemuda itu akrab dengan Lana tadi.

Lana mengangguk, "Dia saudaranya mas Pras."

Tiwi bersenang hati, apa yang dia inginkan sepertinya akan mudah dia gapai, "Dia sudah menikah? Punya kekasih?"

Lana menggeleng, "Tapi lebih baik jangan dia."

"Kenapa? Dia tidak baik? Sepertinya dia ramah dengan semua orang, bukankah itu artinya dia pemuda yang baik?"

Lana tidak enak membicarakan aib orang, dia pun mengangguk untuk menyudahi percakapan ini. Kembali ke pekerjaannya, berharap pikiran tentang kenapa Ari mulai sering ke desa ini, segera pergi.

Waktu merambat sore, Lana berkemas dan siap untuk pulang. Tiwi pun juga sama. Meski jalan ke duanya berbeda, Lana tetap pulang bersama dengan Tiwi sampai gadis seumuran dengannya itu melambaikan tangan untuk berpamit pulang. Lana segera mandi, memasak ala kadarnya untuk dirinya sendiri, makan di depan TV, dia lebih suka tinggal di sini dari pada di kamar selama Pras kerja. Menurutnya, tidur dengan berteman TV yang berisik akan membuatnya lupa akan kerinduannya.

Ketukan di pintu mengagetkannya yang sempat ketiduran. Lana mengucek mata, meski begitu dia enggan untuk ke luar, bahkan hanya untuk mengintip saja. Tak pernah dia bayangkan kalau saat seperti ini akan terjadi, dia di rumah sendiri, dan ada seseorang yang menakutinya. "Mas Pras, aku takut." Lana meringkuk, berharap malam ini segera terlewat dengan dirinya yang baik-baik saja.

"Lana? Lana?! Ini aku!"

Lana menajamkan telinga, suara itu sangat dia kenal. Segera membuang selimutnya, meski begitu berjalan mengendap, lampu di ruang tamu yang mati, dia yakin tak akan terlihat dari luar. Sosok yang begitu dia rindukan berdiri di depan pintu, Lana tak segera membukanya, bisa saja itu hantu, kan?

"Lana?! Ah ... apa sudah tidur, ya?" Pras memang pulang hari ini, berangkat jam enam dari kota, membuatnya sampai terlalu malam, belum lagi terpotong dengan makan dan istirahat tadi.

Lana tersenyum lebar, memutar kunci pintu, segera menghambur ke Pras yang hanya berdiri sendiri di depan rumah,"Mas Pras!" Dipeluknya erat, kulit Pras dingin, mungkin karena angin malam. Lana tak menyangka malam ini kebahagiaan datang kepadanya.

Pras mengecup puncak kepala itu, "Ayo masuk!" mendorong Lana, mengunci pintu dengan benar, melepas sepatu dan jaketnya di ruang tamu, meninggalkan tas besar itu juga, tapi membawa kantong hitam ke dalam. "Kamu tidur di sini?" tanyanya saat melihat selimut tergeletak di ruang TV. Duduk di kasur lantai, membuka kantong hitam yang dibawanya tadi.

"Iya, Mas Pras. Semalam juga mbok Sri tidur di sini. Itu apa, Mas?" tanya Lana dengan hati yang berbunga, menanti kenapa Pras sibuk dengan kantong yang dia bawa.

Pras terkekeh, membukanya, mencuil sepotong, dan menyodorkannya ke Lana, "Ini namanya martabak, tadi Mas beli di pertigaan waktu mau masuk desa."

Lana tersenyum, membuka mulutnya, dan menggigit. "Manis." Ucapnya dengan mulut penuh.

Pras terkekeh lagi, "Semanis kamu." pujinya ke Lana. "Jangan pergi! Makan ini saja, malam ini aku akan buat kopi sendiri." Pras segera berdiri sebelum Lana berdiri, ke dapur, dia menyalakan kompor, tak akan dia biarkan Lana lelah karena dirinya.

Lana hanya tersenyum, menghabiskan sepotong martabak di tangannya. Pras yang tak kunjung kembali, Lana pun menyusulnya. Punggung gagah itu membuatnya begitu menggebu tergoda rindu, Lana pun mendekat, memeluk Pras dari belakang.

Air yang direbus belum juga mendidih, Lana sudah menggodanya. Pras pun berbalik, membingkai wajah Lana yang begitu dia rindukan, "Mungkin sedikit pemanasan akan cukup?" goda Pras. Mengangkat tubuh Lana ke meja makan, segera memagut bibir yang rasanya seperti martabak, menyecap hingga dapur itu sedikit ramai oleh desah. Tangan Pras tak mau diam, segera menyelusup ke rok yang dikenakan Lana, mencari di mana letak pangkal paha. Masih berbalut dengan kain tipis, Pras memijitnya perlahan tanpa menyisihkan kain itu, miliknya membesar dengan cepat juga, Pras tak sabar untuk hidangan utama.

Pras terkekeh, hanya menurunkan resleting celana dan membuka kancingnya, membiarkan Lana tetap di atas meja, "Aku rindu." Menggodakan miliknya ke milik Lana yang sudah basah, menekannya perlahan hingga terlahap sempurna oleh milik Lana yang terasa ketat dan menggigit.

"A—ah ... ." Lana melebarkan kaki, menerima hujaman Pras dengan pemanasan yang minim. Tak memeluk, memilih untuk menahan tubuhnya dengan ke dua tangan di belakang agar Pras semakin dalam memberinya kenikmatan.

Pras terkekeh, "Aku akan cepat, Lana. Air itu sudah mendidih." Memegangi pinggul Lana, ditemani dengan siulan dari panci rebus air, semakin gencar hingga tak memerlukan waktu banyak, hanya lima belas menit saja. Pras menarik Lana, melumat bibir itu kembali meski singkat, mencabutnya, membiarkan apa yang tercecer, bernoda di lantai dapur. "A—ku akan mem—buat kopi dulu." Dicium sekali lagi, membiarkan Lana tetap seksi dengan pose yang seperti itu. Meski sibuk menata napas, Pras tetap menuang air itu ke cangkir kopi.

Lana tersenyum. Turun dari meja, mengambil tisu untuk membersihkan perbuatan Pras. Memeluk Pras kembali meski kekasihnya itu sedang mengaduk kopi untuk Pras sendiri.

"Bagaimana harimu, Lana? Tidak ada yang mengganggumu, kan?"

Lana mengangguk pelan. Ari teringat lagi di kepalanya saat ini. Dia pun bimbang, akan menceritakannya ke Pras atau membiarkan semuanya tetap seperti ini. Toh! Ari tak terlalu mengganggu menurutnya.

Pras membawa kopinya, membalik dan mengecup kening Lana, "Kenapa, hm? Ada sesuatu?"

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel