Sebulan
"Aku ... mengantar Teni pulang tadi." ucap Pras.
Yuda mengerutkan kening, "Teni? Manager kita?"
"Jangan salah paham, Yud. Teni tadi pingsan, aku endak tega. Mangkanya kuantar. Aku juga gak ngapa-ngapain." Pras tahu apa yang dikawatirkan oleh sahabatnya.
Yuda hanya mengangguk, "Lima hari lagi kita pulang, Pras. Mandilah. Kita beli makan setelah ini." Melihat sahabatnya mengangguk, Yuda ikut mengangguk juga. Tak bisa dipungkiri kalau kekawatirannya bisa saja jadi kenyataan kalau Teni sudah mengajaknya pulang ke rumah begini. Yuda sangat kenal dengan Managernya itu.
Lana...
Baru saja selesai mencuci baju, sengaja menjemurnya di dalam rumah agar tak perlu repot memasuk dan keluarkan jemuran saat di siang hari harus bekerja.
"Lana? Lana?!"
Mendengar itu, Lana segera membuka pintu, tahu kalau itu adalah suara dari mbok Sri, "Ada apa, Mbok Sri? Lampu di kamar Mbok Sri padam lagi?" Lana kemarin baru menggantinya, kalau hanya mengganti lampu saja, hanya pekerjaan kecil dan bisa dilakukan oleh Lana. Dia bukan perempuan manja, keadaan membuatnya mendiri sebisa mungkin.
"Badanku endak enak, kayaknya masuk angin. Kerok-in, yo? Sama ... aku tidur sini boleh, to? Semalam saja." Mbok Sri benar-benar tak enak badan sejak tadi sore.
Lana tersenyum, "Endak apa-apa. Mari masuk, Mbok Sri." Segera mengajak mbok Sri ke ruang tengah, mengambil minyak kayu putih di kamar, menyalakan TV agar rumahnya tak sepi meski ada mbok Sri juga. "Ayo, Mbok Sri!" ajaknya agar mbok Sri segera membuka kebayanya.
"Pras kapan pulang?" mbok Sri sudah tengkurap, sesekali bersendawa mendapatkan kenyamanan dari kerokan di punggungnya. Mbok Sri hanya ber-kemben jarit saja saat ini.
"Sabtu, Mbok Sri. Mas Pras pulang dua minggu sekali, bareng sama kang Yuda."
Mbok Sri terkekeh, "Pras pemuda yang baik. Dia mau bertanggung jawab meski sulit. Kamu sendiri tahu, to? Keluarganya keras menentang hubungan kalian."
"Iya, Mbok Sri. Mas Pras memang kuekeh. Dulu aku juga melarangnya keluar dari rumah, tapi mas Pras tetap teguh. Cinta katanya." Lana tertawa. Kisah cintanya memang luar biasa.
Mbok Sri ikut tertawa, "Oiya, nanti aku ada tamu, dari desa seberang. Aku sudah mewanti-wanti siapa pun, kalau aku endak di rumah, yo ... berarti aku di sini. Kalau mereka nanti—" ke duanya diam, ketukan di pintu rumah Lana terdengar hingga ke ruang tengah, "sepertinya itu orangnya, Lana." Mbok Sri buru-buru bangun. Segera ke depan, membukakan pintu meski hanya memakai jarit sedada dan kebaya seadanya tanpa ditautkan kancingnya.
Lana mengekor, kawatir jika mbok Sri tak bisa membuka pintu yang sudah dia kunci dari dalam. Saat tamu itu terlihat, mbok Sri menyambutnya penuh tawa ramah, Lana segera ke dapur. Membuatkan minum untuk tamu itu dan mbok Sri juga. Gamang, Lana bingung antara ke luar atau tidak, pasalnya ... ah! Nyatanya dia tetap ke luar juga untuk mengantar minuman itu, "Silakan."
"Lana?"
Lana mengangguk saat namanya disebut. Tersenyum kecut meski bibirnya seolah tak mau.
Mbok Sri terkekeh, "Kenal, to? Ini putriku." Mbok Sri terkekeh lagi.
Tamu itu mengangguk, "Kenal, Mbok Sri. Ini kan pacarnya kang Pras, sepupuku."
Lana mengangguk lagi. Benar, itu memang Ari, sepupunya Pras. Masalahnya Lana tidak suka dengan Ari karena ikut mencemoohnya dulu saat dia dan Pras sedang memperjuangkan cintanya.
"Lana ini sudah nikah sama Pras, bukan pacaran lagi. Kamu sodara kok endak tahu." Mbok Sri mengambil lagi koin uang zaman dulu yang sempat dia jajar di meja tadi, menghitung kembali dengan hati-hati.
"Aku ke dalam dulu, Mbok Sri." Lana masuk setelah diangguki oleh mbok Sri.
Mbok Sri tersenyum, "Besok hari Rabu, pasaran Legi, ajak dia ke rumahmu, beri minum air rendaman bunga yang kamu bawa itu, dia tidak akan bisa tidur kalau endak dekat denganmu. Saat itulah ajak dia nikah. Hehehehe." Tak ada yang sulit di tangan mbok Sri.
Ari ikut terkekeh, "Kamu beneran mau ngajak dia nikah, to? Dia itu kan biduan kampung, saingannya sulit." Ari memang ke sini untuk mengantar temannya yang membutuhkan bantuan mbok Sri. Nama tetua itu sangat terkenal, hingga rumahnya yang ada di desa seberang, jauh ke sini untuk meminta pertolongan ke mbok Sri, dan malah menemukan harta karun di sini. "Lana sudah menikah berapa tahun, Mbok Sri? Kang Pras ke mana?" Ari jadi penasaran dengan kisah itu. Pras yang dari dulu hidup berkecukupan, sempat dia kira akan mati dengan cepat setelah memilih keluar tanpa membawa apa pun dari rumah besarnya dulu.
"Mau tau saja kamu." Mbok Sri tidak mau membahas hal yang bukan kepentingannya, "Sudah pulang saja. Ingat! Jangan mampir-mampir dan simpan bunga itu di almarimu, Tole." Mbok Sri mengantar tamunya ke luar, mengunci pintu rumah Lana kembali karena malam sudah semakin larut saja. "Kamu endak apa-apa, to?" mbok Sri jadi tak enak hati.
Lana tersenyum sambil menggeleng, "Mbok Sri ini bicara apa? Ayo tidur saja, Mbok. Besok Lana kerja lo?" Lana memberikan selimut ke mbok Sri, ikut tidur di ruang tengah karena yakin mbok Sri tidak akan mau diajak tidur di kamarnya.
***
Masih jam enam pagi, rumah besar dengan aroma masakan khas, telah kedatangan tamu. Si pemilik rumah yang semalam tidur dengan nyenyak, kini napasnya memburu mendengar berita yang akan membuat tak nafsu makan hingga nanti siang.
"Benar, Bude. Aku endak akan salah lihat, wong namanya juga sama, itu memang Lana, kekasih Pras, dan mereka sekarang sudah kawin." ya, itu adalah Ari. Entah apa untungnya menceritakan semua itu ke mamaknya Pras.
"Kamu ketemu sama Pras?" tanya mamak Pras sinis.
"Kalo ketemu memang mau diseret pulang opo?" bapaknya Pras ikut memberi suara.
Mamak Pras tak menoleh sedikit pun, "Seenggaknya kita bisa tahu, anak tak tahu diuntung itu masih bisa pamer gigi endak di depan Ari."
Ari menelan ludah, "Kang Pras sudah tidur, aku endak ketemu."
Mamak Pras pun berdecap, berdiri, melangkah meninggalkan ruang tamu.
Bapak Pras pun terkekeh, "Apa Lana bahagia?" tahu Ari mengangguk, bapak Pras pun melanjutkan ucapannya, "Kalau memang cinta, ya ... mau gimana lagi."
"Opo?!" bentak mamak Pras mendenger ucapan suaminya. Berjalan mendekat kembali, melempar kantong uang ke meja, "Buat saja Lana dan Pras endak betah di sana. Dengan begitu Pras akan pulang dan meninggalkan Lana sendirian. Perempuan hina itu endak pantas untuk putra kebangganku."
Ari terkekeh, tangannya segera mengambil kantong uang, "Siap, Bude. Cuma perkerjaan mudah. Aku akan membereskannya tak lebih dari tiga bulan."
"Tiga bulan?!" bentak mamak Pras lagi, "Kalau endak bisa selesai sebulan, kembalikan saja duitku itu, Ari. Endak berguna."
Ari menelan ludah lagi, budenya itu memang tak akan bisa dikelabui meski kelihaiannya bersilat lidah tidak diragukan. Nyatanya kalo melawan budenya, kalah juga.
