Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Nasi rames

***

Hari minggu yang berbeda. Lana baru saja bangun, semalam Pras melakukan sepuas yang Pras mau, membuat aroma percintaan di kamar ini begitu kental. Tubuhnya remuk, miliknya sedikit perih karena banyaknya gesekan di sela basah. Meski begitu Lana sangat senang dan juga puas. Menoleh ke Pras, kehausan semalam membuatnya lega, tak ada wanita lain di kota yang membuat Pras-nya berbeda, perlakukan sama itu menenangkan hati. Tersenyum, Lana mengusap lengan telanjang tak tertutup selimut, setelah puas dengan semua kelegaan, Lana turun dari ranjang dengan tubuh polos, ke kamar mandi, dia akan memasak makanan spesial untuk Pras.

Baru saja ke luar dari kamar mandi, Pras sudah tersenyum di depannya dengan celana pendek, "Mandi, Mas Pras. Aku punya ayam di kulkas, nanti diopor, yo?"

Pras terkekeh, mendekat ke Lana, memagut bibir itu sebentar, "Rasa pasta gigi. Hahahaha." Hadiah cubitan di pinggangnya membuatnya sangat bahagia. "Masaknya cepat, aku mau ngajak kamu ke pasar." Pras berlalu ke kamar mandi.

"Beli apa, to? Di rumah banyak makanan, ada tempe, ikan tongkol, aku belanja kamis kemarin, masih cukup."

Pras yang belum menutup pintu kamar mandi, kembali melongok ke luar, "Lah! Siapa yang ngajak belanja? Aku mau ngajak kamu jajan nanti. Sudah cepat masak, aku siap kamu harus selesai." Menutup pintu, suara Lana tak terlalu jelas, meski begitu Pras yakin hanya omelan tak jelas saja yang keluar dari bibir manis itu.

Pras baru masuk kamar, seprei sudah diganti, celana dan kaos, terlipat rapi di ranjang, ada celana dalam juga di atasnya. Senyumnya semakin lebar, Lana sangat sempurna sebagai teman hidup, entah apa yang membuat mamaknya tak suka dengan wanita secantik dan serajin Lana. Setelah bersisir dan memakai parfum walau hanya sedikit, Pras ke dapur, Lana masih sibuk di depan kompor, ada kopi di meja, Pras duduk, menyentuh kopi yang panasnya masih cukup, menyeruputnya, "Masih lama?" tanyanya yang tahu matahari sebentar lagi akan tinggi.

"Endak, tunggu tempenya matang. Ah! Ini sudah." Lana mengambil serok dan mengangkatnya, mencuci tangan, ikut duduk di depan Pras. Menunggu kejutan apa lagi yang akan dia dapat.

Pras tersenyum, "Kompornya sudah mati?" Lana yang mengangguk, Pras pun berdiri, mengulurkan tangannya ke Lana. Mengajak Lana ke tepi jalan untuk menunggu angkot, menyapa mbok Sri dan juga mamak Yuda, dua orang yang sangat baik dan berjasa selama dia baru saja mengajak Lana menetap di desa ini. "Ayo, Lana!" serunya saat angkot berhenti di depannya, mempersilakan Lana untuk naik lebih dulu.

Lana tersenyum sesampainya di pasar. Tak membeli apa-apa memang, baru saja turun, Pras langsung mengajaknya masuk ke warung nasi Rames, Lana memang ingin sekali makan masakan di sini, tidak menyangka kalau Pras mengingat keinginan konyol itu.

"Rames, bali telur, sama rempeyek udang yang besar di tengahnya. Aku makan ini di kota, aku ingat kamu, mangkanya tadi aku endak mau kamu ajak sarapan. Ayo makan!" Pras menyendok nasi yang ditambah dengan ayam berbumbu merah di piringnya, menyodorkan ke mulut Lana, "Hak!" dulu saat dia masih bekerja menjadi kuli bangunan pernah bercanda tentang nasi ini bersama Lana, sangat ingat hingga tak akan pernah dia lupa, selama dia punya uang Pras akan mengajak Lana makan makanan ini.

Lana membuka mulutnya, rasanya sesuai dengan apa yang dia pikirkan, lezat. Dia pun mengambil sendoknya sendiri, "Aku ... makan sendiri, Mas Pras. Malu." ucapnya pelan. Banyak pembeli di warung ini.

Pras terkekeh, membiarkan Lana melakukan apa yang dia suka. Setelahnya Pras pun mengajak Lana masuk pasar, berkeliling membeli kacang atom, kerupuk udang, dan satu hal yang Lana pasti suka, daster. "Kuning apa jingga?" tanya Pras saat Lana sibuk memilih warna biru atau ungu. Menurut Pras hanya dua warna yang dia sebut yang pantas untuk Lana-nya.

Lana menoleh dan tersenyum, "Jingga." Meninggalkan warna biru dan ungu yang dia pegang, dia suka apa pun pilihan Pras. Setelah tangan Pras terlihat penuh dengan beberapa kantong kresek, Lana pun menarik tangan Pras, "Sudah, Mas Pras. Hemat." Tahannya saat Pras terus saja melangkah.

Pras terkekeh, "Benar? Kamu endak pengen apa-apa lagi?"

"Endak. Capek kakiku jalan terus."

"Mau kugendong?"

Lana tertawa, "Endak malu opo sama ayam?"

Pras ikut tertawa. Menuruti Lana untuk pulang, naik angkot bersebelahan dengan banyak orang, tak masalah. Rasanya tetap saja, dunia masih miliknya berdua dengan Lana.

'Cuih!' Baru saja angkot yang dinaiki Pras dan Lana melaju semakin jauh dari pasar, Ari tidak sengaja melihat keduanya tertawa-tertiwi sepanjang dari pasar sampai naik angkot, "Mamak harus tahu ini." lirihnya segera naik ke sepeda motornya. Untung saja dia ke pasar tadi, meski belum mendapat ayam jago yang dicarinya untuk diadu, apa yang dia lihat lebih bernilai tinggi, lumayan untuk mengganti uang rokok kalau dia menceritakannya ke mamak Pras setelah ini.

"Kamu itu loh! Pinterrrrr apa goblok!" olok mamak Pras. Banyak pekerja yang mitili jagung di depannya, tak membuatnya bertutur lebih rendah. Apa yang dibawa oleh Ari malah membuatnya ingin makan orang saja rasanya. "Aku sudah bilang, Pras itu endak mungkin ingat Mamaknya. Lana itu memang perempuan kurang ajar, endak usah kamu cerita yang begini yang begitu, aku kan memberimu waktu satu bulan, to? Sudah lima hari, aku menghitungnya, kalau endak juga kamu beri aku berita yang lebih bagus dari ini, yo endak usah ke sini lagi." Mamak Pras rasanya ingin memukuli Ari, membayangkan putranya mengajak perempuan miskin itu ke pasar membeli banyak barang dari uang Pras banting tulang sambil tertawa, seolah wajahnya ini dilempar tai oleh putranya sendiri.

Ari menelan ludah, "Tahu, Mak. Tapi kan yo apa-apa butuh bengsin, to?"

"Bengsin katamu?! La duit yang kuberi kemarin? Jangan minum-minuman saja, to? Kerja!"

"Lah! Mamak ini lupa. La wong duitnya buat beli ceriping gitu, loh. Aku—" bibirnya segera diam, berganti dengan tersenyum semringah setelah sekantong uang terlempar di depannya.

"Aku cuma memberimu waktu satu bulan, kucatat sudah lima hari kamu buang sia-sia. Kalau satu bulan endak selesai juga, Pras endak kembali ke rumah ini, sepedamu itu kuambil meski sering mogok begitu, ngerti!" bentak mamak Pras.

"Iyo, Mak. Aku berangkat dulu." Ari segera pergi, dia akan bergerak cepat dari pada kaki satu-satunya yang bisa membawanya berlari cepat ini diminta oleh mamak Pras. Ingat punya teman yang bisa diandalkan, Ari pun ke sana, melupakan ayam jago yang harusnya dia dapat untuk diadu besok. Untung temannya itu di rumah, sama nganggurnya seperti dirinya ini, membuat Ari tak perlu kesusahan saat membutuhkan bantuan temannya. "Ini bayarannya mahal, kamu bisa beli joran yang bagus kalau sudah selesai. Joran yang kayak di TV-TV itu." rayunya ke temannya itu.

"Kamu punya ide opo? Memangnya bikin orang pisah itu mudah?" ragu teman Ari.

"Aku punya ide bagus, tapi yo endak bisa jalan sendiri, mangkanya ngajak kamu."

"Hmmm. Yo wes. Kapan memang?"

Ari tertawa, jalannya semakin lebar, "Mulai besok ikut aku. Kalau waktunya pas, kita langsung kerja, jadi aku endak usah repot-repot nyari kamu, gimana?"

Teman Ari pun mengangguk, "Pokoknya duitnya beres."

"Siap! Besok pagi aku ke sini, kamu harus sudah siap lo, yo?" setelah temannya mengangguk, Ari pun berpamit pulang. Menyiapkan apa yang dia butuhkan untuk aksinya besok.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel