Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 5 Nasehat Nadya

Malam merambat pelan. Langit Jakarta mendung, dan Vira menatap kosong ke jendela taksi yang membawanya entah ke mana. Ia hanya ingin menjauh. Dari Dirga. Dari omong kosong tentang cinta. Dari luka yang ia pikir telah berubah jadi kebahagiaan.

Ponselnya berdering.

Satu pesan masuk dari nomor pribadi, tapi ia tahu betul siapa pengirimnya. Tangannya gemetar saat membuka isi pesan itu.

Video berdurasi 42 detik.

Jantung Vira seperti diremas. Jemarinya menekan play tanpa sadar, dan seketika itu pula napasnya tercekat.

Itu mereka. Malam itu. Di kamar penthouse. Tak ada yang vulgar, tapi cukup untuk menghancurkan hidupnya jika tersebar—wajahnya jelas, desahannya nyata, dan Dirga… menatapnya seperti ia satu-satunya hal yang ia punya.

Satu kalimat menyusul di bawah video:

> "Kalau kau tetap pergi, jangan salahkan aku kalau video ini tersebar ke media. Pilihannya sederhana: tinggal, atau hancur."

Taksi berhenti di pinggir jalan karena Vira berteriak histeris. Sopir panik, tapi Vira hanya menutup wajah dengan kedua tangannya, tubuhnya terguncang.

Beberapa jam kemudian…

Pintu besar mansion di kawasan Puncak terbuka pelan. Vira masuk dengan langkah lesu, wajah pucat, mata bengkak. Pelayan menyambutnya tanpa banyak bicara, seolah sudah diberi perintah untuk tidak bertanya apa-apa.

Koper kecilnya diseret ke kamar di lantai dua. Mewah. Luas. Tapi dingin. Tak berjiwa.

Vira berdiri di tengah ruangan, memandangi refleksi dirinya di cermin besar yang tergantung di dinding. Rambut acak-acakan. Wajah tanpa rias. Tapi yang paling menyakitkan adalah sorot matanya: kosong.

Suara ketukan pelan terdengar.

Vira membuka pintu, dan Dirga berdiri di sana. Rapi. Dingin. Tatapannya tak meminta maaf. Ia masuk tanpa diundang.

“Aku sudah menyiapkan semuanya. Tidak ada media, tidak ada gangguan. Rumah ini hanya untukmu,” ucapnya tenang.

Vira menatapnya lama. “Kau sudah menang, Dirga. Puas?”

“Aku tidak mau kau pergi.”

“Kau tidak mau aku pergi, atau kau tidak mau kehilangan kendali?”

Dirga menatapnya, rahangnya menegang. “Aku tidak terbiasa kehilangan sesuatu yang sudah menjadi milikku.”

Vira tertawa getir. “Dan kau menyebut itu cinta.”

Ia berbalik, melangkah ke dalam kamar dan menutup pintu keras-keras. Dirga tak menghentikannya. Tak mencoba mengejar. Karena ia tahu, kali ini Vira bukan tinggal karena cinta. Tapi karena ancaman. Karena kekalahan.

Dan di dalam kamar mewah itu, Vira bersandar pada pintu yang dingin… menangis dalam diam. Bukan karena kalah, tapi karena ia membenci dirinya sendiri yang masih—walau setitik—mencintai pria itu.

Malam belum benar-benar larut saat mobil hitam berlapis kaca gelap meluncur mulus di jalanan ibu kota. Dirga duduk di kursi belakang, jasnya masih rapi, dasi sedikit longgar. Tangan kirinya menggenggam ponsel, tapi pandangannya menatap kosong ke luar jendela.

Sopir pribadi meliriknya lewat kaca spion, tapi tak berani bicara. Ia tahu betul suasana hati Tuan Dirga tidak pernah bisa ditebak, terlebih setelah kabar tentang kepindahan salah satu perempuan yang akhir-akhir ini kerap bersamanya.

Mansion lama itu masih berdiri megah. Gerbang terbuka otomatis saat mobil mendekat. Lampu-lampu taman menyala temaram, menyambut kedatangan lelaki yang dulu sering pulang malam dan kini semakin jarang kembali.

Begitu mobil berhenti, Dirga turun tanpa berkata-kata. Langkahnya mantap menyusuri teras, lalu membuka pintu rumah dengan kode sidik jarinya.

Nadya sedang duduk di ruang tamu, dengan piyama satin berwarna gelap, wajahnya polos tanpa makeup, tapi sorot matanya tajam saat menatap suaminya.

“Kukira kau sudah pindah sepenuhnya ke kandang barumu,” sindir Nadya sambil menyilangkan kaki.

Dirga melepas jasnya, meletakkannya di sandaran sofa. “Aku tak datang untuk bertengkar.”

“Lucu. Kau mengancam perempuan yang kau akui cintai, lalu pulang ke istri yang tak lagi kau sentuh.” Nadya berdiri, mendekatinya. “Apa yang kau cari malam ini, Dirga? Simpati? Atau sekadar tempat berlindung dari perasaanmu sendiri?”

Dirga menatap istrinya dalam-dalam. “Kau masih istriku, Nadya.”

“Secara hukum, iya. Tapi kau sudah lama bukan suamiku.” Nadya menepuk dadanya sendiri. “Kau pikir aku tidak tahu soal video itu? Kau pikir aku tidak tahu apa yang kau lakukan pada perempuan itu hanya karena egomu terluka?”

Dirga menahan napas. Sekilas, ia tampak terpojok, tapi matanya tetap tenang. “Dia tidak akan pergi lagi. Itu cukup.”

Nadya tertawa kecil, getir. “Kau memang terbiasa membuat semua tunduk padamu. Tapi satu hari nanti, Dirga, yang kau buat tunduk… akan jadi orang yang menusuk mu paling dalam.”

Dirga menoleh, menatap foto keluarga yang masih tergantung di dinding. Ia tak menjawab, hanya menunduk sejenak. Ada lelah yang tak terucap.

“Kalau kau masih punya sedikit sisa manusia dalam dirimu,” lanjut Nadya dengan suara lebih pelan, “kau akan tahu, menang dengan cara menjatuhkan… bukan kemenangan sama sekali.”

Dirga melangkah menuju tangga. “Aku hanya ingin tidur malam ini.”

Nadya menatap punggungnya. “Tapi hatimu tak akan pernah benar-benar bisa istirahat, Dirga. Karena kau tahu… yang kau lakukan pada Vira, hanya akan menghantui sisanya.”

Dan malam pun meresap ke sudut-sudut mansion tua itu, menyimpan diam dari dua orang yang dulu saling mencintai, tapi kini hanya terhubung lewat luka… dan rahasia.

Nadya berdiri lama di kaki tangga, memandangi punggung Dirga yang perlahan menghilang di ujung anak tangga menuju kamar mereka—kamar yang kini lebih sering kosong daripada terisi cinta.

Ia menggigit bibir bawahnya, menahan emosi yang sejak tadi mendesak di dada. Matanya memerah, tapi tak ada air mata yang jatuh. Ia terlalu lelah untuk menangis, terlalu sering kecewa untuk masih berharap sesuatu dari lelaki itu.

Suara pintu kamar di atas menutup pelan. Nadya menarik napas panjang, lalu berjalan perlahan kembali ke ruang tamu. Ia duduk di sofa, meraih secangkir teh yang sudah dingin. Jari-jarinya gemetar saat menggenggam cangkir, tapi ia tetap meneguknya, seolah itu bisa menahan amarah yang meletup-letup dalam diam.

Ia mengalihkan pandangan ke foto pernikahannya dengan Dirga. Mereka tersenyum di sana—tulus, muda, penuh harapan. Nadya mengulurkan tangan, menyentuh bingkai foto itu dengan hati-hati, seolah menyentuh sesuatu yang nyaris tak nyata.

“Dirga,” bisiknya pelan, sendu. “Apa aku benar-benar sudah tak cukup?”

Ia memejamkan mata, mencoba menenangkan hatinya sendiri. Sudah berapa kali ia memaafkan? Sudah berapa kali ia memilih bertahan saat perempuan lain mungkin sudah pergi? Tapi ia tetap di sini—bukan karena ia lemah, tapi karena ia mencintai terlalu dalam. Dan mungkin… terlalu bodoh.

Langkahnya membawa dia ke kamar tamu di lantai bawah. Ia tak ingin tidur di ranjang yang sama malam ini. Ia tahu, meski tubuh Dirga pulang, hatinya masih tertinggal di tempat lain—di mansion yang lain, bersama perempuan lain.

Saat lampu kamar dimatikan, gelap menyelimuti tubuh Nadya yang berbaring diam di ranjang kecil. Ia memeluk selimut rapat-rapat, bukan karena dingin, tapi karena ingin merasa aman.

Ia tahu ia sedang hancur. Tapi ia juga tahu, ia belum selesai.

Dan di dalam diam, ia berdoa—bukan agar Dirga kembali mencintainya, tapi agar hatinya cukup kuat… untuk bertahan, atau akhirnya memilih melepaskan.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel