
Ringkasan
Istri Simpanan Tuan Dirga Cinta yang tak pernah diungkapkan, perasaan yang terpendam, dan dunia penuh intrik—Itulah yang harus dihadapi Vira, seorang wanita yang dipilih untuk menjadi istri simpanan Tuan Dirga, seorang pria kaya raya yang berkuasa. Menyadari bahwa ia hanya bagian dari permainan kekuasaan, Vira terjebak dalam dilema antara mengikuti kata hati atau melawan kenyataan yang semakin rumit. Tuan Dirga, yang dikenal dingin dan penuh rahasia, ternyata memiliki sisi gelap yang tak pernah terungkap, dan Vira harus belajar bertahan di tengah permainan yang melibatkan cinta, pengkhianatan, dan harga diri. Dapatkah Vira menemukan kebahagiaannya, atau akankah ia hancur dalam permainan yang tak pernah ia pilih? Temukan kisahnya di Istri Simpanan Tuan Dirga, sebuah perjalanan yang penuh gejolak emosi dan keputusan sulit yang mengguncang.
Bab 1 Perseteruan
Gedung pencakar langit itu berdiri angkuh di tengah hiruk-pikuk kota, memantulkan cahaya mentari pagi ke setiap sudut jendela kaca yang dingin, dan di sanalah Vira berdiri, menunduk dalam diam di hadapan meja resepsionis yang luas dan mewah, berusaha menyembunyikan kegugupannya dengan menggenggam erat tas selempang murah yang warnanya sudah mulai pudar.
“Nama?” tanya wanita berseragam biru tua dengan nada bosan, matanya bahkan tak menoleh dari layar komputer.
“Vira Alesya,” jawab Vira cepat, suaranya nyaris tenggelam oleh suara lift yang terbuka dan tertutup.
Wanita itu mengetik sebentar, lalu mendongak, kali ini memandang Vira dengan tatapan menilai. “Tujuan?”
“Saya diminta datang langsung oleh Pak Dirga.”
“Pak Dirga mana?” Nadanya berubah, sedikit lebih tajam.
Vira menelan ludah. “Dirga Mahendra.”
Wanita itu langsung diam sejenak, sebelum berdiri, memeriksa Vira dari ujung rambut ke ujung kaki, lalu mengangguk dan menghubungi seseorang lewat interkom. “Ada seorang wanita bernama Vira Alesya, katanya sudah ada janji dengan Pak Dirga Mahendra.”
Detik berikutnya, interkom berbunyi. Suara bariton terdengar jelas dari seberang. “Suruh naik. Langsung ke ruang saya.”
Resepsionis itu memutus sambungan dan menatap Vira dengan pandangan baru—campuran rasa ingin tahu dan sedikit hormat. “Lift ujung kanan, lantai tiga puluh dua. Langsung belok kiri, ada pintu hitam besar. Jangan mengetuk. Langsung masuk saja.”
“Terima kasih,” gumam Vira, melangkah cepat sambil menahan detak jantungnya yang seperti mau meledak.
Saat pintu lift terbuka dan menelannya masuk, Vira menatap bayangannya sendiri di cermin lift. “Apa yang kamu lakukan, Vir?” bisiknya pelan. “Jadi istri simpanan? Benar-benar sudah segila itu?”
Pintu terbuka. Lantai tiga puluh dua terasa senyap, terlalu tenang untuk sebuah kantor yang harusnya sibuk. Ia melangkah ke pintu hitam besar itu, menggenggam kenopnya, dan saat ia membukanya, aroma maskulin langsung menyergapnya—wangi kayu, tembakau, dan parfum mahal.
Dirga Mahendra berdiri membelakanginya, menatap jendela besar dengan pemandangan kota yang megah. Ia tidak menoleh saat berbicara.
“Kamu datang.”
“Ya,” jawab Vira pelan.
“Kamu tahu kenapa aku memilih kamu?”
“Tidak.”
“Aku tidak butuh wanita yang manja, atau berpura-pura lemah. Aku butuh seseorang yang tahu tempatnya, yang tidak akan menuntut lebih dari apa yang aku tawarkan.”
“Aku mengerti,” jawab Vira tegas, meski suara hatinya tidak setegas itu.
Akhirnya Dirga berbalik, matanya dingin, suaranya berat dan pelan. “Mulai hari ini, kamu tinggal di penthouse yang sudah aku siapkan. Jangan pernah muncul di kantor tanpa aku perintahkan. Dan satu hal, Vira…”
“Apa?”
“Jangan pernah mencintai aku.”
---
Kalau kamu mau lanjutan adegan ini atau ada gaya tertentu yang kamu mau pakai, tinggal bilang aja.
Langit sore mulai memerah saat Vira berdiri mematung di tengah ruangan luas yang terlalu mewah untuk disebut rumah. Langit-langit tinggi, lampu gantung kristal, sofa putih yang tampak seperti belum pernah diduduki, dan aroma kayu manis samar-samar menguar dari diffuser di sudut ruangan. Penthouse ini sunyi. Begitu hening sampai suara napasnya sendiri terdengar asing.
Ia melangkah pelan, menyusuri ruang demi ruang yang serba elegan. Tak ada satu pun foto. Tak ada jejak kehidupan. Hanya estetika mahal tanpa kehangatan. Lalu ponselnya berdering—nomor asing.
“Vira Alesya?” suara pria di seberang terdengar profesional.
“Ya, saya.”
“Saya Rizal, asisten pribadi Pak Dirga. Tugas saya mengatur kebutuhan Anda mulai sekarang.”
Vira mengangguk meski tak dilihat. “Baik.”
“Lemari pakaian Anda sudah terisi. Makanan akan dikirim tiga kali sehari. Jika Anda ingin keluar, informasikan ke saya terlebih dahulu.”
“Kalau saya tidak menghubungi?” Vira bertanya tanpa pikir panjang.
“Tak masalah. Tapi Pak Dirga akan tahu.”
Sambungan terputus. Vira mendesah. Ia berjalan menuju kamar tidur utama. Kasurnya besar, seprei putih bersih, dan di atasnya tergeletak sebuah kotak kecil dengan pita emas. Surat pendek diselipkan di atasnya, tulisan tangan pria itu—tegas, rapi, tidak sentimentil.
“Pakai ini saat makan malam. Aku akan datang jam delapan.”
Vira membuka kotak itu. Gaun merah marun berbahan satin halus terlipat sempurna. Ia menyentuhnya dengan ragu. Lalu menatap bayangannya di cermin besar di sudut kamar. Matanya tampak lelah, tapi ada ketegasan baru di sana. Ia tak lagi bertanya-tanya apa yang ia lakukan. Ia hanya ingin tahu, sejauh apa ia bisa bertahan.
Pukul delapan tepat, bel pintu berdenting. Vira turun dengan langkah tenang, mengenakan gaun itu, rambutnya diikat sederhana, wajahnya polos tanpa riasan mencolok. Ia membuka pintu.
Dirga berdiri di sana. Setelan hitam, rambutnya sedikit berantakan seperti terburu-buru, dan tatapannya tajam seperti biasa—namun kini menyiratkan sesuatu yang sulit ditebak. Ia menatap Vira lama, lalu masuk tanpa berkata apa-apa.
“Apa saya pantas memakai ini?” tanya Vira, mencoba membunuh sunyi.
Dirga duduk, menyilangkan kaki, dan menatapnya lurus. “Bukan soal pantas atau tidak. Tapi kamu harus mulai terbiasa dengan dunia yang tidak pernah memberi pilihan.”
“Lalu saya ini apa, Tuan?” Nadanya tenang tapi penuh tantangan.
“Kamu milik saya. Tapi kamu bukan siapa-siapa.”
Vira mengangguk. Tidak ada sakit. Tidak ada amarah. Hanya satu pertanyaan yang tertinggal dalam pikirannya—seberapa lama bisa bertahan tanpa kehilangan diri sendiri?
Dan Dirga menatapnya, lama. Seolah tahu bahwa wanita di hadapannya bukan sekadar simpanan. Tapi ancaman yang belum ia sadari sepenuhnya.
Malam itu makan malam disajikan tanpa suara—daging panggang sempurna di atas piring porselen mahal, red wine dalam gelas kristal, dan denting alat makan yang terdengar nyaring di antara diam mereka berdua. Vira duduk tegak, menjaga sikap, tangannya tetap tenang meski pikirannya terus menebak arah permainan pria di depannya.
Dirga menyuap potongan daging kecil, lalu meletakkan pisaunya perlahan. “Kamu tidak bertanya kenapa aku memilihmu?”
“Aku pikir jawabanmu tidak akan penting.”
Kening Dirga sedikit terangkat. “Berani juga kamu bicara begitu padaku.”
“Berani dan bodoh seringkali hanya beda tipis. Tapi aku sudah terlalu jauh untuk mundur, jadi aku pilih berani.”
Dia menyeringai kecil, bukan karena senang, tapi lebih karena terhibur. “Kamu bukan tipe yang mudah diatur, ternyata.”
“Aku akan menuruti aturanmu, asal kau tidak menyentuh harga diriku.”
“Sayangnya, kesepakatan ini tak pernah melibatkan harga diri.”
“Lalu yang kau beli hanya tubuhku?”
Dirga menatapnya tajam. “Aku membeli diam kamu. Tunduk kamu. Kepatuhan tanpa syarat.”
Vira meletakkan garpu. “Kau ingin boneka, bukan perempuan.”
“Boneka tidak membalas bicara,” gumam Dirga, lalu mengambil gelasnya. “Tapi kamu bukan pengecualian. Aku akan menjinakkan kamu dengan caraku sendiri.”
“Dan aku akan bertahan dengan caraku.”
Mereka saling menatap. Tidak ada cinta di meja itu. Hanya dua orang dewasa yang tahu bahwa permainan ini tidak adil, tapi tetap bermain karena mereka tak punya pilihan lain.
Kemudian Dirga berdiri. “Mulai besok, kamu akan menemaniku ke beberapa pertemuan bisnis. Kamu akan diperkenalkan sebagai asisten pribadi.”
“Dan semua orang akan percaya?”
“Mereka takkan berani bertanya. Lagipula, aku tidak peduli apa yang mereka pikirkan.”
“Kalau begitu, jangan pernah paksa aku berpura-pura jadi sesuatu yang bukan diriku.”
Dirga mendekat, berdiri tepat di samping kursinya. Tangannya menyentuh dagu Vira, mengangkatnya pelan. Matanya gelap, tajam, dan menyimpan sesuatu yang tak bisa dijelaskan.
“Kau pikir kau bisa mengatur cara mainku?”
“Aku hanya menetapkan batas.”
“Malam ini, batas itu tidak berlaku.” Suaranya turun satu oktaf, dingin.
Vira menarik napas, tetap menatap matanya. “Kalau kau paksa, kau akan kehilangan rasa hormatku. Dan setelah itu, tidak akan ada lagi yang bisa kau kendalikan dariku.”
Dirga terdiam. Tangan itu akhirnya lepas dari wajahnya. Ia berbalik, mengambil jasnya, lalu melangkah ke arah pintu.
“Kau menarik, Vira. Tapi terlalu banyak api bisa membakar dirimu sendiri.”
Vira berdiri. “Dan terlalu banyak kontrol bisa membuatmu kehilangan orang yang bisa jadi satu-satunya yang mau tinggal.”
Dirga menoleh sejenak, mata mereka terkunci. Lalu ia pergi, membiarkan pintu tertutup pelan di belakangnya.
Untuk pertama kalinya, Vira tahu—ia bukan hanya bagian dari permainan, tapi juga seseorang yang bisa mengubah alurnya.
