Bab 4 Penolakan Vira
Dirga tak berkata apa-apa lagi. Ia hanya menatap Vira, menunggu dengan sabar di hadapannya, masih dalam posisi berlutut. Jarinya terulur, menggenggam tangan Vira yang dingin dan gemetar. Tak ada tekanan, hanya kehangatan yang mengalir perlahan dari sentuhan itu.
“Aku tidak minta kau percaya hari ini juga,” ucapnya pelan, “tapi izinkan aku tetap ada di sisimu, bahkan ketika kau masih ragu.”
Vira mengalihkan pandangan, menatap jendela studio yang buram. Di luar sana, dunia mungkin masih berisik, masih menghakimi. Tapi di ruangan kecil itu, hanya ada mereka berdua—dan ketulusan yang terasa begitu asing tapi nyata.
“Aku takut, Dirga,” gumam Vira, nyaris tak terdengar. “Takut jadi alasan kau hancur. Takut melihatmu diseret media, dihina karena memilihku.”
Dirga mengangkat wajahnya, matanya tajam tapi hangat. “Yang paling aku takuti bukan kehilangan reputasi. Tapi kehilanganmu.”
“Dirga…”
Ia berdiri perlahan, lalu menarik Vira berdiri bersamanya. Tubuhnya mendekap tubuh perempuan itu, bukan dengan nafsu, bukan dengan ambisi, tapi dengan perasaan yang selama ini ia kubur dalam-dalam.
“Biarkan aku menebus semua keraguanku kemarin. Biarkan aku buktikan kalau perempuan yang selama ini kusembunyikan… justru satu-satunya yang bisa membuatku merasa hidup.”
Vira menunduk. Air mata jatuh, tapi ia tak menghapusnya. “Kau tahu aku rapuh, kan?”
“Dan aku tahu, justru dari perempuan yang rapuh, aku belajar jadi manusia.”
Pelukan itu makin erat. Dan saat Vira akhirnya membalas pelukan itu, tubuhnya tenggelam dalam dada Dirga, perasaannya tumpah ruah.
Untuk pertama kalinya sejak semuanya dimulai, mereka tidak bicara tentang status. Tidak tentang masa lalu. Tidak tentang dunia.
Mereka hanya diam. Tapi dalam diam itu, ada kata paling jujur yang akhirnya hadir: cinta.
Dan ketika Dirga mencium kening Vira—pelan, penuh ketulusan—ia tahu, ini bukan akhir. Ini baru awal dari perjuangan yang sebenarnya.
Ponsel Dirga berdering tiba-tiba. Suara tajam nada dering itu memecah keheningan studio. Vira refleks melepaskan pelukannya, menatap wajah Dirga yang tiba-tiba mengeras.
Layar ponselnya menyala terang. Tertera satu nama yang membuat udara di ruangan itu langsung terasa pengap.
Nadya – Istri
Dirga buru-buru mematikan suara dering. Tapi semuanya sudah terlanjur terlihat. Vira mematung.
“Kau masih… belum bicara padanya?” tanyanya pelan, meski ia sudah tahu jawabannya.
Dirga tak langsung menjawab. Ia menggenggam ponsel, berdiri, lalu melangkah ke sudut studio. Ia membelakangi Vira, mengangkat telepon, mencoba menjaga nada suaranya tetap tenang.
“Halo?”
“Dirga, kamu di mana?” suara Nadya terdengar dingin namun waspada.
“Aku… masih di kantor. Ada rapat lanjutan soal proyek kemarin.”
“Jangan bohong. Aku tahu kamu nggak di kantor. Sopir pribadi kita bilang kamu pergi sendiri pagi tadi.”
Dirga terdiam. Lalu dengan cepat membalas, “Aku butuh udara. Banyak tekanan. Aku hanya ingin sendiri.”
“Sendiri, atau bersama wanita itu yang masuk berita?”
“Nadya, tolong…”
“Kita akan bicara malam ini. Di rumah. Aku tunggu kamu.”
Sambungan terputus. Dirga memejamkan mata, menggenggam ponsel lebih erat, seolah bisa menekan kekacauan dari masuk lebih dalam ke hidupnya.
Saat ia membalikkan badan, Vira sudah berdiri tegak, tatapannya tajam tapi tidak marah. Lebih ke… kecewa.
“Kau bilang sudah memilih,” ucap Vira pelan.
“Aku sudah,” jawab Dirga cepat. “Tapi semua butuh waktu. Nadya—”
“Kau masih menyebut namanya seperti dia yang harus kau lindungi.”
Dirga mendekat, mencoba meraih tangan Vira. Tapi Vira menghindar.
“Jadi aku tetap bayangan, Dirga? Di depan publik kau bilang aku yang kau cintai, tapi di balik layar… kau tetap memohon pengertian dari istrimu?”
“Ini rumit.”
“Tidak. Ini sederhana,” potong Vira. “Kau hanya belum siap melepaskan hidup lamamu, tapi juga terlalu serakah untuk membiarkanku pergi.”
Dirga terdiam. Untuk pertama kalinya sejak mengenal Vira, ia tidak punya kalimat untuk membela diri.
“Aku akan keluar sebentar,” ujar Vira sambil mengambil tasnya. “Kau pikirkan baik-baik, Dirga. Karena kali ini, kalau aku pergi, aku tidak akan kembali.”
Ia berjalan ke pintu, membuka, lalu berhenti sesaat. “Cinta itu bukan pengakuan di media. Tapi keberanian untuk memilih satu hal dan bertahan di dalamnya, apapun risikonya.”
Pintu tertutup pelan.
Dan Dirga—yang biasanya selalu tahu apa langkah berikutnya—kali ini hanya bisa berdiri diam, dihantui bayangan kehilangan yang ia ciptakan sendiri.
Langkah Vira baru mencapai anak tangga pertama saat suara berat Dirga menghentikannya.
“Berhenti di situ, Vira.”
Suara itu tidak lagi penuh ketulusan. Tidak selembut tadi. Ada nada dingin… dan tajam.
Vira membeku. Ia membalikkan tubuh perlahan, menatap Dirga yang berdiri di ambang pintu studio, wajahnya tak lagi menunjukkan kelembutan kekasih. Kini, ia adalah sosok lelaki berkuasa, dengan ego yang selama ini hanya ia tunjukkan pada dunia luar.
“Kau pikir semudah itu meninggalkanku setelah semua yang kuberikan?” katanya datar. “Setelah nama dan reputasiku hancur karena pengakuan itu?”
Vira mengerutkan alis, perlahan menaiki kembali dua anak tangga, tapi tetap menjaga jarak. “Jadi sekarang aku beban reputasimu, Dirga?”
Dirga menyipitkan mata. “Bukan. Tapi jangan bersikap seolah kau punya kuasa untuk pergi begitu saja. Kau tahu siapa aku.”
“Dan aku juga tahu siapa aku,” balas Vira. “Aku bukan bonekamu, Dirga. Aku bukan pelarian saat pernikahanmu retak, lalu kau tinggalkan saat keadaan jadi rumit.”
Dirga melangkah maju. Tatapannya tajam. Dingin. Wajahnya mendekat, dan untuk sesaat, Vira bisa merasakan tekanan dari aura laki-laki yang biasa memimpin rapat besar dan memecat orang tanpa ragu.
“Kau tidak akan pergi, Vira. Bukan karena kau tak bisa, tapi karena aku tak akan membiarkanmu,” katanya pelan tapi mengancam. “Aku sudah mempertaruhkan terlalu banyak. Kau milikku sekarang.”
“Milikmu?” Vira mendesis. “Sejak kapan cinta berarti kepemilikan, Dirga? Ini bukan kontrak bisnis.”
Dirga mendekat lebih jauh, hingga wajah mereka hanya berjarak beberapa inci. “Kalau ini kontrak, kau sudah tanda tangan dari awal. Dengan tubuhmu. Dengan kehadiranmu. Dan sekarang kau mau berpura-pura lepas tangan?”
Vira menamparnya. Tepat. Cepat. Keras.
Dirga tak bergerak. Wajahnya tetap menatapnya lurus, tapi rahangnya mengeras.
“Kalau kau kira aku akan tunduk pada ancamanmu, maka kau tidak mengenalku sama sekali,” bisik Vira, matanya berkilat. “Aku mungkin jatuh cinta padamu, Dirga. Tapi aku tidak akan pernah tunduk pada lelaki yang membungkus egonya dan menyebutnya cinta.”
Vira turun dengan cepat, tak peduli lagi siapa yang melihatnya. Di belakangnya, Dirga berdiri membeku, pipinya masih panas oleh tamparan… tapi hatinya jauh lebih terbakar oleh sesuatu yang belum bisa ia akui: kehilangan.
