Bab 4. Surat Kontrak
“Jika menurutmu pernikahan ini hanya main-main dan Tuhan enggan menyaksikan karena tak suka akan caraku memaksamu, maka biar iblis yang jadi saksi. Kau milikku.” –Mike–
***
Angie tampak gelisah dan mondar mandir di kamar. Dia menggigiti jemari dan menyumpah serapahi tindakannya yang begitu bodoh hari ini. Bahkan mungkin sejak kemarin.
Mengapa dia begitu percaya pada sahabatnya dan setuju saja saat gadis itu mengajaknya ke kelab malam, tempat yang tak sekali pun pernah dia masuki dan akhirnya menjadi awal mula kesialan yang dia alami?
Apa itu bourbon, margarita, vodka? Dia sama sekali tak tahu nama-nama itu. Meski kemarin sudah menenggaknya sembarangan, tetapi andai bukan sahabatnya yang memaksa, dia tak akan pernah menyentuh minuman itu barang sedikit pun.
“Bodoh, bodoh, bodoh! Kau bodoh sekali, Ji!” Angie berulang kali memukul kepala dan kemudian mengempaskan tubuh di ranjang.
Ingatannya seketika melayang ke beberapa jam lalu di mana dirinya dan Mike telah membuat perjanjian konyol yang kini menjadikannya pusing tujuh keliling. Dia dan lelaki itu sebentar lagi akan menjadi sepasang suami istri.
Sulit dipercaya!
“Bagaimana kalau aku tidak mau menanda tanganinya? Aku masih berusia sembilan belas tahun dan baru saja merasakan kehidupan perkuliahan yang bebas dan pekerjaan yang bagus. Aku tidak mau menjadi boneka seseorang.”
Kala itu, Angie berusaha meyakinkan Mike bahwa hidup dengannya akan sangat merepotkan.
“Diam! Jika kau tidak mau menanda tanganinya, aku bisa menembakmu saat ini juga dan membuang mayatmu ke laut.” Mike memberi isyarat ke luar jendela, di mana laut luas layaknya samudra Hindia terbentang di bawah jembatan yang tengah mereka lewati. “Atau kau ingin aku mengikat lalu menenggelamkanmu ke sana? Itu pasti akan lebih menyenangkan.”
Seketika Angie bergidik menatap seringai Mike.
Bagaimana jika saat Mike menenggelamkannya, dia tidak langsung mati melainkan harus bertarung dulu dengan malaikat maut? Tercebur ke laut dan harus menyaksikan kematian secara perlahan pasti sangat menyiksa. Terlebih, Angie adalah seorang pengidap Talasofobia dan beberapa fobia lain—menghadapi ketakutannya sendiri adalah senjata pembunuh paling mengerikan baginya.
Sontak, ancaman Mike berhasil mempengaruhi Angie dan segera dia meraih pulpen untuk menandatangani berkas tersebut. Akan tetapi, gerakannya terhenti saat dirinya mengingat sesuatu.
“Aku akan tanda tangan jika boleh mengajukan syarat,” ucapnya kala itu.
“Kau adalah tawanan di sini, tak ada hak untukmu bicara.”
“Kalau begitu bunuh saja aku.”
Bodoh dan nekat. Angie menyesal telah mengatakan semua itu, karena Mike bukan orang yang akan bermain-main dengan perkataannya.
Mike segera memerintahkan sopir menepikan mobil, lalu meraih Angie untuk dia bawa keluar dan melakukan apa yang menjadi ancamannya. Angie memberontak, tetapi jelas dia kalah tenaga dibanding dirinya dengan tubuh tinggi tegap.
Satu lengan saja berhasil mengangkat Angie dan menaikkannya ke pembatas jembatan, tanpa kesulitan.
“Tidak, tidak ... jangan lakukan ini! Aku tidak serius mengatakannya, Tuan. Please … turunkan aku ....” Sekujur tubuh Angie bergetar hebat, bulu kuduknya meremang bahkan hingga ke lengan. Dia menutup mata, enggan melihat ke bawah. “Kumohon turunkan aku, Mike ....”
Kening Mike berkerut seketika. Bagaimana bisa gadis itu mengetahui namanya yang sama sekali belum pernah dia sebutkan sejak awal? Sebegitu terkenalkah dia di kalangan wanita? Bahkan gadis di kelab kemarin pun tahu siapa dirinya.
“Apakah kau berubah pikiran, hah?” tanya Mike dengan seringai iblis yang selalu berhasil membuat siapa pun yang melihat, memilih untuk tidak menatap wajahnya, atau lebih memilih menyerah. Menjadi budak pun mereka rela asalkan tidak menjadi bahan bulan-bulanan lelaki gila itu.
Angie mengangguk, tubuhnya kaku saking takut membayangkan jika bergerak sedikit saja, dia akan terjatuh dan menjadi santapan ikan-ikan di bawah sana.
“Well, aku suka pilihanmu. Jangan melawan lagi kalau kau masih sayang nyawamu.” Mike menurunkan Angie dan membiarkan tubuhnya tergolek di tanah.
Napas Angie tersengal. Membayangkan diri nyaris mati konyol, membuatnya tak berkutik dan membeku.
“Berjalanlah! Kutunggu di mobil,” ucap Mike kemudian melangkah meninggalkan Angie yang tak henti menyumpah serapahi tindakan lelaki maniak tak berperasaan. Belum menjadi istri saja, dia sudah layaknya mainan seru bagi lelaki itu. Apa jadinya nanti setelah mereka tinggal di satu rumah?
“Aku ti-tidak bisa berjalan, bajingan! Apakah matamu buta?” Angie memberi isyarat agar Mike membuka ikatan di tangan dan kakinya. Namun, karena lelaki itu bersikap tak acuh, dia bersiul supaya Mike berbalik. “Hey! Buka ikatanku dulu, brengsek!”
Mike berbalik, tetapi saat tiba di hadapan Angie, dia tidak membuka ikatan melainkan meraih tubuh gadis itu untuk dia bawa kembali ke mobil.
“Sekarang tanda tangani!” titah Mike saat tiba di mobil, kemudian melonggarkan dasi yang sejak tadi terasa mencekik. Angie masih membeku, air mata menetes di pipi membayangkan kehidupannya setelah ini.
“Aku ingin mengajukan syarat penting,” ujar Angie, setelah mengusap air mata. “Kumohon ....”
Mike mengangkat sebelah alis, tampak berpikir. Entah mendapat dorongan dari mana, dia akhirnya mengangguk. “Baiklah. Kau boleh mengutarakan keinginan, tetapi apakah akan kukabulkan atau tidak, terserah padaku.”
Meski sama halnya dengan berjudi—menang atau kalah, Angie tak akan pernah tahu, tetapi setidaknya dia mencoba memastikan keluarganya baik-baik saja.
“Pertama, kalian harus memberi jaminan keamanan bagi kakak dan ibuku, karena kehidupan kalian yang pasti memiliki banyak musuh tentu akan membahayakan mereka jika ada yang tahu tentang ini.”
“Oke. Mereka akan menerima perlindungan dari kami. Sudah?”
“Ada lagi. Setelah menikah, tidak akan ada kontak fisik,” imbuh Angie.
Kali ini Mike menggeleng. “Kau harus tahu beberapa hal yang membuatku memilihmu untuk menjadi pengantin tawananku. Satu, karena kau sudah tidur denganku.”
Mendengar pernyataan Mike, Angie mendengkus. “Kau ini lucu. Bukankah seharusnya aku yang meminta pertanggung jawaban untuk masalah itu? Aku masih virgin dan kau sudah mengambilnya.”
“Apa kau pikir hanya kau yang masih perawan sementara aku sudah tidak perjaka?” timpal Mike, yang membuat Angie mengatupkan bibir. Tawanya nyaris meledak. Lelaki seperti Mike tak pernah berurusan dengan perempuan sebelumnya? Sangat sulit dipercaya. “Sudah, cukup! Kau tidak boleh bicara sebelum aku selesai.”
Angie membiarkan lelaki yang mulai tantrum itu melanjutkan perkataan yang baginya penting. Akan tetapi bagi Angie, inti dari kesemuanya hanya satu: hidupnya pasti akan seperti di neraka setelah ini.
“Alasan kedua yang memperkuat alasan pertama adalah karena ayahku menginginkan keturunan dariku. Jadi kesimpulannya, aku tidak mengabulkan permintaanmu untuk tidak adanya kontak fisik,” lanjutnya.
Angie gelagapan, belum membaca apa saja yang tertera dalam surat, juga belum memahami apa yang sebenarnya menjadi alasan utama Mike memilihnya sejak semula. Baginya, ini semua adalah nasib buruk. Apakah ada hubungan dengan sahabatnya, ataukah memang dia hanya sedang tertimpa kesialan berkepanjangan?
Yang pasti, Angie tak punyai kesempatan dan pilihan ketika Mike lagi-lagi menodongkan benda kesayangannya agar Angie tak akan pernah berubah pikiran. Mimpi buruk akan dimulai, tepat setelah coretan terakhir jemarinya di atas kertas yang dia terima.
