Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 5. The Wedding Day

“Apakah ini mimpi? Setelah ini kita akan bersama di bawah satu atap. Lalu, apa yang harus kulakukan padamu?” –Mike–

***

Mike dan Angie tak membutuhkan waktu lama untuk mempertegas rencana pernikahan palsu mereka. Kedua keluarga sudah bertemu dan mudah pula bagi mereka untuk setuju karena tak butuh waktu penjajakan atau sejenisnya, mengingat tenggat waktu yang Mike berikan pada Angie adalah hanya terkait pernikahan.

Lelaki itu tak memberinya waktu berpikir bahkan untuk menolak, sehingga semua terjadi dengan mudah dan di sinilah dia berada—di sebuah ruang terpisah, dengan beberapa orang tengah menata busana dan riasan yang akan membuat keduanya menjadi pengantin paling cantik dan gagah seantero jagat.

“Dalam tradisi kami, pengantin harus tampak lebih dibanding tamu, bahkan pengiring. Pulaslah pemerah bibir yang berwarna tajam.” Melly, ibu Angie, meraih salah satu lipstick berwarna merah terang dan menyodorkan pada perias. “Ini. Warna ini pasti akan membuat Jiji-ku makin bersinar.”

“Maafkan kami, Nyonya. Sebaiknya Anda menunggu di luar agar kami bisa melakukan pekerjaan kami. Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh. Artinya kami sudah terlambat,” ujar sang perias tampak sedikit kesal. Angie yang sejak tadi pun merasa tak nyaman akan kehadiran sang ibu, memberi isyarat agar wanita itu tetap berada di area keluarga dan mempersiapkan diri.

Keluarga mereka percaya bahwa menemui pengantin saat dirias, akan membawa nasib buruk bagi pernikahan mereka. Mitos semacam itu yang dijadikan senjata ampuh oleh Angie, sehingga tak ada perdebatan di antara dirinya dan sang ibu.

Tak lama berselang, salah satu perias membuka pintu dan membiarkan Melly masuk untuk memeriksa putrinya. Dia terpana saat melihat Angie dengan riasan dan gaun pengantin berwarna dusty pink melekat pas di tubuh mungilnya.

Air mata Melly menetes dan hati-hati dia memeluk Angie. Pelukan terakhir dia berikan untuk putrinya sebelum berjalan menuju altar.

Angie menoleh pada kakak lelaki yang dia gamit lengannya, kini tengah menyunggingkan senyum haru, meski semula enggan mengiringi untuk dia serahkan pada lelaki lain.

Hanya Angie yang mereka punya dan kini akan menjadi milik seorang lelaki bermasalah yang dia masih ragukan karakternya, rasanya dia tak rela.

“Aku serahkan adikku padamu untuk kau jaga. Jangan sakiti dia, bahagiakan dia. Jika kulihat sedikit saja dia meneteskan air mata karenamu, tak peduli dari mana kau berasal, aku akan menghabisimu,” bisik Jimmy pada Mike yang hanya menanggapi dengan seringai sinis.

Dia tak peduli, juga tak gentar dengan ancaman semacam itu, karena yang selama ini dia hadapi jauh lebih mengerikan. Dia pernah nyaris mati karena tusukan samurai menembus perutnya ketika berhadapan dengan salah satu anggota Yakuza. Namun, nyatanya dia masih hidup hingga sekarang. Jadi, orang semacam Jimmy, tak akan membuatnya bergidik.

Prosesi pernikahan berjalan lancar. Kini saatnya mereka mengucap ikrar. Seketika itu, tatapan mata Angie tertuju pada Mike yang tampak tak acuh. Bagi lelaki itu, yang mereka lakukan sekarang hanyalah sesuatu yang tak berarti, tetapi tidak bagi Angie yang menganggap ritual pernikahan adalah sebuah prosesi sakral.

Tangan Angie bergetar saat memegang pengeras suara dan membaca kalimat indah tertulis di kertas yang dia bawa. Dia menulisnya sendiri sejak lama. Kala itu, hatinya berbunga dan berkhayal bahwa semua yang dia tulis adalah ikrar antara dirinya dan lelaki pujaan hatinya nanti.

Sayang sekali, kenyataan terlampau jauh berbeda dengan harapan.

Lidah Angie terasa kelu dan ketika membuka mulut untuk mengucapkan ikrar, seluruh hatinya seolah turut melebur bersama janji yang terucap.

“Aku, Angelica Zenetta Reviera, menerima Michael Albertio Genosie sebagai suamiku, untuk saling mendukung, saling menerima, dalam suka dan duka, sakit dan sehat, dalam cinta dan kasih, tak akan pernah berpisah, dan akan selalu menyerahkan hati, sehidup dan semati, sampai maut yang akan memisahkan.”

Kalimat itu terlalu berat bagi Angie, sehingga setelah ucapannya terhenti, dia limbung dan tak sadarkan diri.

***

“Jiji? Apakah kau baik-baik saja? Bagaimana perasaanmu?” tanya seorang wanita, tampak samar di mata Angie yang baru saja sadar setelah pingsan di altar. Dia tak sempat mendengar ikrar Mike untuknya. Lagi pula itu tak penting. Mereka bukanlah sepasang kekasih yang menikah karena saling mencinta.

“Di mana aku? Apa yang terjadi?”

“Kau pingsan, Sayang. Dokter sudah memeriksa dan mengatakan kalau kau stres dan kelelahan. Setelah ini, tak perlu ada bulan madu terlebih dahulu, karena kau harus beristirahat,” timpal sang ibu mertua, yang dengan perasaan cemas, menunggu Angie sadar.

Angie memegang kening yang berdenyut. Dia pasti sangat merepotkan sampai semua orang khawatir. Namun, tak terlihat keberadaan Mike di ruangan itu sejak tadi.

Apakah acara sudah selesai?

Angie bangkit perlahan dan dengan tubuh lemah yang dipaksakan, dia ayunkan langkah menuju ke balkon.

Tak ada yang mencegah apa yang ingin dia lakukan, dan ketika tiba, tak ada siapa pun di sana. Dia pejamkan mata dan menghirup udara sebanyak mungkin untuk mengisi paru-paru, sampai dia menyadari kehadiran seseorang.

“Kau sudah bangun rupanya. Merepotkan sekali,” gerutu lelaki yang dia kenal. Kalimat bernada sinis itu tak digubrisnya. Dia sedang malas berurusan dengan Mike atau siapa pun.

Baru beberapa hari bertemu dengan Mike dan itu pun bukan pertemuan intens, Angie merasa seluruh dunianya menjadi seperti benang kusut yang terisi hanya oleh lelaki itu.

Mengapa dia begitu bodoh menerima pernikahan itu? Bukankah lebih baik mati tenggelam dibanding harus hidup di bawah satu atap dengan bajingan seperti Mike?

“Sedang apa kau di sini?” tanya Angie, malas. “Aku tidak membutuhkan perhatianmu sehingga kau harus bersusah payah menungguku hingga sadar.”

Mike terkekeh sembari menggeleng, menghisap rokoknya dengan nikmat sebelum kemudian menjatuhkan benda itu untuk dia injak hingga lumat.

“Apakah kau lupa kalau ini juga kamarku?” Dia mengangkat tangan di mana telah melingkar sebuah cincin di jari manisnya. “Aku sekarang suamimu, Sayang. Jadi kita akan berada dalam satu kamar, satu ranjang ....” Mike melangkah mengikis jarak, sehingga Angie berjalan mundur dan ketika mereka begitu dekat, dia meraih pinggang gadis yang telah resmi menjadi istrinya. “Satu selimut ....”

Sialan!

Angie tak bisa bersikap tenang jika seperti ini keadaannya. Aroma parfum bercampur feromon Mike, membuatnya gelisah dan salah tingkah. Jantungnya berdegup kencang seolah tengah berlompatan ke luar.

“Hey … apa yang kau pikirkan? Mengapa kau menggigit bibir seperti itu? Jangan katakan kau sedang membayangkan–”

“A-apa? Jangan sembarangan!” Angie mendorong Mike yang masih terkekeh. Dia menjauh, menuju ke sisi lain dan menyadari beberapa pria berpakaian hitam tengah berjaga.

Angie melongok ke bawah. Kepalanya berputar, tetapi dia sempat melihat kondisi yang tak jauh berbeda dengan yang ada di balkon—para pengawal berjaga dengan senjata di tangan.

“Apa yang terjadi, Mike? Mengapa mereka menyiapkan senjata seperti itu?” Angie menoleh pada Mike yang raut wajahnya berubah serius, hingga kemudian, suara letusan terdengar nyaring dan satu orang di balkon mengerang kesakitan sebelum akhirnya tersungkur di lantai.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel