Bab 3. Menikah atau Mati
“Cinta? Apa itu cinta? Yang kita butuhkan sekarang hanyalah kestabilan. Kau berdamai dengan ayahmu, sementara aku … sebuah kesempatan hidup—tak ingin mati konyol di tanganmu.” –Jiji–
***
Mike akhirnya membebaskan Angie tanpa syarat. Baginya, tak ada guna menyekap gadis tak menarik sepertinya. Dia bisa menemukan yang serupa gadis itu di jalanan, bahkan jauh lebih menarik dengan tubuh berisi dan tinggi besar, bukan mungil seperti tak punya daya.
Tidak keren bagi dirinya, yang akan menjadi pewaris organisasi, memiliki pendamping seorang perempuan tak berdaya. Pasti nanti akan sangat menyusahkan. Wanita yang akan menjadi istrinya haruslah seperti sang ibu, tinggi semampai dengan otot kokoh dan selalu membawa senjata ke mana pun pergi.
Di antara dirinya, sang ayah, dan ibu, hanya sang ibu yang tak membutuhkan pengawalan ke mana pun dia mau. Hal itulah yang membuat Mike begitu mengidolakannya.
“Tuan Muda, Tuan dan Nyonya menunggu Anda di ruang makan,” ujar seorang pria muda setelah mengetuk pintu. Mike menjawab panggilan itu dan bergegas turun untuk menikmati sarapan bersama.
Banyak orang mengira mereka adalah keluarga yang penuh ketegangan, karena demikianlah image yang telah dikenal semua kalangan masyarakat. Namun, semua itu hanyalah kedok demi segenggam hormat dari segelintir orang dan rasa takut dari lebih dari separuh penduduk dunia.
“Kulihat ada perempuan keluar dari kamarmu pagi tadi. Apakah dia kekasihmu?” tanya seorang wanita berambut merah dengan tatapan tajam, menyambut kedatangan Mike. Tampak jelas kalau tatapan khas mata elang Mike diwarisinya dari wanita itu.
Mendengar pertanyaan selugas itu, Mike nyaris tersedak. Namun, dia berusaha tenang agar kedua orang tuanya tidak curiga dan bertanya lebih lanjut.
“Kenapa kau tidak mengantarnya? Kau tahu, daerah sekitar sini tidak aman, akhir-akhir ini.”
“Dia tahu jalan pulang. Lagi pula, dia bukan siapa-siapa,” jawab Mike, tetap enggan mengangkat wajah dan menatap lawan bicara.
“Tapi dia mengenakan kemeja yang kubelikan. Apakah kalian telah melakukan sesuatu?” Wanita itu bertanya lagi. Dia tak akan berhenti sebelum mendapat kejelasan. Dia tak mudah percaya, karena ini kali pertama Mike membawa seorang wanita ke rumah mereka yang lantas keluar dengan mengenakan kemejanya.
Bukan hal baru jika kedua orang tua Mike mempertanyakan kejantanannya. Dia tak pernah terlihat menjalin hubungan dengan wanita meski hanya sekadar one night stand, apalagi berpacaran.
Mereka sudah mulai resah, terlebih Mike sekarang sudah hampir menginjak kepala tiga dan belum memiliki pandangan masa depan dengan seorang wanita. Pikirannya hanya seputar bisnis dan organisasi. Sangat berambisi mengelola perusahaan dan bisnis sang ayah, serta memegang kendali organisasi hitam mereka.
“Kalau pun iya, percayalah, itu hanya untuk bersenang-senang,” jawab Mike, asal. Mengatakan kalau tak terjadi apa-apa meski mereka berada di satu kamar, tentu akan sangat memalukan baginya. Ayah dan ibunya pasti akan semakin curiga dan meragukan ‘kenormalannya’.
“Mike, kau boleh melakukan kejahatan apa pun, tetapi tidak terhadap wanita,” timpal sang ayah yang sejak tadi hanya menyimak. Pria paruh baya yang tampak masih tegap itu meletakkan alat makannya dan memandangi Mike penuh perhatian. “Berapa usiamu sekarang?”
“Dua puluh sembilan. Kenapa? Apakah kau sudah siap memberikan kepemimpinan organisasi padaku?”
“Ya, seharusnya begitu, tapi, sekarang aku ragu—apakah kau ‘normal’?” ujar pria itu sembari tampak berpikir. Mendengar ucapan sang ayah, bola mata Mike nyaris mencelus. “Kau tidak pernah terlihat memiliki kekasih, Mike—ehm, seorang wanita yang bisa membuatmu bertekuk lutut—jatuh cinta. Yang kutahu, orang seperti kita akan menghabiskan malam dengan banyak wanita saat masih single.”
“Kita berurusan dengan dunia hitam. Mana mungkin bisa memikirkan untuk berpacaran, Pa. Bisa-bisa dia berada dalam bahaya dan pasti akan sangat merepotkan.”
“Nyatanya aku bisa menjalin hubungan dengan mamamu.”
“Tapi Mama pun adalah putri pimpinan organisasi. Yang benar saja, Pa.”
“Tetap saja, Mike. Kami ragu.”
Baik Mike maupun kedua orang tuanya tak melanjutkan percakapan, karena pernyataan yang barusan mereka dengar terlontar dari mulut tuan besar Genosie memang tak terbantahkan. Wajar jika sang ayah ragu dan meminta bukti.
“Apa yang bisa membuatmu percaya kalau aku lelaki tulen yang bisa menjadi kebanggaan dan bisa mengurus semua milik kita dengan baik?” tanya Mike, menantang sang ayah, padahal dia tahu kalau keinginan lelaki paruh baya itu hanya satu.
“Bawa seorang perempuan kemari dan nikahi. Setelah itu, berikan kami cucu, maka aku akan menyerahkan kepemimpinan organisasi dan bisnis ke tanganmu.”
***
Angie sudah menyelesaikan pekerjaan yang sengaja dia percepat, karena ada urusan penting yang harus dia urus. Dia ingin meminta kejelasan dari sang sahabat, mengapa dirinya sampai bisa berada di kamar salah seorang anggota penting organisasi hitam.
Akan tetapi, gadis yang sudah berteman dengannya sejak kecil itu justru berusaha menghindar dan tak ingin memberikan informasi lain. Angie tak puas dengan jawaban tak pasti yang diberikan oleh sang sahabat, lantas mengikuti langkahnya hingga tiba di lobi. Namun, baru akan meraih lengan gadis itu, seseorang menarik dan mengimpit Angie di sudut sebuah ruangan, membekap mulutnya, dan menodongkan senjata.
“Jangan berteriak atau aku akan menembakmu!” ancam lelaki yang tak lagi asing di mata Angie. Siapa lagi kalau bukan Mike?
Angie kesulitan menelan saliva, karena di saat yang sama terdengar suara ‘klik’ dari benda di tangan Mike, yang kemudian melepaskan bekapan saat Angie mengangguk dan memberi isyarat kalau dirinya akan patuh. Bagi Angie, lebih baik patuh sebentar saja, dari pada kehilangan nyawa dengan cara tragis di tangan bajingan gila seperti Mike.
“Kumohon jauhkan benda itu dariku.” Angie mendorong pistol dan berusaha menjauh, tetapi Mike tak biarkannya bebas. Apa lagi yang lelaki itu inginkan?
“Mengapa kita harus bertemu dengan cara seperti ini? Apakah kau tidak bisa bicara baik-baik, hah?”
Mike tak menjawab, melainkan merangkul leher Angie sangat erat sehingga dia kesulitan bernapas.
“Ikut aku!”
“Lepaskan, ini sakit, Tuan! Aku akan berteriak kalau kau terus bersikap kasar terhadapku.” Angie balas menggertak, tetapi rupanya langkah yang dia ambil salah besar. Lelaki itu merespon ancaman dengan mengangkat pistol agar tampak jelas baginya kalau dia tidak main-main. Jelas, jurus Mike sukses membuat Angie bungkam.
Setelah yakin kalau Angie tak akan melawan atau mencari gara-gara, dia membawanya keluar dari gedung kantor dan naik ke sebuah mobil yang tampak sudah menunggu sejak tadi.
“Apa yang akan kau lakukan terhadapku? Bukankah kau bilang tidak akan membunuhku asalkan aku tidak lagi muncul di hadapanmu? Mengapa justru kau sendiri yang melanggar perjanjian?”
“Tidak ada tertulis perjanjian apa pun, tapi kalau kau meminta, aku rencananya akan memberikan perjanjian lain untuk kau tanda tangani.”
“Aku tidak mau! Lepaskan aku! Tolooong!”
Mike kembali membekap sampai Angie nyaris kehabisan napas. Namun, tak ingin mati konyol, Angie lagi-lagi menyerah, menangkupkan tangan sebagai isyarat permohonan ampun pada lelaki sadis yang dia yakini memiliki niat buruk terhadapnya.
Mike tak cepat percaya. Dua kali sudah gadis itu berusaha menarik perhatian orang-orang. Untuk kali ini, dia tak akan biarkan, sehingga dengan sigap, dia meraih sebuah plester dan merekatkan di bibir serta pergelangan tangan Angie.
“Kau harus diam sampai urusan kita selesai. Paham?” Angie mengangguk dan hanya memperhatikan kala Mike mengeluarkan sebuah map berisikan beberapa lembar kertas di dalamnya.
Mike membuka map dan membiarkan Angie membaca sebentar apa yang tertulis di sana.
“Tanda tangani, lalu menikah denganku, atau mati. Pilihan di tanganmu.”
