Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 2. The Black Venom

“Apakah Tuhan ada dan mengatur hidup manusia? Jika iya, mungkin Dia sedang membercandaiku, sekarang, sehingga mempertemukanku dengan gadis aneh sepertimu.” –Michael Genosie (Mike)–

***

Setengah jam sudah Mike memandangi gadis teler di atas ranjang. Bayangan tentang malam panas yang berkesan rupanya tak akan pernah terjadi.

Gadis kelab tadi mengatakan kalau Angie, gadis yang ada bersamanya sekarang, masih ‘tersegel’. Dia yakin tak salah dengar. Seperti jackpot baginya, bukan? Namun, hal itu tetap tak berhasil memunculkan letupan hormon dalam dirinya.

Mike memandangi Angie dengan tatapan yang dirinya sendiri pun tak mampu pahami. Tangannya terulur, menyibak helaian rambut panjang yang menutupi wajah gadis itu.

Kulitnya seputih susu, dengan wajah tampak bersinar tersorot cahaya rembulan dari celah tirai. Pipinya kemerahan, makin merah karena efek alkohol, dan makin menarik jika dia perhatikan dari jarak sedekat itu.

“Bodoh! Apa yang kulakukan?” gumamnya, lantas menarik selimut menutupi wajah Angie dan bangkit, berjalan mondar-mandir sembari meremas jemarinya sendiri.

Bohong kalau dia mengatakan dirinya tak tergoda. Hanya saja, dari mana harus memulai? Memaksa? Bisa saja, toh gadis itu tidak akan merasakan apa-apa karena dirinya sedang tak sadar.

Tidak, tidak! Kasar terhadap wanita tak pernah ada dalam kamus Mike Genosie. Jika dia ingin melenyapkan seorang wanita, dia bisa lakukan hanya dengan satu jentikan jari—cukup memberi titah.

Mike melepaskan dasi dan kemeja yang sejak tadi serasa mencekik dan membuatnya merasa gerah, meraih sebotol vodka, dan menenggak tanpa aturan. Kalau mabuk, mungkin akan mudah, pikirnya.

Akan tetapi, setelah menghabiskan sebotol penuh dan kedua mata terasa sepat, percikan itu tak juga muncul. Dia sudah melucuti pakaian Angie, juga miliknya, tetapi yang dia lakukan selanjutnya hanya duduk di ranjang dan menatapi gadis yang bahkan tampak semakin lelap.

Apa yang biasa lelaki lakukan jika berada di posisinya sekarang? Mike sama sekali asing akan hal semacam itu. Berurusan dengan wanita saja tak pernah, meski sekadar bersalaman, apa lagi jika harus tidur dengan mereka.

Dia bangkit dan menilik ke luar jendela. Fajar sebentar lagi menyingsing. Suara bising trompet dan ledakan kembang api perlahan mereda. Malam kembali senyap menyisakan suara jangkrik dan katak sisa hujan sore tadi.

Tubuhnya penat, jujur saja. Namun, haruskah barang bagus itu dia anggurkan?

“Sialan! Apa yang kupikirkan tadi? Untuk apa membuang uang hanya demi sesuatu yang tidak berguna?” Dia mengomel, lantas menghempaskan tubuh di ranjang dan tak sadar terlelap setelah lama berpikir.

Tak ada malam panas, tak ada malam indah. Mike dan Angie lelap di atas ranjang yang sama. Meski tanpa busana, tak terjadi apa-apa selain hanya mimpi mereka yang indah di dunia yang berbeda.

***

Angie menggeliat, meregangkan otot-otot tubuh yang terasa kaku. Dia bergidik—suhu ruangan membuatnya membeku sehingga dia menarik selimut yang semula hanya menutup separuh tubuh.

Kepalanya terasa pengar. Pastilah sisa minuman yang dia tenggak tanpa aturan semalam.

Dia berusaha memperjelas penglihatan. Meski di ruangan remang-remang yang hanya tersorot secercah sinar dari luar, yang tentu saja menyulitkan baginya untuk mengenali, dia tahu kalau dirinya kini berada di tempat lain.

Jantungnya mendadak seperti akan longsor saat menyadari kalau dia tidak memakai apa pun kecuali selimut hangat yang menutupi tubuh polosnya saat ini.

“Good morning, gadis cantik dengan mata cemerlang. Terima kasih telah menemukanku yang sedang patah hati. Apakah kau ingin kubuatkan sarapan sebagai tanda terima kasih atas malam indah kita?” Suara igauan membuat Angie memasang status siaga.

Dia menoleh perlahan dan hati-hati, sebelum akhirnya terhenyak. Seorang lelaki tengah berbalik menghadap ke arahnya.

Asing, tak pernah dia lihat lelaki itu sebelumnya.

Refleks, Angie mendorong si lelaki hingga terguling jatuh dari ranjang. Mike, lelaki itu, bangkit gelagapan, tak sadar dia tidak memakai apa pun di tubuhnya.

“Laki-laki mesum! Apa yang kau lakukan? Pergi dari sini!”

Angie memukul Mike yang tanpa busana, dengan sebuah bantal, melupakan dirinya yang juga tidak mengenakan pakaian barang sehelai pun.

“Hey, hey! Apa yang kau lakukan? Berhenti!” Mike merebut benda dari tangan Angie yang mulai menggila, lalu melempar ke sembarang arah. Yang terpenting, gadis itu tak akan bisa menyerangnya lagi.

Mike dengan sigap membuka nakas dan meraih sebuah pistol, dia todongkan, dan sukses membuat gadis di hadapannya bungkam lantas mengangkat kedua tangan ke udara.

“Whoa! Tolong turunkan benda itu. Itu senjata api dan sangat berbahaya, Tuan.” Angie bergegas turun dari ranjang, meraih apa pun yang ada di dekatnya untuk dia kenakan kemudian kembali mengangkat tangan.

“Bagaimana kau bisa ada di sini? Dari kelompok mana kau datang? Siapa yang memerintahmu? Jawab!”

Sepertinya butuh waktu untuk membuat Mike sadar sepenuhnya kalau dirinyalah yang telah membawa Angie masuk ke dalam kamar serta bergelung satu selimut dengannya. Meski tidak melakukan apa-apa malam tadi, tak ada satu pun di antara mereka yakin dan mengingat detailnya. Terlebih Angie yang sudah tak sadarkan diri sejak semula akibat efek alkohol.

Seketika pertanyaan Mike membuat kepala Angie makin pening. Dia tak tahu kelompok apa yang lelaki itu maksud—berharap bisa mengingat satu saja potongan kejadian penting malam tadi yang akan menyelamatkannya dari lelaki itu.

“Jangan berlagak bodoh! Jika kau tidak menjawab, jangan salahkan kalau isi dalam pistol ini menembus kepalamu.”

“Tidak! Jangan lakukan itu, kumohon. Aku masih ingin hidup lebih lama, masih belum pernah merasakan cinta, belum pernah menjalin hubungan dan merasakan … berciuman.” Angie menghentikan ucapan dan kedua pipinya tampak memerah.

Keduanya terdiam, saling pandang untuk beberapa saat sebelum kemudian membuang muka ke arah berlawanan.

Mike, meski juga merasa salah tingkah, tetap memasang raut wajah sangar demi menjaga harga dirinya tetap di level yang aman. Agar gadis di hadapannya sedikit lebih hormat padanya.

Haruskah dia melenyapkan Angie untuk mencegah berita menyebar? Gadis itu tampak seperti perempuan yang suka menebar gosip, sementara Mike tak suka menjadi bahan pembicaraan.

Atas pertanyaan Angie, Mike tak merespon, melainkan mengikis jarak, membuat gadis itu mundur setiap satu langkah dia maju ke arahnya. Gadis itu mengerjap saat Mike berhasil menguncinya di dinding, sehingga tak lagi bisa berkutik, bahkan untuk sekadar menghirup oksigen.

“S-siapa pun kau, tolong biarkan aku pergi. Aku janji tidak akan mengatakan hal ini pada siapa pun. Aku juga tidak akan menuntutmu andaikan aku … hamil.”

Perkataan Angie sontak membuat tawa Mike pecah. Dia menilik gadis itu dari ujung kaki hingga rambut dan menodongkan pistol di tangan ke wajah mulus gadis di hadapannya.

“Apakah kau mengira itu akan terjadi? Kau mungkin akan hilang di telan bumi sebelum sempat meminta pertanggung jawabanku.”

“Aku akan lapor polisi sebelum kau sempat melenyapkanku.”

Mike tergelak lebih keras. “Polisi dari negara bagian mana yang menurutmu bisa menangkapku? Bahkan mayatmu pun tak akan pernah mereka temukan.”

“Cih! Sombong sekali! Memangnya kau siapa sampai bisa melakukan itu, hah?”

Mike tak menjawab melainkan menggerakkan dagu, menunjuk ke sudut ruangan di mana banyak gambar berpigura tergantung sebagai hiasan dinding. Satu gambar menarik perhatian Angie—sebuah lambang suatu organisasi yang, meski tak memahami artinya, tetapi Angie tahu betul kelompok macam apa itu, saking kondangnya di kalangan masyarakat sekitar.

Kelompok itu, adalah di mana dia bisa saja menjadi budak dan tawanan seumur hidup, atau berakhir hanya tinggal nama—The Black Venom.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel