Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Penampilan yang Berbeda

"Ada masalah?" tanyaku pada wanita yang tampak anggun di depanku.

"Tuan, izinkan saya kembali ke rumah sakit. Ibu saya pingsan."

"Apa?!"

"Saya mohon, Tuan."

"Hanya pingsan bukan? Coba kemarikan ponselnya." Kusodorkan tangan meminta benda pipih yang jadi penghubung Yumna dengan orang di ujung telepon.

Perempuan yang memakai pakaian syar'i itu memberikannya dengan ragu sampai aku harus menggerakkan tapak tangan.

Ini adalah acara penting mana bisa kubiarkan dia pergi, bahkan jika bumi terbelah.

"Hallo."

"Ya, hallo." Suara seorang perempuan terdengar di ujung telepon.

"Siapa dia?" tanyaku pada Yumna, dengan menjauhkan ponsel sejenak.

"Penjaga ibu saya."

"Eum." Aku manggut-manggut tanda mengerti.

"Bagaimana keadaan Ibunya Yumna?"

"Beliau pingsan Tuan, em tadi tetangganya menjenguk dan bilang Mbak Yumna terpaksa menjadi istri kedua demi pengobatan ibunya," terang orang di seberang sana.

"Apa?" tanyaku sambil mengurut pelipis. Ah, ini dilema. Kenapa di saat mati-matian Yumna menyembunyikan dari ibunya, malah ada orang lain yang dengan mudah membocorkannya?

"Apa kata dokter?" tanyaku lagi.

"Eum, sekarang masih diperiksa. Mungkin Mbak Yumna bisa kemari sebentar menunggui ibunya?"

"Oh, tidak bisa!" jawabku tegas.

Yumna menatapku dengan gelisah. "Apa katanya Tuan?"

Kumatikan panggilan dan berusaha tenang agar Yumna tidak semakin cemas dan memutuskan pergi.

"Tenanglah," sahutku.

"Apa saya boleh melihat ibu saya."

Aku menggeleng. Hingga tampak wajahnya sangat sedih.

Huft. Kenapa kali ini aku jadi kasihan. Padahal sedari awal aku suka melihat wajah kesalnya. Rasanya puas membalas Yumna dan merasa sedang melihat Bianca yang tengah menyesal jauh dariku.

"Pak!" seruku pada manajer perusahaan Angkasa Group yang berjalan di belakang kami agak berjauhan.

"Ya, Tuan." Pak Jim berjalan cepat mendekat.

"Periksa apa yang terjadi dengan ibunya Yumna di rumah sakit," titahku.

Tentu saja aku tak ingin kehilangan moment dan tender besar yang sudah kuincar. Yumna harus tetap di sampingku mengambil hati istri Presdir. Biarlah manajerku yang mengurus semua.

"Sekarang Tuan?"

"Nggak, besok saja. Sekarang lah!" Suaraku meninggi.

"Ba-baik Tuan!" Pak Jim menjawab mantap dengan wajah takut-takut. Hah! Lagian kenapa dia bertanya begitu? Sudah jelas ini keadaan darurat.

"Kamu lihat kan? Ibumu sudah mendapat perawatan terbaik dari dokter, kelas VVIP, dan sekarang pegawaiku sedang memeriksanya. Jadi kerjakan tugasmu, seperti yang kukatakan di malam pertama kita menjadi suami istri. Tahu konsekuensi saat kamu mengecewakan CEO Angkasa Group? Ibumu taruhannya."

"Eum. Ya, Tuan. Maafkan saya." Kini Yumna benar-benar ada di bawah kakiku. Dia kembali bicara dengan sopan. Meski ini berlawanan dengan hati nuraniku, tetap saja aku mengitimidasinya.

Kami akhirnya masuk ke dalam ruangan. Melanjutkan apa yang seharusnya dilakukan. Dengan bahasa Inggris yang lancar, kata-kata Yumna yang tertata dan senyumnya yang hangat, istri Presdir yang berdarah Kanada begitu menyukainya. Wanita paruh baya itu bahkan memujinya berkali-kali saat kami akan berpisah.

Hal itu tentu saja membuatku senang dan diam-diam mengaguminya. Apa kagum? Bukan, ini pasti sebuah perasaan bangga dan puas hingga secara impulsif hatiku mengapresiasinya.

____________

Aku tertegun sejenak saat memasuki lorong di mana meja Alina berada. Ada yang berbeda dari sekretaris itu kali ini. Wanita itu memakai pakaian benar-benar seksi, kemeja ketat dan rok mini membalut tubuh.

Aku bahkan sampai meneguk saliva. Ah, aku ini kenapa? Bukankah tidak sedang haus, apalagi hawanya terlalu pagi. Kukibaskan tangan agar menghilangkan panas yang kini menyerang.

"Pagi, Tuan." Perempuan cantik itu berdiri menyapa.

Kenapa aku tiba-tiba kangen pada Bianca. Apa ini efek terlalu lama tidak mendapat kasih sayang darinya? Itu kenapa aku merasa terpengaruh oleh keberadaan wanita ini?

"Hem," sahutku pura-pura tak terpengaruh pada penampilannya.

'Sabar Dev! Sabar!'

Aku telah menobatkan diriku sebagai pria tampan yang setia, mana mungkin akan tergoda?

Begitu masuk ruangan, kehadiran Liana mengejutkanku kali ini. Kenapa dia mengejarku?

"Boleh saya masuk?"

"Ya."

"Maaf jika saya lancang, Tuan." Perempuan seksi itu meletakkan sebuah amplop berwarna pink di atas mejaku, lantas pamit dan berbalik ke luar begitu saja.

"Ada apa dengannya? Aneh sekali sikap Alina hari ini," gumamku seraya meraih benda yang dia letakkan di depanku.

Berapa terkejutnya aku, apa maksud Alina dengan surat ini? Bukankah dia tahu kalau aku sudah menikah? Ah, Alina kamu salah. Kamu pasti hanya melihat penampilan luarku saja. Mana bisa kukabulkan permintaanmu?

Yah, walau aku sedikit kesepian. Apa sebaiknya kuiyakan saja kemauannya? Mengingat Bianca jauh, Yumna sok-sokan jual mahal dan sekarang ada gadis cantik dan seksi menginginkanku. Ck. Aku harus apa? Ini godaan berat untuk pria setia sepertiku.

______________

Melirik sekilas jam yang menempel di dinding kantor. Rupanya jam kantor telah berakhir.

Tak lama, tatapanku beralih ke suara yang berasal dari arah pintu. Rupanya Alina yang mengetuk.

"Ya, masuklah."

"Tuan belum pulang?" tanyanya sembari meletakkan sebuah kotak makanan.

"Ya, sebentar lagi," jawabku sambil meregangkan tubuh. "Ini apa?" tanyaku melihat sesuatu yang ditaruh di atas meja.

"Makanan Tuan. Saya lihat, Anda hanya makan siang sedikit tadi."

"Hem? Kamu melihatnya?"

"Ahm, ya kebetulan saya tadi juga makan siang di sana. Hanya saja tidak berani mengganggu." Perempuan itu bicara dengan sopan.

"Ouh." Aku manggut-manggut. "Oya, soal surat yang kamu serahkan." Kuambil surat milik Alina yang sudah kusimpan dalam laci dan menaruhnya di atas meja.

"Ya Tuan?" Dia tampak heran.

"Maaf, aku mencintai istriku. Kamu tau kan aku sudah beristri."

"Istri yang mana Tuan?" Alina tampaknya sangat penasaran, dari dua alisnya yang terangkat saat menatapku.

"Hah?" Ah ya, aku baru sadar, bahwa istriku ada dua. Yumna dan Bianca.

"Eum, tentu saja kamu tau." Aku enggan menyebut nama salah satu dari mereka. Meski kentara bahwa yang kucintai adalah Bianca.

"Apa Tuan ...." Ucapan Alina yang kecewa tergantung, saat seseorang datang tergesa di depan pintu.

Kami berdua pun menoleh ke asal suara. Dan Pak Jim sudah berdiri di sana.

"Ada apa?" tanyaku pada pria yang tampak khawatir itu.

"Eum. Kalau begitu saya permisi." Alina berpamitan. "Oya, ini laporan selama saya menemani Nyonya Bianca." Alina berpamitan sekalian meletakan sebuah map berisi laporannya mengawal Yumna selama ini seminggu terakhir.

Yumna meminta izin meneruskan kuliah, dan kini sudah kembali terdaftar sebagai mahasiswi tarbiyah di tempatnya dulu sempat terminal, ambil cuti atau malah berniat berhenti karena tak ada biaya. Bagiku itu tak masalah, asal dia bisa profesional mengerjakan tugasnya sebagai Nyonya Devian di sisiku.

Begitu Alina keluar, Pak Jim berjalan mendekat padaku. Benar-benar dekat, sampai aku harus menahan napas saat mencium bau keringat bercampur parfum yang dia gunakan.

"Ada apa? Kenapa Bapak terlihat takut begitu?"

"Bukan takut Tuan. Tapi ... Em, itu. Soal ibunya Nyonya Bianca."

"Ada apa dengan ibunya?"

"Saya mendapat laporan, bahwa seorang perawat menemukan ampul obat bius di kamarnya. Tapi pihak rumah sakit menutupi sembari menyelidikinya."

"Apa? Bagaimana bisa?" Tentu aku sangat terkejut.

"Saya tidak tahu, hanya saja orang suruhan saya melaporkan hal itu."

"Apa Yumna sudah melihat ibunya?"

Pak Jim menggeleng. "Bukankah Tuan melarangnya, dan belum memberi izin sampai sekarang." Pria itu mengucap lesu seolah sangat kasihan pada kondisi ibu dan anak itu.

"Ah, ya sudah. Tolong rapikan ini." Aku menunjuk berkas di meja yang masih berantakan.

"Apa harus saya Tuan?" Pak Jim memasang tampang melas. Yah, dia pasti lelah karena seharian ini banyak tugas yang kulimpahkan padanya.

"Lalu siapa? Saya?" Mataku melebar. "Yah, itung-itung olahraga." Aku tersenyum tipis sambil menepuk pundaknya.

Kudengar pria itu mengeluh pelan. "Nasib, jadi orang yang dipercaya, malah capek!"

Lagi, aku hanya bisa menanggapinya dengan senyum selagi tangan bergerak memakai jas yang berada di atas kursi.

_______________

Kuputuskan segera pergi memeriksa ibu Yumna di rumah sakit. Aku sangat khawatir. Yah, bukan karena perhatian pada gadis sombong itu, tapi khawatir pada posisiku sendiri. Karena kalau ibunya mati tak ada alasan untuk Yumna bertahan di sisiku.

Tapi apa iya begitu? Ah, entahlah. Rasanya tak ada alasan untuk seorang Devian perhatian pada perempuan sombong sepertinya.

Di dalam mobil kubuka map yang tadi Alina serahkan padaku. Di sana ada banyak foto-foto yang menunjukkan aktifitas Yumna selama berada di kampus. Dari saat dia duduk sendiri di taman, melapor bagian admin, belajar di kelas dan bicara di depan semua teman-temannya, juga saat dia makan. Semuanya tampak menarik, Yumna gadis dengan penampilan biasa, tapi kenapa bisa menghipnotis orang lain untuk berlama-lama memandangnya.

Ada apa denganku? Apa aku baru saja memuji kecantikannya? Bullshit!

Di foto terakhir, Yumna tengah serius membaca buku di perpustakaan. Namun, di foto lain dengan gambar yang nyaris sama, gadis itu tengah memerhatikan sosok seorang pria yang duduk tak jauh darinya. Lelaki yang tampak rapi, tenang dan ... tampan. Hei, siapa pria itu? Kenapa tatapan Yumna seperti itu? Apa dia menyukainya?

Refleks tangan kananku memegang dada kiri, ada yang teremas sakit di sini.

BersambungBersambungnku memegang dada kiri, ada yang teremas sakit di sini.

Bersambung

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel