Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Tamparan Kedua

Aku kira Yumna sejak awal sudah menyukai dan mengharapkanku. Sebab kalau dipikir, pernikahan ganda dalam agamanya, maksudku agamaku juga, adalah pernikahan halal, sah-sah saja. Jadi tak masalah dia menjadi yang kedua dan mencintai suaminya dengan sepenuh hati seperti di cerita-cerita viral, bagaimana pernikahan poligami perempuan-perempuan berhijab syari.

Kukira Yumna hanya jaim, dan merasa sombong saja. Ck aku terlalu percaya diri.

Apa mereka hanya pura-pura? Dan aslinya seperti

Yumna? Ah, kenapa aku jadi kesal? Merasa terlalu percaya diri. Lagipula mana mungkin, dia tertarik pada pria kasar sepertiku? Jelas saja mahasiswa di dalam foto ini adalah tipenya.

Sebentar, sebentar!

Ada apa denganmu Dev? Kamu cemburu?

Oh tidak! Itu tidak mungkin!

Pasti karena aku merasa kesal karena kegantenganku tidak bisa mempengaruhi hatinya, bukan karena aku diam-diam tanpa sadar menaruh hati padanya. Ya, pasti karena itu.

Karena itu juga aku suka sekali melihat wajah jengkelnya ketika aku menciumnya. Hahaha. Aku menikmati itu.

"Hahaha."

Tawaku rupanya membuat pergerakan orang yang sedang menyetir mobil. Pria itu menatapku dari kaca spion. Duh, apa aku disangka psikopat olehnya.

Kuhentikan tawa dan tersenyum manis pada sopir tersebut. Karenanya dia jadi manggut-manggut tak enak.

"Pak, agak cepat, ya. Saya sudah penasaran sama keadaan ibunya Yumna."

"Baik, Tuan."

"Oya, tolong jangan kasih tau dia kalau saya ke rumah sakit, jangan juga ngobrol dengan pelayan. Aku lihat dia akrab dengan pelayan-pelayan."

"Baik, Tuan. Em, maaf tapi kalau boleh tau maksud Tuan saya tidak boleh bicara pada siapa? Nyonya Bianca?"

"Bukan Nyonya Yumna."

"Hem?" Sopir itu tampak bingung. Menggaruk kepala yang tak gatal.

"Eum. Maksudku, iya. Nyonya Yumna." Heuh. Untuk sesat aku lupa, meminta semua orang memanggil Yumna sebagai Nyonya Bianca.

"Ya, Tuan. Baik. Maafkan saya."

"Kenapa Bapak minta maaf di saat tidak melakukan kesalahan?" Aku mendecih. Menyandar punggung ke kursi dan menatap ke luar jendela, sambil merapikan foto-foto dan laporan yang kudapat dari Alina mengenai Yumna.

Mobil akhirnya telah sampai ke rumah sakit. Begitu memasuki lobi, aku langsung mencari lift yang langsung membawaku ke ruangan VVIP.

Di depan kamar ibu Yumna, aku bertemu dengan penjaganya. Seorang perempuan, seusia Yumna. Dialah yang Yumna pilih untuk merawat ibunya di rumah sakit.

Aku bicara padanya sebentar, dan menekankan untuk tidak mengatakan apapun pada Yumna mengenai keadaan ibunya.

"Kamu tau sesuatu?"

"Maksud Tuan?" Gadis bernama Nadia itu tampak bingung.

"Sebab pingsannya ibu Yumna?"

"Karena syok, Tuan. Saya tidak tahu kenapa tetangga Yumna. Em, maksud saya Nyonya Yumna bicara tidak-tidak." Dia tampak khawatir.

Oh, berarti dia tak tahu isu ampul bius. Tapi baguslah. Dengan begitu, Nadia tak akan bicara pada Yumna dan membuatnya khawatir hingga tidak fokus menjalankan tugasnya sebagai Nyonya Bianca.

Aku pun masuk ke dalam, melihat keadaan ibu mertuaku itu. Sekilas tak ada masalah pada kondisinya, dia sedang tertidur pulas. Entah, karena efek koma dari pingsannya atau obat bius yang bekerja dalam tubuhnya.

Tapi, kadar obat bius apa yang bertahan begitu lama? Bukankah itu bahaya untuk organ dalamnya? Aku tak boleh tinggal diam untuk hal ini.

Selesai melihat kondisi ibu Yumna aku kembali memperingatkan Nadia agar tak bicara apa pun pada Yumna, bahwa CEO Angkasa Group mengunjungi ibunya.

_______________

Sampai di rumah, hari sudah malam. Aku tak melihat Yumna berkeliaran di dalam rumah. Saat kutanyakan pada kepala pelayan, wanita paruh baya itu bilang, tadinya Yumna memang menungguku.

"Sepertinya Nyonya Bianca ingin bicara sesuatu yang sangat penting, Tuan."

"Ingin bicara?"

Pelayan itu mengangguk.

"Beliau sampai mondar-mandir lama di depan kamarnya. Tapi mungkin sekarang sudah tidur."

Kuperhatikan angka di jam dinding. Benar saja sudah jam sebelas malam. Dia pasti kelelahan menungguku.

"Ya, sudah. Bibi istirahat saja. Besok juga dia pasti bicara."

"Baik. Terimakasih, Tuan." Wanita tua itu akhirnya berlalu dari hadapan.

Aku pun melangkah ke kamar melewati pintu Yumna yang tertutup rapat. Apa perlu aku mengetuk dan menenangkannya. Dia pasti ingin bicara soal ibunya.

Ah, aa peduliku? Biar saja Yumna tidur. Dia tak boleh kelelahan, ada banyak pertemuan yang menunggunya.

_____________

Sebelum sarapan Yumna memintaku bicara berdua. Tanpa banyak bicara, aku pun mengikuti langkahnya ke kamar. Dia pasti sudah penasaran apa yang terjadi dengan ibunya.

Setelah pintu tertutup, Yumna melayangkan tangan ke wajahku. Apa ini? Dia menamparku lagi. Apa dia tahu tentang ibunya yang dibius? Dan menyalahkanku, karena berpikir itu perbuatan kotorku agar aku bisa menahan Yumna di sisiku?

___________

Yumna mengayunkan tangan ke wajahku. Namun, dengan cepat kuraih tangan wanita itu hingga tak lagi menyentuh dan membuatku merasakan rasa sakit nyeri akibat sebuah tamparan.

"Apa ini?" Kutajamkan mata ke arah Yumna sembari mencengkeram kuat tangannya.

"Anda sudah kelewatan Tuan! Apa yang anda lakukan pada saya kemarin tidak ada dalam dialog. Dan bukankah Tuan janji tidak akan pernah menyentuh saya?!" Bisa kulihat dada wanita yang mnegenakan kerudung itu naik turun, merasakan sesak amarah yang tertahan dari semalam.

Ah, lagipula kenapa dia menahannya? Kan bisa saja saat tengah malam terbangun untuk pipis, datang ke kamar dan melanjutkan niatnya untuk marah.

Kukira dia bersikap begini karena tahu ibunya sedang dibius seseorang, tapi ternyata masih membahas masalah di lift. Ck. Pendendam sekali!

"Menyentuh apa? Aku hanya menciummu, itu pun tidak memakai emosi! Kenapa? Kamu terganggu?" Terang saja nada suaraku juga naik. Siapa yang tak emosi jika terus disalahkan, yah, walau aslinya memang salah.

"Tap-tapi ...." Yumna seperti mencari jawaban lain untuk membela diri.

"Dengar Yumna, aku lakukan itu agar semua tampak alami. Bukankah sejak awal kamu inginkan pernikahan kita tidak menyalahi syariat?" Kudului bicara. Agar ia tak punya kesempatan. Ah, Devian kamu lawan!

Wanita yang sudah bersuami tapi masih juga perawan itu terdiam, seolah tidak mengerti maksud dan arah pembicaraanku. Karena dia memang sepertinya tak mengerti kulanjutkan argumen untuk mematah kesombongannya saat bicara .

"Apa ... dalam Islam seorang suami mencium istrinya adalah hal yang salah?" Heh. Dia terpana. Pasti ucapan tuannya ini menohok.

"Apa dalam Islam seorang istri diperbolehkan melawan pada suaminya?" Lagi pertanyaan terlontar dari bibirku yang sebenarnya jarang sekali bicara kecuali untuk hal yang sangat penting.

Lihat saja, bahkan sekarang Yumna tak berkutik.

Kunaikkan satu sudut bibir dengan membuang pandangan. Meremehkannya. Tangan yang sebelumnya mencengkram lengan istri kedua saat akan memukul, kulempar kasar.

Aku merasa di atas angin.

Namun, aku lupa siapa wanita di hadapanku sekarang. Gadis sombong dan pandai bicara.

"Tapi sepertinya ada yang anda tidak tau Tuan." Untuk sejenak Yumna memang tak bisa berkutik, tapi setelah melihatku meremehkan. Otaknya seolah bekerja.

Mendengar ucapannya pandanganku menghunus pada perempuan itu.

"Apa Anda tau, bahwa dalam Islam bermesraan di depan umum itu adalah perbuatan yang sangat buruk? Menjatuhkan martabat karena seperti onggokan daging yang tak tau malu. Mencium seperti tadi, bisa menimbulkan prasangka di benak sekretaris anda dan memicu syahwatnya. Dia itu wanita lajang, jika menyalurkannya dengan cara haram, anda akan ikut kena dosanya begitu juga saya yang membiarkan."

"Hemh." Aku lagi-lagi tersenyum masam, berusaha bersikap tenang, meski ucapan Yumna telah mengiris harga diriku. "Omong kosong apa itu? Aku bukan ustaz, apa pentingnya memperhatikan hal sedetail itu?"

"Ini bukan soal ustaz atau bukan, tapi Anda beragama Islam ...."

"Sudah cukup! Sepertinya aku salah memilihmu. Kamu telah keluar dari batas yang kuinginkan," tekanku. Gadis itu membuatku marah. Tanpa mendengar penjelasan lebih lanjut, aku berbalik dan membanting pintu.

"Dasar pria tak berperasaan!" teriak Yumna mendengkus kesal.

Sepanjang jalan tanganku terkepal karena marah. Aku bahkan tak berselera untuk sarapan pagi ini.

Bayangan di depan klien semalam kembali terputar. Saat di mana aku melepas Yumna pergi.

Sambil berkata, "Kamu pulang, Sayang? Hati-hati di jalan." Kupeluk pinggang Yumna, menarik tubuh mungil wanita itu dan menciumnya.

Tidak ada yang bisa wanita itu perbuat, selain matanya melebar tak percaya. Kalau saja tidak ada orang lain di sana, ia pasti sudah melepas sepatu dan memukul kepalaku.

Setelah mengambil tas, langkahku terus berjalan ke luar. Tak peduli pada panggilan bibi yang mengingatkan untuk menyelesaikan sarapan.

_______

"Argh! Sial!" Kulempar tas kerja kasar ke atas meja kantor.

Suhu ruangan pemilik saham terbesar di perusahaan yang berAC ini, mendadak panas karena kemarahan yang kutahan sejak di rumah. Pria yang nampak sempurna di mata orang ini tidak akan membiarkan orang lain tahu bahwa Devian tengah emosi hanya karena urusan pribadiku dengan Yumna.

"Bukan ini yang kumau!" teriakku.

Sejak awal harusnya aku mencari tahu lebih dalam latar pendidikan gadis bernama Yumna. Dua minggu lalu, dari beberapa foto dan data pribadi, aku memilih perempuan yang memakai hijab itu lantaran terperangah beberapa saat.

Aku bahkan hampir tak berkedip, sempat mengira tengah melihat Bianca memakai penutup kepala. Hingga seorang pegawai mengejutkan

"Ada apa Tuan?"

"Oh, tidak." Kuletakkan tumpukan kertas di tangan, lalu menyerahkan foto Yumna pada pegawai. Rupanya gadis itu memberi kesan yang mendalam tanpa kusadari.

Ketukan pintu pelan membuyarkan bayangan saat pertama kali aku terhubung dengan Yumna.

"Apa ada masalah Tuan? Apa Nyonya membuat anda kesal?" Alina kini sudah berdiri di samping meja. Dia masuk tanpa mengetuk. Berani sekali?

"Itu bukan urusanmu, Alina." Aku yang tengah marah menjawab dingin, membuat wanita yang menjadi sekretarisku itu menunduk seketika. Apa dia mencoba mengambil kesempatan? Ah, saat marah begini aku jadi suka berpikiran buruk pada orang lain.

Langkah kaki mulus yang dibalut stoking dan mengenakan higth heels itu melangkah pergi. Baru empat langkah Alina berhenti karena aku memanggil namanya. Sontak ia berbalik menanggapi seruan bosnya ini.

"Tolong pesankan makanan untukku!"

"Baik."

Tanpa membuang waktu, Alina kembali ke meja kerjanya. Menghubungi restaurant untuk mengantar pesanan ke kantor.

Dia memang bisa diandalkan.

***

Alina kembali ke ruanga. Mengantarkan makanan yang telah ia pesan. Namun, saat akan pergi lagi-lagi aku menghentikannya. Karena merasa bersalah membentaknya tadi.

"Iya Tuan?"

"Em, maaf soal tadi. Aku sedang ada sedikit masalah."

"Iya, Tuan. Tidak masalah."

"Oya, apa tawaranmu bulan lalu masih berlaku?"

"Tawaran?"

"Hotel Sunrise. Pulau Dewata. Bukankah hari itu kamu bilang akan membuatku nyaman dan menghiburku di sana?"

Ya, saat aku terpuruk karena Bianca. Alina adalah satu-satunya wanita yang peduli dan menawarkan bantuan padaku.

"Ah, ya benar Tuan." Pipi wanita berpakaian rapi dan seksi itu bersemu. Dia tampak senang atas keputusanku. Alina pasti sudah tahu ke mana arah pembicaraan ini.

"Kamu tentukan waktunya." Aku mengucap datar sebelum melanjutkan kesibukan yang tertunda.

Kasihan juga dia, sudah lama berusaha menarik perhatianku. Ia bahkan tak segan-segan menyatakan cintanya kala aku merasa hancur lantaran Bianca yang memilih pergi ketimbang hidup bersama dan membantu bisnis.

Namun, karena prinsip dan perasaanku yang begitu kuat pada istriku, membuatku bertahan mengabaikan semua sikap Alina.

Hari ini aku bukan hanya merasa hancur, tapi juga marah. Marah pada keadaan yang menginjak harga diri. Sikap Yumna tadi pagi, membuatku muak menjaga perasaan wanita. Aku bahkan lupa bagaimana menerapkan prinsip yang selama ini kupegang. Walau aku tahu bahwa perselingkuhan adalah racun yang membinasakan. Seperti kedua orang tuaku yang bercerai karena perselingkuhan ayahku dengan teman kantornya.

Alina meninggalkan ruangan dengan malu-malu. Yah, nikmatilah itu. Sementara aku akan membuat Yumna makin kesal, benci dan jijik padaku.

***

"Oh, silakan."

***

Saat Yumna sedang menata makanan di atas meja bersama para pelayannya, Devian datang dengan membawa tas kerja di tangan kanannya. Lelaki itu berhenti sebentar memperhatikan wanita-wanita yang tengah sibuk, tapi matanya hanya fokus pada Yumna. Hatinya bertanya kenapa perempuan itu ikut sibuk? Tapi kemarahan membuatnya urung bertanya atau sekedar menyapa. Ia pun kembali berjalan menuju kamarnya.

Begitu pun Yumna, meski kehadiran Devian mengusiknya, perempuan itu memilih diam. Berpura-pura tidak melihat kedatangan sang suami. Hal itu membuat para pelayan menatap heran pada mereka.

"Dasar pria menyebalkan!" Yumna menggumam.

"Iya Non?" Pelayan merasa majikannya berkata sesuatu padanya tapi tidak jelas.

"Oh, nggak, Bi." Satu-satunya wanita yang menutup aurat di rumah itu menjawab cepat.

***

Baru akan mengenakan pakaian setelah mandi, ponselku berdering. Saat melihat ke layar. Panggilan itu datang dari orang tuaku yang menetap di Inggris.

"Hallo. Ya, Ma?!"

"Kami akan pulang, menagih janjimu untuk melihat mantu kami, Dev."

"Apa?!" Aku terkejut setengah mati.

"Apa gak nunggu waktu luang Dev saja, Ma? Dev janji akan membawanya berkunjung." Aku mencoba merayunya untuk menunda kunjungan

"Tidak perlu. Capek Dijanji terus! Sudah ya, mama cuma mau bilang itu saja."

"Tap ...." Belum lagi aku selesai bicara, sambungan telepon terputus.

His, Mama ada-ada saja. Bagaimana aku akan menghadapi mereka tanpa Bianca yang asli?

Mendadak hariku yang sempat bersinar karena akan ke Bali dengan Alina malah diliputi gelisah. Yang ada dalam pikiranku sekarang, aku harus dekat-dekat dengan Yumna selama ada Mama dan Papa.

"Sial, kenapa di saat seperti ini aku harus sekamar dengan wanita sok alim itu!"

BERSAMBUNG

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel