Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Aku Sudah Membelimu!

Saat mengobrol dengan klien-klien, Yumna datang bersama sekretarisku, Alina.

Gadis itu didandani dengan pakaian yang terlihat elegant meski menutup auratnya sempurna. Tentu saja harus elegan, karena dia menemui klien-klien perusahaan. Mereka adalah orang-orang dari kalangan atas.

"Hai, Sayang," sapaku menghambur ke arahnya. Kuberi ciuman cepat, membuktikan bahwa rumor Devian adalah suami pengkhianat adalah salah, istriku cuma satu dan dia adalah Bianca yang diganti sosoknya oleh Yumna.

Mata gadis itu melebar. Terkejut pasti. Bahkan tangannya terkepal meremas gamis yang dikenakan, sampai kugenggam agar dia paham posisiku.

"Oh so sweettt." Istri Mr. Karl memuji sikap romantisku pada Yumna.

"Kenalkan, ini Bianca, istri saya." Kuperkenalkan Yumna sebagai Bianca pada semua orang.

Yumna pasrah. Memperlihatkan senyumnya. Walau aku tahu senyum itu adalah sebuah keterpkasaan.

_______________

Saat aku, Yumna dan Liana berada di lift dan tak ada orang lain, Yumna mulai berani menampakkan kemarahan dan mengomel.

"Jangan menciumku!" Diremas bibirnya seolah menghilangkan bekas bibirku. Konyol sekali!

"Kenapa?" Aku tersenyum sinis malas menanggapi.

"Apa kamu tak tahu malu?!" teriaknya kemudian, karena merasa diremehkan karena responku.

"Apa?! Aku tak tahu malu? Yang benar saja," ucapku dingin.

"Aku sudah membayarmu, jadi kamu adalah milikku. Mau aku menciummu ataupun berbuat lebih dari itu, kamu tak berhak menolaknya," tekanku pada Yumna yang wajahnya tampak merah padam.

Alina hanya diam, berdiri di pojok lift dengan menatap ke arah lain. Ya, dia selalu tahu diri bagaimana harus bersikap.

"Ya aku tahu! Apa perlu Anda mengulangnya lagi dan lagi?!" Dia masih terus bicara.

Merasa muak, aku mendekat dan kembali mendaratkan ciuman untuk menutup mulutnya.

Sementara Alina jadi salah tingkah dan membalik badan melihat kami.

_________________

Dalam beberapa detik waktu menjeda, akhirnya Yumna mendorong tubuhku.

"Plak!"

Tamparan keras mendarat, hingga menyisakan rasa sakit menjalar di pipi. Alina bahkan sampai terlihat takut.

Kurang ajar! Gadis sombong itu berani memukul wajahku. Wajah tampan yang membuat banyak orang tertunduk dan hormat.

Rahangku mengeras, kutajamkan tatapan dengan tangan terkepal siap membalasnya. Namun, di saat yang sama pintu lift terbuka. Terakhir kali kulihat wajahnya masih merah padam. Sinis. Sebelum akhirnya suara yang berasal dari sepatunya terdengar ketika ia melangkah pergi meninggalkanku dengan kebencian.

Moodku ambyar. Ingin mencari pelampiasan atas rasa sakit hati ini. Namun, aku harus menjaga wibawa di depan semua orang terutama para pegawai. Benar-benar dilema.

_______

Sejak kejadian kemarin, aku terus saja dongkol pada Yumna. Ketertarikan yang sempat hadir karena kemiripannya dengan Bianca, lenyap seketika. Perempuan sombong itu tak pantas mendapatkan perlakuan baik dari seorang Devian apalagi perasaannya.

"Nak, kamu nggak papa kan?" Ibu Yumna memegangi tangan puterinya.

Setelah sekian waktu wanita itu akhirnya sadar juga, dan mulai menginterogasi kehidupan perempuan yang kunikahi. Aku belum menyentuhnya, dan ia masih gadis sampai detik ini. Mana bisa aku menyentuhnya selagi hatiku milik istri pertamaku, Bianca.

Yumna mengangguk menjawab pertanyaan ibunya. Seolah tak terjadi apapun dalam hidup yang dijalani. Padahal hari itu dia bilang menderita atas pernikahan kami, tapi ... kenapa di depan ibunya bilang bahwa dia baik-baik saja?

Apa karena dia berubah pikiran atas pernyataan sombongnya padaku, bahwa sumber kebahagiaan itu bukan harta. Melainkan keimanan yang disematkan dalam dada.

Bullshit!

Coba saja dia hidup dengan iman dan tanpa uang? Mana bisa? Nyatanya dia mau jadi jongos yang mau menikah dan jadi istri keduaku. Dia hidup dengan menjilat ludah sendiri. Dan saat semua itu aku katakan pada Yumna, dia terdiam.

Seseorang yang hidup dalam mimpi, kadang perlu disadarkan dengan kenyataan. Sok bijak dan banyak bicara. Tapi fakta mengatakan nasehat-nasehat indah dan surga tak bisa menghidupinya.

"Iya, Bu. Yumna nggak papa. Alhamdulillah Ibu akhirnya sadar." Perempuan berusia 21 tahun itu bicara sambil menangis.

Huft?! Kutatap arloji di pergelangan tangan kiri. Kenapa pula aku harus menyaksikan drama ini? Waktuku habis, aku harus bertemu clien di jam makan siang.

"Ehem." Aku berdehem memberi kode pada wanita yang telah kubeli itu.

Yumna terhenyak. Menatap sekilas padaku dan kembali bicara pada ibunya.

"Ohya, Bu. Ini suami Yumna. Namanya Mas Devian." Dia bangkit dan menunjuk padaku.

Aku tersenyum samar. Lebih pada senyum yang dipaksakan. Tak peduli reaksi wanita itu padaku.

"MaasyaAllah, dia suamimu?" Mata tua itu berkaca-kaca, yang kemudian dijawab anggukan kecil oleh Yumna.

Wanita itu memperhatikan dengan tersenyum yang makin lama semakin memudar. Seolah tak suka padaku. Ada apa? Apa ada yang salah dengan wajah tampan ini?

"Tapi ... kamu masih kuliah, Yumna. Kenapa menikah dengannya?" Matanya melebar. Menampakkan rasa tak sukanya pada keputusan Yumna.

Heuh. Kalau saja ibu tua itu tahu, bahwa tanpa menikah denganku, bisa jadi sekarang tubuhnya sudah beristirahat tenang di kuburan.

Ya, pernikahanku dan Yumna adalah pernikahan kontrak, sampai aku mendapatkan istri pertamaku kembali.

Yumna harus menurut semua kemauanku, karena tubuhnya adalah milikku. Aku membelinya dan dia bisa membayar biaya sakit ibunya.

Kalau kalian pikir, aku memaksa Yumna dan berkhianat pada istri pertamaku, kalian salah besar.

Aku menikahi Yumna bukan karena terobsesi hubungan ranjang, tapi semua terpaksa kulakukan demi permintaan Bianca. Dia memintaku menikahi Yumna dan memanfaatkan keadaan ibunya.

"Yumna bisa nyambi, Bu." Gadis itu coba memberi pengertian ibunya.

"Maaf kita harus pergi," ocehku mengingatkan pada Yumna agar meninggalkan ibunya.

Aku ada pertemuan dengan Presdir Handoko, dan lelaki itu memintaku membawa istri untuk menemani istrinya. Demi, tender Yumna harus ikut, tak peduli jika dia sangat merindukan ibunya sekarang.

___________________

Di dalam mobil yang dilajukan sedang oleh sopir kami, Yumna sekali pun tak menatap ke arahku. Aku tahu dia masih marah karena ciuman pertamanya yang kurenggut semalam. Ditambah kejadian di rumah sakit saat ia terpaksa ikut denganku meninggalkan ibunya.

"Jadi harusnya kamu sudah sadar, bahwa iman yang kamu bangga-banggakan itu, tak berguna di saat-saat seperti ini," ucapku dingin.

Sontak saja perempuan itu menoleh, menatap nyalang padaku.

"Kenapa? Kamu mau protes? Heh!" Aku tersenyum sinis. Muak saja rasanya, melihat gadis tersebut saat terlalu percaya diri hanya dengan modal imannya.

Apa dia pikir, aku bukan lelaki beriman? Hanya saja aku tak suka riya', eh iya bukan, sih, namanya riya'? Ah, entahlah pokoknya itu. Aku pria beriman yang tidak bersikap sok dan menyombongkan imanku di depan orang lain.

Buktinya aku masih perjaka sampai sekarang. Bahkan demi ingin tidur dengan Bianca aku pun menikahinya. Apa lagi kalau bukan karena iman?

Yumna tak bicara, tapi dia hanya geleng-geleng. Lalu memutar malas bola mata. Dengan mata berkaca-kaca tentunya. Dari sana aku tahu, meski meremehkan sekali sikapnya dia merasa tak bisa berbuat apapun lantaran tidak punya pilihan.

"Ah, sudahlah. Terserah!"

Apa peduliku? Pernikahan ini hanya sebuah transaksi yang harusnya sama-sama menguntungkan. Aku tak ingin melewati batas, mengurusi pribadinya hingga memberinya peluang melewati batasnya juga. Itu akan sangat mengganggu.

Mobil terus melaju. Suasana hening kembali menyelimuti kami. Sementara Yumna hanya terus memandang ke luar kaca jendela, aku sibuk membuka gadged. Melihat status dari akun-akun milik Bianca.

Ya, itu lah yang kulakukan selama ini demi mengobati kerinduanku padanya. Karena nomornya tak pernah bisa dihubungi. Aku terjebak dalam cintanya, hingga dia Bianca bisa berbuat semaunya sendiri. Menghubungi sesuka hati lalu mematikan ponselnya. Ah, aku lah lelaki terbodoh di dunia ini.

Meski kenyataannya hanya ada foto-foto lama tanpa ada update terbaru di akun Bianca. Mataku tetap saja ingin melihatnya. Ke mana kamu, Bi? Kenapa tak bilang agar aku bisa menyusulmu?

Huft! Aku meniup berat. Puas menscroll akun-akunya, perhatianku beralih ke file yang dikirimkan Alina dan manajer sekaligus. Memeriksanya sebagai bahan untuk menjelaskan pada klien kami yang sudah menunggu.

Sampai di sebuah hotel, mobil kami berbelok. Begitu turun dari mobil, Alina dan Pak Jim menyambut kami.

Sebagai pria yang tak mau wibawanya jatuh, kusodorkan tangan kanan. Bersandiwara di depan semua orang, selain Devian adalah pria hangat dan perhatian, bahwa kami adalah sepasang pengantin yang sangat bahagia.

Aku memicingkan mata sambil tersenyum ke arah Yumna yang melongo menatapku. Ish, dia benar-benar gadis tak peka! Awas saja kalau sampai menepis tanganku dan tak meraihnya!

Yumna celingukan, memperhatikan sekitar. Detik kemudian mendesah, lalu tampak dengan terpaksa meletakkan tangannya di atas tanganku. Kutarik perlahan.

Namun, sepertinya gamisnya yang serupa gaun menyulitkan Yumna bergerak, hingga dia kehilangan keseimbangan dan terhuyung ke arahku. Untung saja aku lekas menangkapnya hingga posisi perempuan itu menempel terbaring di lenganku.

"Hati-hati, Sayang," ucapku sambil tersenyum manis. Dia pasti tahu bahwa aku sedang berakting.

Ya ... aku sangat muak padanya. Kalau saja tidak di depan banyak orang sudah kubiarkan tubuhnya lolos, jatuh dan berbenturan dengan lantai. Itu pasti menyenangkan. Heh!

"Oh, so sweet." Suara seseorang dari kejauhan terdengar samar memuji kami.

Melihat kejadian ini, pasti akan banyak wanita yang iri dan ingin berada di posisi Yumna. Aku yakin itu.

Yumna mendesis. Tersenyum masam sebentar ke arahku. Lalu menggantinya dengan senyum manis begitu ia telah kembali berdiri dalam posisi yang kokoh.

"Mari Tuan Devian, Presdir sudah menunggu," ucap utusan klienku.

"Mari Nyonya Bianca, biar saya temani." Alina mengucap hormat pada Yumna. Namun, aku menyergahnya.

"Tidak perlu Alina, biar aku sendiri yang membawanya."

"Ehm. Ya." Mendadak wajah sekretarisku berubah. Ada apa dengannya? Ala dia kesal pada perintahku?

Kulirik ke arah Yumna, yang ternyata sudah menatapku. Kunaikkan satu sudut bibir.

Kami pun berjalan ke dalam hotel, tak lupa menggenggam tangan Yumna. Aku suka menyiksanya sekarang, dengan melakukan hal-hal yang tak ia sukai. Mencium, memeluk, menggenggam, entah apalagi nanti. Yang jelas ekspresinya ketika marah membuatku merasa puas!

Jika dia merasa menang atas sikapnya yang bisa merendahkanku, dan membuatku marah, dia salah memilih lawan. Karena aku bisa membalasnya lebih dari yang dia bayangkan.

Saat akan mencapai lift, tiba-tiba saja langkah Yumna terhenti. Ponselnya berdering rupanya. Tak lama perempuan itu segera mengangkatnya, dan aku harus bersabar berdiri menunggu.

"Apa?!" Mata bulat Yumna melebar. Dia tampak syok dengan berita yang diterima dari orang di ujung telepon. Apa yang terjadi?

Bersambung

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel