Bab 7
POV Devan
"Pernikahan kamu akan dilangsungkan bulan depan ditanggal yang sudah Mama tetapkan. Perempuan itu adalah anak sahabat Papa di Surabaya. Kamu tahu kan kalau Mama nggak akan sembarangan memilih perempuan untuk kamu nikahi. Mama akan atur pertemuan kalian sebelum acara lamaran agar saat acara berlangsung kalian tidak canggung karena sudah pernah bertemu sebelum nya."
Aku hanya bisa mengangguk, tak mampu menolak permintaan Mama. Selalu begitu setelah Papa meninggal akibat kecelakaan yang aku sebabkan saat aku berusia sepuluh tahun. Aku kehilangan semua nya. Senyum, kasih sayang dan cinta. Aku kehilangan semua itu dari Mama atau Mama yang sengaja meninggalkan nya karena terlalu kecewa padaku, anak semata wayang nya yang telah menjadi pembunuh cinta sejati nya.
Ah, aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk tidak akan lagi mengungkit-ungkit kejadian itu demi kebaikanku sendiri, agar aku bisa menjalani hidupku dengan normal. Aku tidak akan mengulang cerita itu, cerita yang akan membuat rasa bersalah yang selama ini bersarang di hati ku dan semakin membuatku sesak kesakitan dan hancur.
"Mama akan atur semua nya, kamu mengerti Van?" Tanya Mama sebelum benar - benar meninggalkanku sendirian di dalam ruangan VIP sebuah restoran mewah di kota Bandung.
Kepalaku kembali mengangguk. Bukan karena aku setuju dengan apa yang akan Mama lakukan pada hidupku, hanya saja memang tak ada yang bisa aku lakukan untuk menolak keinginan Mama karena sebuah janji yang ku ucapkan untuk menurut apapun keinginan nya.
Seluruh hidupku kuserahkan pada Mama. Itu semua adalah prinsipku yang memang aku tak berhak atas hidupku sendiri.
"Rey, kunci." Tanganku menengadah di hadapan Rey, seorang teman, sahabat sekaligus asisten pribadi yang kukenal sejak aku kecil dulu, anak seorang supir keluarga yang memutuskan untuk menjadi penerus bapak nya mengabdi pada keluargaku dengan alasan membalas budi. Seorang sahabat yang kusekolahkan di sekolah yang sama denganku dengan hasil kerjaku sendiri karena aku tidak memiliki siapa - siapa lagi yang bisa kupercaya selain dia.
Mama tahu aku menggunakan hasil kerjaku membantu pekerjaan nya di kantor sejak aku SMA untuk membayar uang sekolah Rey hingga dia berhasil menjadi sarjana tapi Mama tidak pernah menegur dan membiarkan nya saja seolah - olah dia tak pernah tahu.
Rey menarik punggung nya dari pilar penyanggah restoran mewah tempatku makan siang bersama Mama. Tidak, sebenar nya menu makan siang yang tersaji di atas meja itu hanya lah sebagai formalitas karena kami bahkan tidak menyentuh sebutir nasi pun di dalam sana ataupun meneguk isi dari gelas tinggi itu.
"Mau kemana?" Tanya Rey setelah memberikan kunci mobil nya padaku. "Biar saya ikutin pakai mobil lain."
"Nggak perlu Rey. Lo hanya perlu pulang ke hotel dan tunggu gue."
"Tapi saya takut anda kenapa - napa di jalan. Jadi menurut saya lebih baik saya mengikuti anda kemanapun anda."
"Nggak perlu." Aku menyela cepat. "Gue bilang lo pulang, nggak usah ikutin gue. Tolong biarin gue sendirian kali ini Rey."
Rey memang sudah membangun dinding tebal tak kasat mata diantara kami sehingga dia tidak pernah berbicara lancang padaku sejak dulu. 'Saya kamu' adalah menjadi bahasa sehari - hari Rey padaku sementara aku sendiri berbicara lebih santai pada nya dengan menggunakan 'Lo gue' setiap hari nya diluar pekerjaan.
Sesekali aku melirik spion di samping kanan dan kiri mobil sekedar memastikan kalau Rey memang tidak mengikuti gerak - gerikku. Dan dia memang sedang tidak mengikutiku sekarang sehingga aku lebih bebas untuk melakukan apapun tanpa perlu pengawasan.
Aku memacu mobil dengan kecepatan di atas rata - rata, berharap sesak di dada dan pikiran yang menumpuk di kepala menguar dan menghilang terbawa arus angin dan tertinggal di belakang sana tanpa bisa mengejarku yang telah berlalu pergi.
Hal yang selalu kulakukan ketika aku penat. Namun, takdir yang selalu melakukan ketidakadilan padaku kembali berulah. Tepat di persimpangan jalan, disaat lampu berubah menjadi hijau, disaat aku menekan gas dengan kencang, disaat itulah aku mendengar dentuman hebat di bagian depan kuda besiku, melihat dengan mata kepalaku sendiri bagaimana seorang laki - laki paruh baya mengenakan kemeja putih terlempar jauh dan berakhir mengenaskan di atas jalan raya beberapa meter di depan mobilku.
Sejenak aku merasakan dunia di sekitarku tak lagi bergerak, suara - suara kendaraan di luar sana seolah tak bisa lagi menembus gendang telingaku. Duniaku sunyi, mendadak sepi. Tubuhku gemetar ketakutan. Sementara mataku menatap nanar seorang laki - laki yang kini bersimbah darah di atas jalan setelah aku menabrak nya beberapa detik yang lalu.
Ketukan tak sabaran di jendela mobil membuat kesadaranku kembali. Suara teriakan orang - orang yang berkerumun di sekitarku membuatku kebingungan sekedar untuk membuka pintu mobil.
"Woi, keluar. Nabrak tuh."
"Tanggung jawab woi, telepon polisi cepat."
"Keluar! Tanggung jawab!"
"Pecahin aja kaca mobil nya, geret dia keluar."
Mereka berteriak - teriak tak karuan meminta pertanggung jawaban padaku, mengetuk dengan berbagai cara untuk membuatku keluar dari mobil.
.
.
.
Katakan lah aku sedang beruntung saat ini karena sebelum mereka melakukan rencana mereka untuk memecahkan kaca mobil dan menggeretku keluar, seorang laki - laki berusia sekitar akhir tiga puluhan datang diantara masa, menjadi penengah, mengatakan bahwa korban kecelakaan itu sebenar nya memiliki masalah dengan penglihatan dan pendengaran nya. Bapak itu buta warna dan selalu keliru ketika hendak menyeberang dan juga tuli sehingga tidak mendengar suara klakson mobil dengan kata lain aku tidak salah dalam hal ini.
Aku berakhir di ruang tunggu sebuah rumah sakit besar setelah sebelum nya aku membawa korban ke sebuah klinik tak jauh dari tempat kejadian namun bagian kepala yang luka parah hingga menyebabkan pendarahan hebat di bagian belakang kepala nya membuat petugas klinik menyarankan untuk membawa korban ke rumah sakit besar.
Kini aku duduk di kursi tunggu tepat di depan ruang operasi di mana korban tengah menjalani operasi di dalam sana. Beberapa kali aku mengusap kasar wajahku dengan telapak tangan dalam keadaan hati yang sangat gusar. Ucapan doa agar korban dapat selamat tak henti kurapalkan dalam hati berharap doaku terkabulkan.
Hentakan sepatu terdengar mendekat membuatkku menoleh, mendapati seorang gadis muda berseragam SMA berlarian ke arahku dan berakhir menatap pintu operasi.
Tubuh nya perlahan merosot hingga berakhir bersimpuh di lantai yang dingin. "Bapak." Ucapan lirih nya terdengar membuatku terhenyak.
Dia anak nya. Gadis itu adalah putri dari korban. Tiba - tiba saja kenangan masa lalu menghantam kepalaku. Ingatan tentang Papa yang terbujur kaku di sampingku kembali membayang seperti tengah mengingatkanku pada kesalahanku sebelum nya.
Aku menatap gadis itu dengan rasa bersalah yang sama ketika aku menatap mata Mama. Dia menoleh, menatapku dengan mata nya yang tertutup cairan bening.
Tak lama seorang laki - laki datang, laki - laki itu yang telah menyelamatkanku dari amukan orang - orang. Dia bergerak cepat ke arah gadis itu, membuat nya berdiri lalu duduk di kursi tunggu tepat di sampingku bahkan jarak kami hanya berjarak satu kursi kosong.
