Bab 7
Setelah sampai di kediaman, dengan cepat Mei melepaskan hanfunya yang membuatnya hampir saja mati karena gerah.
Mengikuti acara pesta makan malam kaum bangsawan sangatlah membosankan menurut Mei. Harus menjaga sikap, angggun, inilah itulah sungguh membuat kepala Mei ingin pecah rasanya.
"Rencana yang bagus Nona. Aku salut ternyata kau tidak melibatkanku." puji Quan.
Mei melepaskan hanfunya dan menggantinya dengan baju tidur. Mei menatap Quan dengan tatapan tak percaya. Kenapa Quan tidak marah?
"Terima kasih atas pujiannya Tuan Quan yang agung. Aku melakukan semua itu karena aku ingin menyelamatkan diriku bukannya malah membiarkan diriku dijebak orang lain." balas Mei.
"Ternyata semuanya hanyalah mitos." gumam Quan sembari terkekeh geli saat mengingat rumor tentang Putri Mei yang idiot.
Quan mendekati Mei dan menarik tangan Mei membuat Mei menabrak dada bidang Quan. Lebih tepatnya jatuh di dalam pelukan Quan.
Awwww ini dada orang besi atau batu sih keras amat. batin Mei menjerit karena dahinya terbentur dada bidang Quan.
"Aku tidak bisa tidur denganmu malam ini. Karena aku ada rapat dengan para petinggi. Aku harap kau mengerti." bisik Quan sambil mengelus pipi mulus Mei.
"Silahkan Pangeran." balas Mei sambil menampilkan senyuman manisnya.
Quan tersenyum dan mencium kening Mei dengan lembut. Entah kenapa, melihat aksi Mei yang bar-bar membuanya tertarik. Gadis seperti istrinya ini sangatlah langka.
"Selamat malam. Mimpi yang indah, sayang."
Rasanya Quan sangat berat meninggalkan Mei tapi mau bagaimana lagi. Kedudukannya sebagai pangeran benar benar membuat Quan kewalahan.
Setelah mengecup kening Mei, Quan pergi meninggalkan Mei yang berdecak kesal.
"Siapa juga yang mau ditemani tidur dengan badak Quan sepertimu." gumam Mei.
Perlahan lahan Mei mulai memejamkan matanya yang terasa berat.
# Alam Mimpi Mei Ling
Natalie melihat hamparan bunga yang sangat luas. Berbagai macam jenis bunga terdapat di sana. Natalie memperkirakan kalau semua bunga itu adalah kumpulan bunga di seluruh dunia.
Natalie terkagum kegum dengan pemandangan tersebut sampai Natalie tak menyadari ada seorang wanita yang berdiri di belakangnya.
"Natalie!"
Natalie yang merasakan namanya di panggil mulai membalikkan tubuhnya sehingga dapat melihat seseorang yang memanggilnya.
"Mei Ling." gumam Natalie tak percaya.
Seorang wanita yang sangat anggun dengan rambut panjang yang di biarkan terurai memberikannya senyuman yang sangat hangat.
Ya wanita itu adalah Mei Ling. Wanita yang di peraninya selama ini.
"Bagaimana? Apakah kau suka?" tanya Mei Ling.
"Iya aku sangat suka sekali. Ini seumur hidupku melihat hamparan bunga yang sangat luas dan indah." kagum Natalie.
"Apa kau percaya? Aku yang menanam semua ini." ujar Mei Ling.
"Benarkah? Sendirian? Kenapa?" tanya Natalie tak percaya.
"Karena aku sangat menyukai bunga." jelas Mei Ling.
Natalie melihat sosok Mei Ling yang sangat cantik. Jujur saja Natalie iri. Kecantikan Mei yang natural serta sikapnya yang sopan lantas kenapa banyak orang yang mengunjingnya?
"Ngomong-ngomong, terima kasih sudah memeraniku. Pasti sangat sulit sekali bukan?" tanya Mei Ling.
"Ah tidak juga. Aku sudah membalas semua perlakuan mereka kepadamu."
"Aku sangat iri kepadamu. Kau pintar, berani dan tangguh tidak sepertiku yang malah lari dari masalah. Hanya karena aku tak tahan dengan cacian orang lain di tambah lagi aku harus mengikuti pemilihan calon istri pangeran membuatku semakin gila. Karena aku tidak punya bakat apapun. Aku malu. Aku tak mau di hina lagi." lirih Mei Ling.
Natalie dapat melihat kesedihan yang teramat di dalam mata Mei Ling.
"Tidak itu tidak benar. Salah satu bakatmu adalah kau pandai merawat bunga sampai bisa tumbuh cantik seperti ini. Sikap anggun dan sopan adalah kelebihan yang sangat langka. Itu melebihi dari sebuah bakat." ujar Natalie.
"Benarkah?" tanya Mei Ling.
"Benar. Kalau bukan tanpa mu mungkin aku sekarang sudah berada di neraka hehe." cengir kuda Natalie.
Mendengar ucapan Natalie membuat senyuman manis serta kekehan kecil terukir di bibir mungil Mei Ling.
"Itu sudah takdir Natalie. Kita tidak tau apa yang terjadi kepada kita. Bersyukurlah kau di beri kesempatan untuk memulai kehidupanmu."
Natalie semakin kagum dengan ucapan bijaksana Mei Ling. Pantas saja ayahnya Zhang Ling sangat menyayanginya lebih dari kedua saudaranya.
Tidak seperti ayah Natalie, malah mendorongnya menjadi ilmuwan gila seperti dirinya sehingga kadang Natalie dijuluki ilmuwan abal-abalan.
Sialan umpat Natalie.
"Kembali lah Natalie. Sebentar lagi fajar telah tiba."
"Ah iya. Sampai jumpa Mei Ling."
Mei Ling tiba-tiba terbagun dari mimpinya. Mei masih bisa mencium aroma bunga yang di mimpinya.
Wangi sekali gumam Mei.
Tok tok tok.
"Nona, Apakah Anda sudah bangun?" tanya Wanqi.
Mei bangkit dan membuka pintu. Nampaklah Wanqi bersama pelayan lainnya di depan pintu kamar Mei sambil menundukkan kepalanya.
"Ah iya. Wanqi aku ingin mandi air panas." titah Mei Ling.
Wanqi segera mengurus segala keperluan Nonanya itu. Mulai dari persiapan air panas, pakaian sampai riasan tak ada yang tertinggal sedikitpun.
"Oh iya, ngomong-ngomong kenapa Quan belum pulang ya?" gumam Mei.
Mei melihat Wanqi yang sedang sibuk dan serius membersihkan kuku kakinya.
Apa jadinya kalau aku tidak berada di dalam tubuh Mei Ling? Pasti sangat menyedihkan. Batin Mei.
Mei menenangkan hatinya dengan berjalan-jalan menyusuri kediaman Quan.
Kediaman Quan sangatlah besar dan luas, kalau Mei menyusuri semua ruangan yang ada mungkin membutuhkan satu hari penuh.
Tiba-tiba perhatian Mei teralihkan kepada sebuah kuil di atas bukit. Kuil yang sangat besar dengan beberapa patung Dewa.
Mei masuk ke dalam kuil dan terus berjalan melewati rak buku yang diyakini adalah kitab suci serta kertas-kertas penting lainnya.
Di luar kuil, terdapat pohon yang sangat besar dan tinggi. Lebih besar dari pada pohon lainnya.
Tapi anehnya pohon itu dipagari, seperti dijaga. Mei mendekati pohon itu dan menyentuhnya. Mei tau, pohon ini sudah cukup tua.
"Pangeran Quan sangat menyukai pohon itu."
Mendengar suara yang tak asing baginya, Mei menoleh ke belakang dan mendapati Wanqi berdiri di belakangnya.
"Dari mana kau tau?" tanya Mei.
"Hamba mengetahuinya dari penjaga kuil." jawab Mei.
Mei menganggukkan kepalanya mengerti dan kembali fokus mengamati pohon besar di depannya.
"Kenapa pohon besar ini tidak ditebang saja? Kalau jatuh bisa bahaya." ujar Mei.
"Tidak bisa begitu Nona."
Mendengar suara seorang pria paruh baya, membuat Mei yakin bahwa pria itulah yang dimaksud Wanqi sebagai penjaga kuil milik Quan.
Pria paruh baya itu mendekati Mei, sembari menunduk memberi hormat.
"Pohon besar seperti ini diyakini sebagai pohon keberuntungan. Karena itulah Pangeran Quan sangat menyayanginya." ujar pria paruh baya.
Mei mulai mengerti, alasan kenapa Quan menyayangi pohon besar ini.
Ya aku hampir saja lupa, wajar saja mereka masih percaya mitos seperti ini. Batin Mei.
"Berapa umurnya?" tanya Mei.
"Umurnya tiga abad, Nona." jawab pria paruh baya.
Mei menyeringai mendengar ucapan pria paruh baya itu, "Tiga abad ya? Kau yakin? Baiklah kalau begitu, mari kita ukur." ujar Mei sembari mengeluarkan meteran yang dibuatnya sendiri.
Mei masuk kedalam pagar yang membatasi pohon. Hal itu sukses membuat Wanqi dan pria paruh baya terngangga. Pasalnya mereka dilarang Quan untuk melewati pagar itu.
"Nona, jangan melewati pagar. Kalau Pangeran Quan tau, dia akan marah besar!"
"Kenapa dia harus marah? Aku istrinya. Kawasannya sama dengan kawasanku juga jadi aku bebas melakukan apa yang aku inginkan." balas Mei.
"Tapi, Nona."
Mei tidak mengubris ucapan pria tua itu. Saat ini Mei sedang fokus mengukur pohon besar itu.
Mei melingkarkan meteran dan mulai menghitung hasilnya.
Hasil ukur kelilingnya 375. Cukup besar untuk sebuah pohon normal.
"Jika keliling batang pohon 375 : 2,5 maka hasilnya adalah 150. Berarti umur pohon ini adalah satu setengah abad." jelas Mei.
"Tuan penjaga, kau salah besar." ejek Mei.
Pria tua itu menatap Mei dengan tatapan tidak percaya. Bagaimana Mei bisa meramal umur pohon itu, begitulah batin pria paruh baya itu.
Sedangkan Wanqi bertepuk tangan kagum setelah mendengar penjelasan dari Nonanya itu.
"Nona Mei sangat hebat!" puji Wanqi.
Mei memasang wajah sombongnya sembari keluar dari pagar, "Ini sangatlah mudah."
Mei memutuskan untuk kembali ke kamarnya dengan Wanqi yang selalu setia mengekorinya meninggalkan pria si penjaga kuil yang sedang sibuk memegang dagunya sendiri menimang ramalan Mei tadi.
******
"Kakak bagaimana dengan malam pertamamu?" tanya Qin.
Quan menghembuskan napasnya dengan kasar sembari menatap sayu ke arah adik keponya itu.
"Sialan jangan bertanya!" geram Quan.
"Ahaha aku tau, pasti adikku ini tidak gagah di ranjang sehingga membuat adik Mei kesal bukan." ejek Xian Wu.
"Cih diamlah bodoh!" geram Quan.
Bukannya takut, Xian dan Qin malah tertawa semakin menjadi mengejek Quan membuat Quan emosi.
"Diam! Asal kalian tau saja, Putri Mei sampaiku buat tak bisa berjalan karena aku mengagahinya!" balas Quan setengah berteriak.
Jangankan mengagahinya, aku malah dijahili sama dia. rengek Quan.
Xian dan Qin terdiam mendengar ucapan Quan. Entah kenapa di benak mereka ada rasa tak percaya setelah mendengar ucapan Quan.
"Yang benar saja? Bukankah adik Mei mengerjaimu."
Ketiga pangeran tersebut mengalihkan pandangan mereka dan melihat Xiao berdiri di depan pintu dengan gaya angkuhnya.
"HAH? APA? YANG BENAR SAJA?" Teriak Xian dan Qin bersamaan.
"DIAMLAH BODOH!" bentak Quan membuat Xian dan Qin menutup mulut mereka rapat-rapat sebelum Quan murka.
"Darimana kau tau?" tanya Quan geram.
"Itu mudah saja." jawab Xiao.
"Apa kakak mengintip?" tanya Qin penasaran.
Mendengar pertanyaa Qin membuat wajah Quan berubah menjadi masam, "Apa kau pergi ke kediamanku malam itu?" tanya Quan tak senang.
"Cih, jangan salah paham bodoh! Putri Mei sangatlah licik, aku tidak tau kenapa dia malah menjahilimu tapi yang pastinya dia tidak menyukaimu." balas Xiao.
Mendengar ucapan Xiao yang terang-terangan sukses membuat Qin dan Xian menutup mulut mereka tak percaya.
"Itu tidak mungkin." elak Qin.
"Mungkin saja." balas Xiao dengan nada mengejek.
"Cih kau lihat saja Mei Ling akan jatuh ke dalam pelukanku!" geram Quan.
"Baiklah mari kita taruhan. Kalau putri Mei tidak menyukaimu, maka dia harus menjadi milikku." cetus Xiao.
Quan mengepalkan kedua tangannya geram mendengar ucapan Xiao membuatnya ingin membunuh kakaknya itu sekarang juga.
"Apa putri Xiang Yu tidak cukup untukmu?" tanya Quan dengan hati bergemuruh.
"Kau tau betul aku tidak menyukainya, kami hanya dijodohkan. Lagipula aku akan menduduki tahta Kaisar, dan bukankah hal yang wajar kalau aku memiliki selir yang banyak." ujar Xiao Wu.
Quan berjalan maju dan berhenti di depan Xiao sembari mengepalkan kedua tangannya murka bersiap-siap untuk memukul wajah Xiao.
"Sialan kau!" geram Quan.
Quan dan Xiao saling pandang seperti ada aliran listrik di kedua mata mereka. Sedangkan Xian dan Qin hanya bisa diam saling pandang menyaksikan perang dingin kakak mereka.
Mereka akan berperang. batin Xian dan Qin bersamaan.
*******
Entah kenapa, lidah Mei saat ini ingin sekali memakan sesuatu.
Daging panggang.
Ya, makanan yang sangat Mei rindukan.
Semua bumbu serta peralatan untuk memanggang sudah Mei siapkan dan sekarang waktunya untuk memanggang.
Malam yang sunyi aman dan damai tanpa kehadiran Quan membuat kesenangan tersendiri untuk Mei.
Beberapa pelayan menghadang serta menahan Mei agar tidak turun tangan untuk memanggang tapi yang namanya keras kepala Mei tetap melakukannya.
Mei mencicipi daging panggang buatannya sendiri, "Umm cita rasa yang sangat luar biasa. Sudah lama aku tidak mencicipinya. Dengan suasana malam yang indah sangat menyenangkan. Apa lagi kalau memanggangnya beramai-ramai di tambah lagi alunan musik dj pasti seru." guman Mei.
Tapi yang Mei rasakan saat ini adalah, kesenangan sendiri tak ada kesenangan bersama. Mei merasa seperti berpesta dengan patung saja. Semua pelayan yang menemaninya hanya tertunduk diam tak berani melarang apa lagi ikut campur urusan tuannya.
"Kenapa kalian diam saja? Ayo cicipi ini. Jangan sungkan, temani aku."
Tapi tetap saja, tak ada yang bergeming sedikitpun membuat Mei geram. "Ini namanya bukan pesta! Ini namanya pesta sendiri!"
"Wanqi! Duduk di sebelahku!" titah Mei.
Setelah mengumpulkan semua keberaniannya, Wanqi melangkah mendekati Mei tapi tidak duduk di sebelah Mei.
"Kenapa kau tidak duduk?" tanya Mei heran.
Wanqi menganggukkan kepalanya dan duduk, tapi Wanqi lebih memilih untuk duduk di tanah ketimbang duduk di kursi yang sama dengan Mei.
Dengan kasar, Mei menarik tangan Wanqi dan membawanya duduk di sebelah Mei. Semua pelayan terkejut bukan main melihat kelakuan Nona mereka.
"Aku memerintahkanmu untuk duduk di sebelahku bukannya duduk di tanah!" geram Mei.
"Ma..maaf Nona, hamba tidak berani. Hamba-"
"Tidak! Duduk di situ dan temani aku!" potong Mei.
Wanqi hanya bisa menganggukkan kepalanya pasrah dan melihat Mei yang sedang asik memanggang.
Saking asiknya memanggang dan mencicipi panggangannya sendiri, Mei sampai tak menyadari kehadiran Quan.
Quan berdiri tepat di depan Mei sambil berkacak pinggang dengan mata yang membulat sempurna serta wajah garangnya.
"No...Nona..." panggil Wanqi ketakutan.
Mei yang menyadari ketakutan Wanqi pun segera melihat ke depan. Dan betapa terkejutnya Mei saat menyadari kehadiran Quan.
"Eh aa...Kau sudah pulang ya... Hehe." cengir Mei.
"Apa yang kau lakukan?" tanya Quan dengan nada dingin.
"Aku...aku sedang memanggang." jawab Mei dengan gelagapan.
Quan mengeram marah karena kelakuan kekanak-kanakan istrinya. Baru satu hari Quan tinggalkan Mei di kediaman, istri nakalnya itu malah membuatnya sakit kepala.
Mendapati laporan tentang istrinya yang sedang memanggang sudah cukup membuat Quan kesal bukan main.
Tanpa menunggu persetujuan Mei, Quan menarik pergelangan tangan Mei dan membawanya menjauh dari tempatnya memanggang tadi.
"Aww... Quan apa yang kau lakukan? Kau menyakitiku!" jerit Mei karena merasakan Quan yang meremas pergelangan tangannya.
Quan berhenti dan berbalik menghadap Mei. Bukannya berbicara atau meminta maaf, Quan langsung memikul Mei di pundaknya membuat Mei memekik ketakutan.
"Quan! Turunkan aku!"
Quan terus berjalan menjauhi kediaman. Mei tidak tau kemana Quan akan membawanya yang pastinya tempat itu berada jauh di belakang kediaman.
"Quan kau mau membawaku kemana? Turunkan aku! Aku bisa berjalan sendiri! Quan!" teriak Mei.
"DIAM!"
Mendengar bentakan Quan sukses membuat Mei membungkam mulutnya ketakutan. Entah apa yang dipikirkan suaminya itu, yang jelas sekarang ini Mei sedang berusaha untuk kabur tapi rasanya mustahil menginggat tenaga Quan yang sangat kuat berbeda dengan dirinya.
Mei melihat kesekelilinya dan mendapati banyak pohon bambu serta obor yang berdiri di sepanjang jalan.
Tiba tiba...
Byur!!!
Quan menceburkan Mei ke dalam kolam.
"Quan!" pekik Mei.
"Tubuhmu bau asap. Kau harus mandi dengan benar!"
"Jangan menceburkanku seperti itu! Kau mau membunuhku ya?!" bentak Mei.
Bukannya menjawab, Quan malah ikut turun ke dalam kolam dengan hanfu mewahnya. "Sekarang kau puas?" tanya Quan.
Mei hanya diam saja binggung mau menjawab seperti apa.
"Ini adalah kolam pemandianku. Kalau aku sangat lelah, aku akan kemari untuk berendam." jelas Quan.
Mei mendekati Quan untuk berdiri di sebelahnya. Entah kenapa Mei merasa tertarik dan bersandar di pinggir kolam bersama Quan.
Quan menoleh dan melihat wajah cantik istrinya yang diterangi oleh sinar rembulan membuatnya semakin terlihat cantik membuat Quan terpana seketika.
"Quan, apakah kau akan memiliki selir nantinya?" tanya Mei.
Mendengar pertanyaan Mei membuat Quan tertawa geli, "Kalau aku sudah memiliki sosok bidadari cantik sepertimu, untuk apa lagi aku harus mencari yang lain." balas Quan.
Mei tidak tau kenapa dirinya bertanya seperti itu. Hanya saja Mei merasa kurang puas dengan jawaban dari Quan.
"Tapi bukankah seorang Kaisar harus memiliki selir dan memperbanyak keturunan mereka?" tanya Mei.
Pertanyaan Mei sangat lucu, sungguh saat ini Quan ingin sekali mencubit kedua pipi chubby istri kecilnya itu.
"Siapa bilang? Aku bisa memperbanyak keturunanku hanya dengan satu istri."
Mendengar jawaban Quan sukses membuat rona merah menghiasi pipi putih Mei. Entah itu semacam gombalan atau apalah tapi jujur saja jantungnya tak bisa berhenti berdegup kencang.
"Apa kau cemburu?" tanya Quan.
"Apa? Cemburu? Siapa bilang? Aku tidak cemburu sama sekali." elak Mei sambil mengalihkan pandangannya ke arah lain.
Quan terkekeh geli mendengar ucapan Mei, sangat mengocok perutnya. "Tenang saja, Ratuku hanya dirimu seorang. Tidak ada yang lain lagi."
Quan memeluk Mei dengan hangat membuat Mei terbawa suasana dan ikut melingkarkan tangannya di pinggang Quan.
"Apa kau bersedia menjadi Ratuku?" tanya Quan.
Tak ada jawaban dari Mei membuat Quan menunduk dan melihat wajah Mei.
"Entahlah. Aku tidak pernah terpikirkan tentang kehidupan seperti itu. Yang aku inginkan adalah kehidupan yang tenang, aman dan damai dengan keluarga yang lengkap tanpa ada permusuhan atau rasa iri dan dendam. Walaupun kehidupan itu miskin atau kekurangan setidaknya rasa bahagia dan kasih sayang tidak pernah berkurang." lirih Mei.
Mendengar keingginan Mei membuat Quan kagum. Quan bahkan tak pernah terpikirkan tentang kehidupan seperti itu. Yang Quan pikirkan adalah tahta dan harta. Bagi Quan kehidupan seperti yang Mei bayangkan tanpa gelar bangsawan sangatlah menyusahkan tapi sepertinya tidak kalau bersama sosok tercinta bukan?
Quan tersenyum dan semakin mengeratkan pelukannya membuat Mei semakin menenggelamkan kepalanya di dada bidang suaminya.
Hati Quan sedikit lega dan terasa...hangat.
Sudah lama Quan tak merasakannya dan sekarang rasa itu datang dari istrinya.
Aku tidak yakin kalau aku bisa mewujudkan impianmu, sayang. Tapi aku akan berusaha semampuku untuk menyenangkanmu.
*********
Seperti yang di janjikan Quan. Malam ini Quan dan Mei pergi mengunjungi pasar malam yang di padati banyak penduduk.
"Quan ayo kita kesana!"
"Quan aku mau itu!"
"Quan ayo kita mencobanya!"
"Quan bla bla bla...."
Mei banyak mengajukan permintaan kepada Quan dengan manja dan dengan senang hati Quan mengabuli semua permintaan istri kecilnya itu.
"Quan aku lelah dan haus aku mau duduk di sini dulu."
"Baiklah tunggu saja di sini aku akan membelikanmu minuman."
Quan beranjak meninggalkan Mei sendirian duduk di kursi taman sedangkan dirinya pergi membeli minuman.
Mei merasa kelelahan. Mencoba berbagai aneka macam makanan, permainan, serta menonton pertunjukkan di tambah lagi ramainya pasar malam membuat kelelahan semakin berlipat ganda menimpa Mei.
Tak ku sangka, ternyata di zaman kuno ada pasar malam juga ya malah lebih seru. batin Mei.
"Mei Ling!" sapa seseorang di belakang Mei membuat Mei memutar tubuhnya dan melihat siapa yang menyapanya.
"Kau..."
Tiba-tiba sebuah kilatan ingatan lewat di pikiran Mei. Orang itu adalah Jiang Luo, satu-satunya anak laki-laki yang tidak mengejek Mei tapi malah membelanya.
"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Jiang sembari duduk di sebelah Mei.
"Oh aku sedang mengunjungi pasar malam dan bermain, seru sekali!" balas Mei di iringi senyuman manisnya.
"Benarkah. Dengan siapa kau kemari?" tanya Jiang.
"Aku bersama–"
"Bersamaku!" potong Quan.
Dari kejauhan sebelumnya Quan melihat Mei berbincang dengan seorang lelaki dan nampaknya Mei begitu akrab terlihat dari Mei yang tertawa.
Dasar sialan! Geram Quan.
"Oh salam Pangeran Quan. Maaf kalau hamba menganggu." ujar Jiang Luo sambil memberi hormat.
"Iya, sangat menganggu!" balas Quan di iringi wajahnya yang mulai terlihat masam.
Mei merasakan suasana mulai mencekam. Entah kenapa, hal itu membuat tingkat kekhawatiran Mei meningkat drastis.
"Sayang..." panggil seorang wanita dari kejauhan dan itu di peruntukkan untuk Jiang Luo.
"Maaf Pangeran, hamba harus pergi. Mari Pangeran, Putri Mei."
Jiang Luo pergi meninggalkan Quan dan Mei dan setelah itulah Mei merasa lega, setidaknya aura kemarahan suaminya itu berkurang.
"Pergilah. Kalau perlu pergi sejauh jauh mungkin!" gumam Quan geram.
Sedangkan Mei merasakan hatinya sakit seperti diiris-iris saat melihat Jiang digandeng wanita lain.
Ada apa ini? Kenapa perasaanku aneh begini? Awal Jiang datang aku merasa senang tapi saat Jiang pergi aku tiba-tiba merasa sedih. Hei Nona Mei Ling apakah cintamu bertepuk sebelah tangan? Kalau bisa jangan melibatiku si Natalie yang anti pacaran ini! batin Mei Ling.
"Ada apa? Kenapa kau terdiam seperti itu?" tanya Quan tidak senang.
"Ah ti..tidak..." jawab Mei gelagapan.
"Apakah kau menyukainya?" tanya Quan sambil memincingkan sebelah matanya.
"Tentu saja tidak!" jawab Mei dengan cepat.
Lama Quan diam memperhatikan kelakuan Mei Ling yang membuatnya curiga. Entah kenapa Quan tidak suka itu dan hal itu membuat emosi Quan kembali menyelimutinya.
"Aku harap kau tidak menyukainya karena kau hanya milikku tak peduli kau tidak menyukaiku atau malah membenciku!" desis Quan penuh penekanan.
Mei merasa kagum dengan sikap posesif Quan. Tidak lebih tepatnya sedikit kesal. Terlalu posesif tidak baik bukan.
"Baiklah suamiku yang tampan." bujuk Mei.
"Gadis baik!"
Quan mengandeng tangan Mei dan membawa Mei pulang ke kediamannya meninggalkan pasar malam sebelum Mei menjadi santapan para anjing liar di luar kediaman.
*****
Setelah sampai di kediaman, sekali lagi Mei harus bersorak ceria. Karena, Quan akan pergi lagi dan tidak tidur bersamanya.
"Maaf, kau harus tidur sendiri lagi malam ini. Akhir-akhir ini ada banyak kejadian aneh jadi aku selaku pangeran harus membantu Baginda Kaisar mengurus semuanya." jelas Quan.
Quan membelai pipi Mei dengan perlahan sambil memperhatikan wajah Mei yang cantik natural dengan seksama.
"Iya urus saja semuanya, aku tidak masalah. Itu sudah kewajibanmu." balas Mei.
"Benarkah? Kau tidak marah?" tanya Quan ragu-ragu.
"Tidak. Pergi saja." balas Mei dengan santai.
"Aa...baiklah aku pergi dulu."
Quan mengecup seluruh inci wajah Mei, tak ada yang tertinggal sedikitpun.
Lama Quan memperhatikan Mei sampai pada akhirnya Quan mengalah karena Mei terus mendesaknya untuk segera pergi.
Kenapa dia seperti mengusir ku ya? Padahal ini kediaman ku dan malah dia yang berkuasa kebanding aku. batin Quan.
Quan pergi dengan perasaan kesal. Sudah tiga kali Quan kesal karena ulah istri kecilnya itu.
Lihat saja aku akan memberimu pelajaran. Geram Quan.
________
