[2] Ketertarikan
Cahaya pagi membuat tidur Raymond terusik, dia mengerjapkan mata dan menyesuaikan cahaya itu, sudah tak ada Sarah lagi di sampingnya, mungkin wanita itu sudah pergi.
Raymond menyibakkan gorden yang masih setengah menutupi jendela kamar, pria itu melihat Sarah tengah bermain dengan anak-anak sambil tertawa riang, bayangan mengenai hal semalam masih memenuhi ingatan Raymond.
Sentuhan dan ciuman Sarah membuat dirinya menggila serta menginginkan Sarah lagi dan lagi. Sebenarnya Raymond sudah lumayan membaik namun dia tidak ingin segera pergi dari rumah Sarah, dia masih ingin bersama dengan Sarah untuk beberapa hari ke depan.
“Mama, Gio menarik rambutku dan lihatlah, ikatan rambutku lepas,” tangis seorang anak perempuan pada Sarah, dengan kelembutan Sarah, dia memeluk dan mengikat kembali rambut anak itu.
Raymond terus memperhatian setiap gerakan Sarah, tak ada yang cacat dari Sarah, semua sempurna di mata Raymond.
“Sudah banyak wanita yang aku temui dan baru kau yang berhasil mencuri perhatianku Sarah dan kau juga sudah berhasil meruntuhkan prinsipku untuk tidak melakukan ciuman bibir dengan siapapun. Kau sudah merebut semuanya dariku, aku akan menjadikan kau milikku selamanya Sarah.” Tegas Raymond lalu kembali mengenakan bajunya.
Sarah memasuki rumah, dia melihat Raymond baru saja keluar dari kamar dengan menggunakan handuk.
“Apa baju ku kemarin sudah bersih?” tanya Raymond.
“Sudah tapi belum kering, aku sudah membelikan kamu beberapa pakaian, kamu bisa mencobanya, tunggu sebentar.” Raymond mengikuti Sarah, wanita itu memasuki sebuah kamar dan memberikan paper bag pada Raymond.
“Aku hanya mengira ukuran tubuhmu, jadi jika kekecilan atau kebesaran tolong maafkan aku.”
“Tidak masalah, terima kasih Sarah.” Raymond membalikkan tubuhnya lalu suara Sarah membuat langkahnya tertahan.
“Kau mau makan apa tuan? Aku akan buatkan makanan untukmu.”
“Makan apa yang ada saja, memangnya kalian semua belum makan?”
“Kami semua sudah makan, hanya kamu yang belum.”
“Aku makan apa yang kalian makan saja.”
“Apa tuan mau memakan masakan kami?”
“Kenapa tidak, aku ganti baju dulu.”
Sarah menyiapkan makanan untuk Raymond, baju yang dibelikan oleh Sarah sangat pas melekat di tubuh Raymond.
“Seleranya bagus juga.”
Raymond kembali melirik paper bag yang diberikan oleh Sarah tadi, ada bercak darah kering di sana, Raymond melihat dengan teliti memastikan kalau itu memang darah.
“Apa dia terluka?” pikir Raymond, pria itu segera keluar kamar dan menuju ke halaman rumah, Sarah sudah berada di sana untuk menjemur pakaian yang baru saja dia keringkan di mesin cuci.
Raymond melihat memang tangan Sarah terluka, dia mendekati Sarah dan membantu untuk menjemur pakaian.
“Apa kegiatanmu seperti ini sehari-hari?” tanya Raymond.
“Iya, anak-anak itu masih kecil jadi belum bisa mengurus diri mereka.
“Berapa orang anak-anak asuhmu?”
“17 orang, hanya 2 anak laki-laki yaitu Prito dan Gio, selebihnya perempuan dan yang paling besar hanya Lily yang berusia 10 tahun.” Raymond memang melihat kalau mereka semua anak-anak kecil kisaran usia 2-8 tahun.
“Apa pekerjaanmu?”
“Aku membuat makanan lalu akan di antarkan oleh Lily ke para konsumen, terkadang aku juga ikut mengantarkannya.”
“Kau tidak terlihat seperti orang Amerika Sarah, kau lebih terlihat seperti wanita Asia.” Sarah tersenyum, dia masih sibuk menjemur pakaian.
“Aku memang bukan asli Amerika, ibu dan ayahku berasal dari Mumbai, India. Setelah setahun aku menikah, ayah dan ibu meninggal karena kecelakaan.”
“Kau sudah menikah?” Sarah mengangguk, Raymond termangu, dia kecewa karena wanita yang sudah berhasil merebut hatinya ternyata telah menikah.
“Dimana suamimu?”
“Dia sudah meninggal lima bulan yang lalu, makanya aku pindah ke sini dan menemukan anak-anak ini.” Raymond kembali tersenyum karena memiliki peluang untuk mendekati Sarah.
“Kalau boleh tau dia meninggal kenapa?” Sarah menghentikan kegiatannya sejenak, dia terlihat sedikit resah lalu mencoba untuk tersenyum.
“Kecelakaan.”
“Maafkan aku, aku tidak bermak—”
“Aku membunuhnya dengan mendorong dia dari balkon apartemen di lantai 23 saat kami berniat untuk honeymoon.” Sarah memotong perkataan Raymond, pria itu sedikit kaget mendengar pernyataan Sarah.
Semua pakaian itu sudah dijemur, Sarah membawa keranjang kain lalu memasuki rumah melalui halaman belakang dan diikuti oleh Raymond.
“Makanlah, aku menyiapkannya untukmu, hanya ini makanan yang kami punya, semoga kau suka.” Raymond menatap makanan yang ada di hadapannya sedangkan Sarah ke kamar mandi untuk menaruh keranjang kain tadi.
Sarah menatap Raymond yang kini juga menatapnya.
“Aku tidak menaruh racun di makananmu tuan, aku hanya membunuh suamiku tapi tidak melukai orang lain.” Raymond tersenyum lalu menggenggam tangan Sarah.
“Berapa lama kau menikah dengan suamimu?” tanya Raymond dan menatap mata Sarah.
“Sembilan tahun.”
“Usiamu saat ini?”
“26 tahun.”
“Kau menikah dengannya saat usia 17 tahun?” Sarah mengangguk.
“Apa kau bahagia dengan kepergian suamimu itu?”
“Sangat bahagia.” Sarah menjawab pertanyaan dari Raymond tanpa ekspresi apapun yang membuat Raymond yakin kalau Sarah memiliki luka mendalam dari pernikahannya dengan mantan suaminya itu.
“Seberapa sakit kau menjalani pernikahan dengan mantan suamimu itu?”
“Sangat sakit, bahkan setiap hari aku selalu berniat untuk membunuhnya tapj aku tidak pernah memiliki keberanian, aku ke sini untuk melarikan diri dari polisi bukan atas dasar kemauanku.”
“Aku bisa membantumu untuk bersembunyi Sarah, ikutlah denganku.”
“Aku tidak mau tuan, aku sudah bahagia di sini, jika nanti terjadi sesuatu pada diriku, tolong selamatkan saja semua anak-anakku ini.”
“Tidak akan terjadi apa-apa padamu Sarah, aku akan menjaga dan melindungi kamu.” Sarah tersenyum.
“Makanlah, jangan terlalu banyak bicara nanti kau akan kehabisan tenaga dan kau semakin lama untuk sembuh.”
“Ya aku memang berharap agar lama untuk sembuh biar bisa lebih lama bersamamu.” Sarah menatap Raymond, dia tidak menunjukkan ekspresi apapun.
Ruangan makan itu sangat sepi karena semua anak-anak sedang bermain di luar, Raymond menahan lengan Sarah yang akan pergi meninggalkannya.
“Temani aku makan.” Sarah mengangguk dan duduk di kursi samping Raymond namun pria itu menarik Sarah dan menuntun agar Sarah duduk di pangkuannya.
“Aku lebih nyaman makan seperti ini Sarah, kau mau menyuapiku?” Sarah merasa risih dan akan berdiri namun pinggangnya di tahan oleh Raymond.
“Tetaplah begini Sarah, bukankah semalam kita hampir saja melakukannya?”
“Ini tidak benar tuan.”
“Lalu apa yang benar?” Raymond kembali mengelus paha Sarah yang saat ini menggunakan rok selutut, tangan tegas itu menyusup dan meraba paha bagian dalam Sarah sehingga wanita itu memejamkan matanya dan menggigit bibir bawahnya.
Raymond menarik pinggang Sarah sehingga bagian depan tubuh Sarah menabrak tubuh kokoh Raymond.
“Kau sangat menggoda Sarah, aku mulai tertarik padamu.” Bisik Raymond di telinga Sarah dengan tangan yang masih mengelus pelan paha dalam Sarah di balik rok yang wanita itu kenakan.
***
