Bab 9 Picking Him Up
Felix tiba dihadapan kedua teman yang menjemput kedatangannya tepat pukul tiga sore hari. Tanpa banyak basa basi ketiganya kemudian meninggalkan Bandara Soekarno Hatta agar bisa segera kembali di Bandung yang selalu berada dalam kondisi macet kota Jumat malam karena banyaknya pendatang dari luar kota Bandung. Perjalanan yang mereka tempuh cukup jauh, lebih dari empat jam mengemudi santai. Raja yang saat berangkat tadi mengemudi, meminta Sei menggantikannya untuk mengemudi pulang. Karena itulah Sei menyempatkan diri menemani Raja menjemput Felix saat Mirza mengatakan dia tak bisa. Demi keamanan berkendara yang optimalnya hanya bisa dilakukan dibawah lima jam oleh kekuatan seorang pria sekali pun.
“Oh, ya Sei. Gua punya barang bagus nih.” Felix menunjukan I Pad nya pada Sei saat mereka terhenti oleh kemacetan panjang selepas pintu Tol Pasteur.
“Apaan nih?” Tanya Sei saat melihat foto foto setengah telanjang Roa berjajar di dinding yang di shoot kameranya. Tubuh Roa yang penuh cat di setiap foto membuatnya tersenyum mengingat satu malam yang pernah dilewatinya.
“Apaan, apaan?” Raja yang duduk disamping Sei merebut I Pad datangan Felix.
“Ternyata malam itu ada adegan bugilnya mamen!” goda Felix.
“Ish, apaan maksudnya?’ Protes Sei.
“Wah, wah. Gimana tuh, Fel?”
“Tuh tuh, dibadan si Roa. Di yang ngelukis.”
“Anjriiiit, berani juga kalian.”
“Apaan, ngelukis doang ah!” Protes Sei lagi. “Lagian lu dapet dari mana sih?”
“Di kamar si Roa. Narsis banget dia, sedinding isinya foto dia semua.”
“Ada foto gua, nggak?” Tanya Sei.
“Pastinya, di setiap sudut non. Nyesel lu nggak ikut gua kemaren.”
“Biasa aja.” Cetus Sei.
Raja menatap Foto Roa dan wajah Sei bergantian. Lagi lagi rasa sesak memenuhi dadanya. Pria itu tak bisa mengelak dari rasa kecewa karena cintanya justru gagal tanpa kesempatan terungkap sedikit pun. Cinta pertama. Raja mengakuinya demikian. Karena sepanjang hidupnya, baru kali ini dia merasakan ketertarikan seaneh ini pada seorang gadis. Ketertarikan yang jelas tak biasa, tak datang secepat biasanya dia datang dan pergi. Juga tak menggebu gebu dalam waktu singkat dan kemudian padam, melainkan menyerang setiap hari secara bertahap dan semakin kuat berupa rasa rindu dan sesak pada inti yang jauh di balik rongga dadanya.
Seorang pria separuh baya membukakan pintu gerbang rumah Felix saat ketiganya tiba. Semetara di teras depan rumah, Tara dan Mirza telah menunggu kedatangan mereka saat mendengar klakson mobil yang dibunyikan Sei agar pintu gerbang dibukakan. Sei memarkirkan mobil disamping mobil Mirza, dan langsung turun menyusul kedua temannya yang turun terlebih dulu dan membongkar barang bawaan Felix di bagasi dibantu oleh Mirza dan Tara.
“Apa kabar, brad!” Mirza merangkul Felix sekilas.
“Kurang lama gua disana.” Jawab Felix enteng. Lalu mereka semua beririrngan masuk rumah.
“Apa kabar sayang, gimana Tokyo?” maminya Felix menyambut mereka saat mereka memasuki pintu depan.
“Mami?” Felix sedikit kaget dengan kehadiran ibunya, “Fei fikir mami masih di tempat abang.”
“Mami jenuh disana, nggak ada yang bisa diurusin selain Rayan yang makin lincah.” Jelasnya saat memeluk putranya. “Halo, Raja. Apa kabar anak cakep?” Kali ini sang nyonya menyapa Raja.
“Baik mam, selalu baik. Mami juga kayaknya.”
“Of course.” Katanya penuh semangat, “Ini cewek kamu Ja?” Tanya nyonya rumah yang baru kali ini ketemu Sei.
“Ini Sei mam, tadi kan Mirza udah cerita.” Jelas Mirza.
“Ah iya iya, cewek penakluk si Bengal.” Maminya Felix memeluk Sei dengan hangat, “Apa kabar cantik, kenapa baru sekarang datengnya. Roa selama ini terlalu kaku jadi cowok.”
“Mami ah!” protes Felix saat melihat Sei yang salah tingkah oleh perkataan ibunya.
“Is oke, kan Fei. Mami ngomong apa adanya.” Kata maminya.
“Tapi Sei jadi canggung tuh, mam.” Tambah Tara.
“Mami is cool, Sei. Nggak usah canggung canggung.” Nyonya rumah membelai lembut pipi Sei, “Saran mami, begitu Roa pulang langsung iket dia. Jangan biarin pengganggu sekecil apapun punya kesempatan oke?”
“Mami.” Protes Felix lagi.
Sei hanya tersenyum, “Siap, pasti langsung Sei iket.”
“Good girl, Roa pinter nyari pacar, cukup tegas.” Pujinya. “By the way, gimana kabar dia Fei?”
“Baik Mam, dia udah dapetin gelar masternya kemarin. Dua minggu lagi juga balik ke Indi.”
“Wah, really good. Mami tunggu undangan kalian, oke Sei!”
Sei tersenyum lagi dan mengiyakan dengan pelan.
“Oke, gih pada naik, mami tahu kalian pengen ngumpul setelah sepuluh hari nggak ketemu. Kayak biasa Felix lebih rindu kalian dari pada mami.”
“Ah mami apaan sih ah.” Felix memberikan kode pada kawan kawannya agar naik lebih dulu ke ruangannya sementara dia mengantarkan maminya sampai ke kamarnya.
Sei hanya tersenyum melihat tingkah ibu dan anak itu, sementara Mirza dan Raja serta Tara yang sudah lebih tahu bagaimana mereka hanya menggeleng gelengkan kepala seperti biasa. Dibalik senyum gelinya melihat tingkah dari tantenya, Raja bergelut dengan dirinya demi membiaskan sakit hati karena ucapan sang nyonya rumah yang sudah seperti ibunya sendiri itu. Saat maminya Felix mengatakan soal penggangu, Raja merasa dirinya dihantam gada berukuran besar tepat dikepalanya. Pikirnya, mungkin ada baiknya dia berdoa dan meminta agar waktu dua minggu yang tersisa sebelum penikahan Sei bisa terasa lebih singkat, sehingga dia tak sempat meyadari berlalunya waktu hingga Sei benar benar jadi milik Roa. Dengan begitu, Raja tak akan lagi berani berfikir macam macam dan berharap pada Sei.
“Sorry, ya Sei. Mami emang gitu.” Kata Felix saat dia akhirnya tiba ditengah tengah Sei dan yang lainnya.
“Nyantei, Fel. Mami kamu malah asik.” Kata Sei tulus.
“Thanks!”
“SOW, Apa kabar Tokyo?” Tanya Mirza.
“Lancar. Sukses. Dan Roa, was ready enough to be a groom, as soon as possible.” Jelas Felix seraya mengedipkan sebelah matanya pada Sei.
“Bajunya udah pas?” Tara yang bertanya kali ini.
“Perfect.” Kata Felix bangga, “Gimana nggak, gua udah cukup eneg ngikutin selera fashion dia yang seenaknya.” Pria itu mengerlingkan matanya dengan jenaka.
“Baguslah. Karena dressnya Sei juga udah perfect.” kata Tara lagi.
“Oh, ya? Udah siap nih.”
“Fix.” Sei mengacungkan telunjuk dan jari tengahnya.
“Wah oke, tuh. Last fitting dong Sei.” Pinta Felix, “Biar bisa langsung disingkirin dari folder stressing di otak gua.”
“Baru juga nyampe Fei.” Protes Tara.
“Makin cepet makin baik. Biar gua nggak mikirin terlalu banyak garapan, masih ada kostum keluarga dan pengiring kan.”
“Udah hampir selesai juga, kok.”
“Lu yang ngerjain, Ra?” Tanya Felix seolah tak percaya pada adiknya yang bertahun tahun mengambil peran asisten pribadinya itu.
“Iyalah dia masa gua.” Cibir Mirza.
“Jadi apa yang belum kelar?” Tanya Felix lagi.
“Kostum kalian bertiga.” Jawab Tara enteng, “Soalnya aku tahu kamu pasti mau ngerjainnya sendiri.”
“Cewek pinter. Oke oke, langsung fitting aja Sei.”
“Serius?” Tanya Sei kompak dengan Tara.
“Fitting.” Kata Felix gemas.
Tara bergidik tak acuh saat mengerlingkan matanya pada Sei. Gadis itu tahu Felix takkan bisa dibantah soal yang satu ini. Sei mengikuti Tara yang membawa bajunya ke ruang ganti yang dibuat dengan memasang tabir anyaman bambu sepanjang 7/8 ruangan di bagian sisi ruangan ini. Sementara Felix sendiri meminta Mirza memperlihatkan hasil jadi undangan dan rencana konsep ruangan yang telah dimintanya lebih dulu.
Raja sedang malas menimbrung kedua sahabatnya dan memilih duduk serta menonton TV. Tayangan televisi yang semakin lama semakin tak menarik membuatnya makin kesal setelah dia tak mampu membiaskan sakit dihatinya tadi. Dari ruangan ganti yang cukup dekat dengan posisinya duduk, Raja bisa mendengar bias suara Sei dan Tara yang mengobrol dan tertawa tawa disela perbincangannya. Raja tahu euphoria kebahagian pra pernikahan tengah memabukkan Sei saat ini, dan euphoria keterpurukan pra pernikahan gadis yang dicintainya justru tengah dialami oleh dirinya. Benar benar memalukan.
Tara keluar dari ruang ganti meninggalkan Sei sendirian disana. Dari sekilas yang didengar Raja, Tara harus mengambil beberapa ornament terakhir yang belum dipasang pada gaunnya. Sentuhan terakhir yang memang tak melekat pada gaun tapi merupakan bagian yang penting. Raja beranjak dari tempat duduknya dan memasuki ruang ganti. Pria itu yakin Sei tak mungkin masih telanjang saat ini, karena dia sudah cukup lama di dalam sana sehingga tak ada yang perlu di khawatirkan.
“Kebetulan, Ja!” Sei tampaknya senang Raja datang ke ruang tersebut. “Talinya lepas nih, boleh iketin?” pinta Sei seraya memunggungi Raja dan menarik rambutnya kedepan.
“Sure.” Kata Raja pelan.
Pria itu mengikatkan temali yang dibuat rapat menjalin bagian punggung gaun Sei. Dari balik tali temalinya yang tak cukup rapat untuk menutup seluruh permukaan punggung licin gadis itu, Raja melihat tiga buah tattoo yang menghiasi kulitnya yang tampak lembut. Seekor kelinci di belikat kanannya, sebuah pedang pada tulang punggung bagian atas, serta separuh gambar pada bagian tulang punggung bawah yang terbuka sebagian yang bisa Raja perkirakan adalah sepasang sayap, ketiganya dalam bentuk tribal tattoo.
Raja meninggalkan temali yang telah selesai diikatnya, lalu melingkarkan kedua tangannya dipinggang ramping Sei dan menumpukan dagunya pada bahu gadis itu sesaat setelah dia mengecup tattoo dibelikatnya. Sei sedikit gelagapan karenanya.
“Sorry. Please quiet for a minute.” Bisik Raja.
“Lu kenapa, Ja?’ Tanya Sei bingung.
“Lu tahu kan, gua lagi galau?”
Sei tersenyum dan mengangguk pelan. “Ada masalah sama cewek itu?”
“Yap. I guess it’s love mission imposible.”
“Why?” Tanya Sei, jelas terlihat khawatir.
Raja menghela nafas, risau.
“Why? Are you ignored?”
“No. She’s event don’t know.”
“So, why you didn’t say. She need to know, right?”
Raja menggeleng, “I don’t think so.”
“If you don’t, how she can understand that you in love with her?”
Raja membenamkan wajahnya di bahu Sei, “Gua ragu apa dia harus tahu sekarang ini.”
“Ya harus lah, kenapa sampe nggak harus?”
“She’s Getting married.” Raja menatap bayangan wajah Sei yang menatap wajah frustasinya lewat cermin. Wajah itu tampak bingung dan terpaku, “With my own best friend!” lanjuntya, nyaris berbisik.
Sei tak berkomentar sama sekali. Hanya terpaku menatap kosong pada Raja yang memeluknya makin erat. Genangan kecil di sepasang pelupuk matanya menambah kilau sorot mata tajamnya. Dan Raja justru terluka lebih dalam saat melihatnya. Tak seharusnya dirinya mengatakan hal tersebut didepannya. Raja memang merasa jatuh cinta pada Sei, tapi rasa sayangnya ternyata jauh lebih dalam dari rasa cinta itu sendiri. Kecewa yang diderita gadis itu, terasa lebih menyakitkan baginya saat ini, membuat hatinya menanggung sesal yang jauh lebih dalam dan tak pernah terbayangkan sebelumnya.
“Raja.” Sapa Sei pelan, pria itu mendongakan wajahnya yang menunduk menatap kosong pada temali di punggung gaun Sei yang ternyata belum terikat sama sekali. “Jangan bilang kalo barusan lu ngeblank lagi!?”
“Eh, Sorry Sei.” Katanya disertai tawa getir pelannya. Sementara jemarinya mulai mengikat temali yang dipegangnya sejak tadi.
“Lu baik baik aja kan?”
“Sure.” Kata Raja, berusaha tampak biasa. “Oke. Yuk temui Felix.” Lanjutnya. Lalu mengulurkan tangannya untuk menuntun Sei keluar dari ruang ganti. “Fel.” Kata Raja saat keduanya melihat Felix dan Mirza yang masih anteng berbincang.
“Weeiiii. Perfect!” gumam Felix, pria itu berjalan cepat menghampiri Sei, “Tara mana? Lengan sama sayapnya mana?”
“Ini.” Kata Tara yang baru tiba dengan membawakan sepasang lengan baju yang sengaja dibuat terpisah bersama sehelai kerudung panjang yang lebih menyerupai sepasang sayap saat terpasang bersama gaunnya.
“Ini dia, our Swan Princess.” Kata Felix tampak puas dengan hasil karyanya.
“Jangan sampai si Roa liat lu kayak gini sebelum kalian tiba di altar.” Kata Mirza.
“Ouu, gua jadi inget.” Kata Felix yang buru buru meraih tasnya yang diletakan di atas meja. “Ada titipan dari Roa.” Pria itu mengacungkan sebuah kotak beludru berwarna ungu magenta.
“Apaan tuh?” Tanya Mirza penasaran.
“Buka Sei.” Kata Felix. “That last thing you need to be princess of the day.”
Sei menemukan sebuah tiara didalam kotak tersebut. Jalinan platina yang menyusunnya membentuk seekor angsa yang membentangkan kedua sayapnya dengan bebas. Permata permata bening mengkilat menghiasi seluruh tubuh sang angsa yang berpendar saat tertimpa cahaya. Sei terpaku melihatnya, begitu pun Mirza dan Tara.
“Dia berusaha keras buat nyari seniman yang bisa wujudin desainnya itu.”
“Dia ngedisain sendiri?’ Tanya Tara takjub.
“Dia jago lukis loh, Ra.” Jelas Mirza.
“Wah, cocok banget ya kalian. Kamu juga melukis kan, Sei?” Tara berdecak kagum sementara Sei tak bisa menyembunyikan rasa harunya.
Raja menggertakan giginya kuat kuat melihat rangkaian peristiwa tersebut. Dia merasa dirinya begitu rendah karena terluka disaat teman temannya berbahagia dengan tulus untuk kebahagiaan Sei dan Roa. Pria itu meraih poselnya dan sedikit menjauhi keempat orang itu.
“Ya?” Kata Raja, membuat dirinya seolah olah tengah berbicara di telepon meski tak ada siapapun yang menghubunginya. “Kenapa, kenapa?’ kali ini dia membuat nada bicaranya sedikit terdengar panik sehingga teman temannya ikut meliriknya dengan khawatir, “Oke, gua kesana sekarang. Suruh mereka tunggu, 15 menit aja.”
“Kenapa Ja?” Tanya Felix saat Raja kembali mengantongi ponselnya.
“Ada cheking di Restaurant katanya.” Jawab Raja dengan kesal.
“Malem malem gini?” Mirza terlihat tak percaya.
“Nggak tahu lah, gua kudu kesana sekarang.” Raja terlihat Frustasi meski penyebab sebenarnya adalah atmosfir ruangan ini dan bukan restaurant seperti yang dikatannya. “Sei, lu balik sama Mirza ya?” lanjutnya. Sei mengiyakan dengan bingung. “Oke, gua cabut duluan. Sorry banget.”
“Oke, Sob. Hati hati lu.” Kata Felix sebelum Raja berhambur meninggalkan rumah Felix dan menyetir sekencang dia bisa menjelajahi rute rute jalanan sepi kota Bandung demi menghilangkan segala perasaan yang menyesak dan memberatkan hatinya yang disebabkan oleh Sei, Roa, cintanya, dan persahabatan mereka.
