Bab 10 Worst
Raja dan Felix berlari dengan terburu buru menyusuri lorong rumah sakit yang tampak sunyi. Lebih dari 15 menit yang lalu Felix mendapat kabar tentang kecelakaan yang dialami Mirza yang menggantikan Sei menjemput Roa dan orang tuanya di Bandara Husein Sastra Negara. Menurut kabar yang didengarnya, Mobil Mirza menabrak kereb pembatas median jalan saat hendak menghindari motor yang akan ditabraknya ketika menyalip dari belakangnya hingga terpelanting ke sisi jalan yang berlawanan dalam posisi terbalik.
Gumaman Panjang dan pendeknya doa tak henti hentinya meluncur dari mulut dengan bibir gemetar mereka. Suara Sei di teleponnya tadi benar benar membuat siapa pun yang mendengar akan gemetar ketakutan. Roa dan Mirza entah bagaimana keadaan mereka saat ini, padahal seharusnya mereka semua saat ini berkumpul dan seruan tawa bahagia yang tak akan kehabisan perasaan kesyukuran.
Hanya Sei yang duduk sendirian di depan ruang ICU. Sepertinya adik adik Roa belum ada yang tiba. Gadis itu duduk membungkuk menyembunyikan wajahnya dalam dalam diantara kelua lututnya yang dilipat didepan dadanya dengan dilingkari pelukan kedua lengannya.
Sungguh tak seperi Sei yang biasanya penuh kehidupan. Saat ini, gadis itu tampak seperti sedang menghadapi kematian yang mutlak tak akan bisa dikalahkan. Raja sungguh tak ingin melihatnya, tak berani melihatnya.
Saat langkah Felix dan Raja berhenti didekat Sei, keduanya bahkan seolah bisa saling mendengar debar kencang jantung mereka satu sama lain. Sei mengangkat kepalanya yang tertunduk dengan sangat perlahan, gerakan lemah yang kemudian menampakan wajah sendu yang teramat dalam dan menyakitkan. Gadis itu berhambur memeluk Felix dan menggemakan tangisan yang menyayat hati. Sementara seluruh tubuhnya gemetar dengan sangat hebat. Felix memeluknya dengan sebelah tangan yang tak digunakan untuk membekam suara tangis dari mulutnya sendiri. Mereka seolah sudah bisa memahami apa yang kini terjadi.
Raja dengan gontai melangkahkan kakinya memasuki ruangan yang sepi, hanya diisi suara ‘bip’ sesekali dari mesin monitor jantung yang menyala di salah satu dinding ruangan berbau tak menyenangkan itu. Tepat ditengah tengah dan berusaha mencuri semua perhatian. Hanya ada dua tempat tidur didalam sana, salah satunya menyangga tubuh Mirza yang tergolek penuh luka yang tebungkus perban dan ditempeli kabel kabel mengerikan. Salah satunya terhubung pada primadona yang rupanya berusaha menunjukan detak jantungnya yang lemah tak beraturan. Lalu di tempat tidur yang lain terbaring tubuh yang berselimut kain putih tipis dari ujung kaki hingga ujung kepala. Ragu ragu Raja menyibakan selimut yang menutupi wajahnya. Dan itu benar benar Roa tampak tersenyum damai dalam tidur panjangnya.
“HAH!” Raja menjerit sangat kencang saat menghembuskan nafasnya sekaligus yang sebelumnya terasa mencekik ditenggorak dan menghimpit didadanya. Sungguh terasa begitu sakit dengan tiba tiba disekujur tubuhnya, saat matanya terbuka dan membebaskannya dari mimpinya yang mengerikan.
Pria itu bangkit dan mendudukan dirinya, berusaha menenangkan diri. Sekujur tubuhnya terasa tegang dan dibasahi keringat dingin, sementara rasa lelah menyerangnya. Dengan gusar dia menyeka keringat yang juga membasahi wajah dan lehernya. Lalu kedua tangannya membekam tangis yang mulai menggeram didalam mulut dan kerongkongannya. Dan Raja membiarkan tangisnya mengisi seluruh ruangan kamarnya.
Mimpi itu bukan hanya sekali dia temui, bahkan kini semakin sering mengisi tidurnya. Seolah itu adalah pertanda. Antara peringatan untuk keselamat sahabatnya yang terancam. Atau kejahatan hatinya yang begitu ingin memiliki apa yang seharusnya jadi milik pria berhati mulia itu. Atau mungkin, itu justru pertanda bahwa keselamatan sang sahabat benar benar sedang terancam oleh dirinya yang tak bisa menahan diri dari perasaan ingin memiliki kekasih pria itu yang teramat dalam.
Menyadari hal itu Raja semakin menangis sejadi jadinya. Meringkuk memeluk tubuh gemetar yang bisa dipeluknya, mencari ketenangan untuk menyingkirkan perasaan dingin yang melingkupinya. Juga rasa jijik dan benci pada dirinya sendiri yang dinilai begitu keji.
Padahal dirinya begitu menyayangi Roa. Tapi malah dengan sangat, jatuh cinta pada Sei. Dan sesekali berharap pria itu tiada hanya untuk dirinya bisa bersama gadis itu. Dia bahkan pernah berfikir tak akan ragu menyambut dengan sepenuh hati jika saja Sei mungkin berpaling dari pria itu dan memberikan perasaan untuknya. Atau mungkin juga seandainya memungkinkan, dia akan bersaing dengan sahabat terbaiknya demi mendapatkannya. Benar benar sedalam itu perasaan yang dirasakannya saat ini, dan jelas pertama kalinya dia rasakan, yang dikarenakan oleh Sei, calon istri Roanya tercinta.
Tawa histeris kemudian menggema diruangan yang terasa begitu dingin dan penuh kesunyian. Bersahutan dengan raungan tangis yang semakin meninggi. Raja perlahan menikmati kepedihan yang dia sembunyikan selama ini seorang diri.
