Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 8 Thesis Defence

Raja dan Mirza hanya bisa meringis melihat cover skripsi tebal milik Sei yang berjudul “Analisis Faktor Kemacetan Pada Simpang Bersinyal Cikapayang”. Mereka tak menyangka, Sei dapat dengan lugas menyampaikan apa saja yang jadi penyebab kesemrawutan jalan tersebut. Dimulai dari kurang berfungsinya lampu lalu lintas disana, ketidak teraturan para pengendaranya, bahkan hingga detail volume motor dan mobil pribadi, serta trayek angkutan umum yang melintasinya.

Didalam presentasinya, Sei bahkan dapat menyebutkan, jumlah pasti trayek setiap angkutan umum yang melewati perempatan tersebut. Raja tak habis pikir, seberapa lama dia mengumpulkan seluruh informasi tersebut hingga mendapatkan detailnya seperti itu. Dan bagaimana dia bisa mendapat jumlah pasti trayek angkutan umum yang lebih dari lima jurusan tersebut. Dia membayangkan, Sei pastinya bertanya kesana kemari atau malah langsung bertanya pada para juragan angkot setiap jurusan.

Raja dan Mirza sama sama merasa lega, ketika melihat Sei yang menyalami para dosen pengujinya yang tersenyum penuh kepuasan dan kebanggan tehadapnya di balik jendela kaca tebal itu. Sei sepertinya benar benar menguasai materi skripsinya karena selama hampir dua jam masa presentasi hingga tanya jawab, gadis itu tak sekalipun tampak kesulitan. Memang hanya itulah satu satunya kunci sukses sidang akhir, menguasai materi sebaik mungkin, dan mengerti isi dari seluruh penjelasan didalammnya. Hanya orang yang mengerjakannya sendirilah yang mampu melakukannya dengan baik. Karena dengan begitu, informasi dan bahan pembelajaran terserap dengan baik dalam memori dan akan mudah disampaikan kembali saat proses sidang.

Sei masih mengobrol dengan para dosen penguji didalam sana saat ponselnya yang ditinggalkan bersama tasnya didekat Raja dan Mirza berbunyi lagi. Sejak tadi, ponsel itu sudah tiga kali berbunyi, dan baik Mirza atau pun Raja yang mengetahuinya tak satu pun berani melihatnya. Hingga saat keluar dari ruangan, mereka baru memberitahukannya, setelah keduanya mengucapkan selamat atas kesuksesannya yang langsung diungkapkan oleh dosen pembimbingnya sendiri yang keluar dari ruangan menyusul Sei bersama ketiga dosen penguji yang lainnya.

“Sampai ketemu di Yudisium Fakultas tanggal 7 nanti ya Sei.” Kata dosen pengujinya sebelum meninggalkan mereka.

“Yudisiumnya barengan si Roa balik dong.” Kata Mirza tiba tiba.

“Iya, tapi malem kok, biasa yudisium fakultas, semalam menjelang Wisuda. Telepon dari siapa sih? Padahal dilihat aja.” Kata Sei yang setelahnya mendapati keempat missed call tersebut berasal dari nomor milik Roa, “Si Roa doang, bisa diangkat aja tadi.”

“Mana berani, Sei. Hp gitu, Privasi neng.” Kata Mirza, “Punya cewek gua aja gua nggak berani.”

“Oh, lu punya cewek, ya!” goda Sei, seraya memasukan lagi ponselnya kedalam tas.

“Nggak sih, tapi dulu dulu waktu punya.” Jawab Mirza, terlihat gendok.

“Lu nggak nelepon balik si Roa?” Tanya Raja.

“Ntar aja dimobil ah, ribet.” Kata Sei, “Cabs yu, gua laper nih!”

“Laper lagi?” Tanya Mirza, “Bukannya lu tadi yang ngehabisin masakan si Raja.”

“Wajar dong, gua grogi tadi, nguras energi tuh.”

“Halah, bilang aja lu rakus.” Ledek Raja.

“Iya, oke. Gua rakus.” Kata Sei, “Puas?”

“Hati hati loh Sei, Roa bisa illfil kalo lu jadi menggelembung.”

“Oh ya? Terus gua kudu cemas gitu?”

“Nggak perlu.” Kata Raja, “Kalo si Roa ilfill sama lu, gua mau kok sama lu.”

Sei dan Mirza tertawa, “Iya dinks, gua juga mau.” Tambah Mirza.

“Bagus, berarti gua nyantei yah!” kata Sei, “Yo ah, cabut!”

Sei meninggalkan kampusnya bersama Mirza dan Raja dan membantunya membawakan laptop dan infokus yang sengaja dia bawa sendiri karena takut proses persiapan yang dilakukan dadakan di kampus membuatnya gugup dan kehilangan sebagian konsentarsinya. Beruntung dalam mobil Felix yang dibawanya ada infokus milik pria tersebut yang sengaja disimpan disana untuk persiapan jika Felix harus presentasi dimana saja tanpa pemberitahuan. Sehingga begitu memasuki ruang sidang, Sei, Mirza dan Raja hanya perlu menyiapkan layar proyektor dan mencari sambungan listrik saja, karena seluruhnya telah mereka persiapkan sejak awal.

“Hei, cowok nggak sabaran!” sapa Sei saat Roa menerima panggilan teleponnya. Roa meneleponnya lagi saat mereka sedang membereskan barang bawaan mereka di kursi paling belakang. Tapi Sei mengabaikannya dengan tenang, dan masuk kedalam mobil, seperti saat datang tadi dia duduk sendiri di kursi kedua mobil Felix yang begitu leluasa.

“Kemana aja, sih?” tanya Roa.

“Maaf. Baru selesai sidangnya. Pas lu telepon tadi, gua masih didalem.” Jelas Sei seraya menyuruh Mirza dan Raja tutup mulut sementara dia mengaktifkan loud speakernya.

“Bagus, lu beneran sidang heh?” kata Roa.

“Lu udah tahu ya? Dari Felix kan! Kemaren dia nelepon gua soalnya.”

“Yap. Kenapa malah dia yang ngasih tahu dan bukannya lu?”

“Karena gua lupa nyuruh dia buat nggak bilang sama lu.”

Raja dan Mirza tersedak tawanya sendiri saat mendengar jawaban Sei, sementara mereka membayangkan Roa yang pasti gemas dibuatnya.

“Gua baru mau bilang sama lu. Tadinya gua pikir biar lu tahu setelah selesai aja.” Kata Sei akhirnya menjawab dengar benar pertanyaan Roa.

“Kenapa harus setelah selesai? Kenapa nggak dari kemaren kemaren. Lagian saat gua nemuin lu dan tanya soal kuliah lu, lu bilang lu masih kuliah. So, pas kata lu dosen lu nggak masuk dan cuma ngasih tugas, lu bohong gitu?”

“Nggak bohong kok. Saat itu gua emang kuliah, tapi kelas khusus. Gua ikut ujian khusus mahasiswa tingkat akhir. Hampir sama kayak semester pendek. Makanya gua bete saat dosennya nggak hadir dan cuma ngasih tugas. Udah kuliahnya Cuma 4 kali pertemuan aja, bayarnya mahal, dosennya nggak ngajar lagi.”

“Oke soal itu oke, tapi soal sidang lu ini. Apa susahnya lu bilang sih. Gua ngerasa nggak guna tahu, jangankan ada buat bantuin lu, tahu aja nggak.”

“Gua tahu lu ada kok, nggak usah lebay ah. Toh ini bukan sidang pertama gua, lu tahu sendiri gua pernah pendadaran tugas akhir juga dulu di Diploma, jadi gua udah nggak dapet chemistry yang so wow lagi ngadepinnya.”

“Iya, sih, tapi...”

“Udah ah, nggak usah dibahas terus. Udah lewat kan. Gua juga udah dapet gelar S.T. gua sekarang.”

”Oke.” Kata Roa menyerah, “Congrat, Babe.”

“Dan lu sendiri?”

“Apaan?”

“Sebenernya lu nggak punya hak sewot sama gua Ro, lu sendiri nggak ngomong sama gua kalo lu juga sidang kan pagi tadi?”

Raja dan Mirza menahan tawa yang akan meluncur tiba tiba dari tenggorokannya.

“Lu tahu dari mana, si Felix juga?” tanya Roa kaget.

“Mirza yang ngasih tahu. Katanya tadi pagi pagi banget tante telepon minta bantuan doanya buat lu.”

“Mama!” keluh Roa, “Dan si Mirza langsung nyampein ke lu?”

“Iya.”

“Gaya banget dia bisa gampang nelepon lu, sementara gua susah banget.”

“Dia nggak nelepon kok. Dia nemenin gua disini dari tadi, sama Raja juga.”

“Mereka disana?”

“Iya. Mau ngomong sama mereka?”

“Nggak lah, salam aja buat mereka.”

“Udah nyampe, mereka denger sendiri tuh.”

Roa mendengus, “Dasar, jadi mereka dengerin kita ngobrol?”

“Boleh boleh aja kan, paling disitu juga ada Felix yang denger.”

Tawa Felix meledak lewat suara speaker phone, disusul suara tawa Mirza dan Raja yang membahana mengisi ruang dalam mobil.

“Sorry.” Keluh ketiganya berbarengan, lalu mereka tertawa lagi.

“Apa kabar bro?” tanya Mirza yang terdengar disela tawanya.

“Sialan!” gumam Roa.

“Hei. Ngumpat terus ah” Protes Sei, “Jadi gimana hasilnya?”

“Besok gua kasih tahu begitu gua dapet hasilnya.”

“Di tunggu.” Seru Raja penuh semangat. “Mamen, lu kudu balik buru buru. Kalo nggak gua yang jadi PWnya cewek lu tanggal 8 nanti.”

“Wisuda lu tanggal 8?” tanya Roa..

“Iya.”

“Mepet banget sih waktunya, Sei! Lu niat wisuda tanpa gua, ya?”

“Lu juga wisuda tanpa gua.”

“Lu mau dateng kesini?”

“Ogah, ngapain?”

“Buat datengin wisuda gua.”

“Ogah ah, lagian ntar lu kan udah ada disini, Ro. Tapi kalo emang lu terlalu cape gua nggak harus ditemenin PW kok. Cukup ibu sama papa aja. Toh PW bukan hal wajib juga kok.”

“Gua bakal ikut. Dan sekalian, ya?”

“Apa?”

“Saat gua nyampe Bandung ntar kita ngumpul semua buat omongin rencana kita sama ortu gua dan ortu lu sekaligus.”

“Gila, mereka belum pada tahu?” komentar Felix yang terdengar dari speker phone.

“Iya emang mereka gila.” Sela Mirza sambil tetap menyetir dengan tenang, “Bikin jantungan lu, Ro.”

“Sorry!” sesal Roa.

“Lu harus jelasin sama gua!” suara Felix terdengar lagi.

“Iya ntar gua jelasin.” Janji Roa.

“Jelasin tuh.” Titah Sei,

“Iya, ntar mau. Bawel ah, Sei!”

“Fel, lu jadi balik besok?” Tanya Mirza, menyela.

“Jadi, jemput gua ya? Tapi di Soeta.”

“Sama si Raja aja, ya! Gua mau ada tamu besok.”

“Jam berapa lu landing?” Tanya Raja.

“Jam tigaan.”

“Pagi?” Tanya Sei kaget.

“Sore lah, Beibz. Masa pagi sih?’ jelas Roa.

“Kirain.”

“Ya udah, besok gua sama Sei yang jemput, ya Sei?” kata Raja.

“Siip.” Kata Sei yakin. “Lu mau balik juga nggak Ro?” Tanya Sei sedikit menggoda.

“Ah, dasar lu mah. Sengaja manas manasin gua ya!” keluh Roa.

Sei melepaskan tawa pelannya, “Sabar ya pak, dua mingguan lagi.”

“Gua sabar sabarin. Tapi liat aja pas nanti gua balik. Habis lu.”

Felix, Raja dan Mirza tertawa berbarengan meledek mereka berdua.

“Eh, Ro. Udah ya. Kelamaan gua nelepon lu bisa bobol nih!” kata Sei kemudian.

“Oke oke, gua juga lagi nyetir nih. Miss you, babe. Take care ya!”

“Miss you too, bye.” Kata Sei lalu mematikan teleponnya.

Raja setia menoleh kebelakang selama Sei berbicara dengan Roa. Gadis itu tampak bahagia meski tak ditunjukan secara berlebihan. Dia ingat betapa Roa pun menunjukan binar mata yang sama saat menceritakan bagaimana Sei menerima lamarannya dan apa saja yang terjadi selama kebersamaan mereka dalam satu hari. Lalu dia tahu bahwa kepedihan yang menyelusup dihatinya terasa lebih memilukan dari pada duka duka yang pernah dia rasakan sebelumnya.

“Oh, iya Ja. Gua baru inget,” kata Sei tiba tiba, “Ceri bilang I podnya ilang. Katanya dia terakhir pake waktu di mobil lu. Lu ada nemu nggak?”

“Nggak tahu, belum ngecek. Gua pake mobil nggak pernah lihat lihat sih. Ntar gua cari, deh. Dia emang sempet ngecharge kok waktu itu, kelupaan mungkin setelahnya.”

“Oke, tolong ya.”

“Sip.”

“Dan nyonya mau makan dimana?” Tanya Mirza.

“Terserah, kalian mau makan apa, gua traktir deh hari ini.”

“Wiiiih.” Mirza menyambutnya dengan puas, “Minum yang rada ngebatu dong kita!?”

“Siang siang gini, nggak salah lu?” Protes Sei

“Dikit boleh lah. Mumpung free kita, oke? Sepuasnya ya, kapan lagi ditraktir ama lu.”

“Kalian orang kaya masih tega minta ditraktir ama gua.”

“Mau kaya mau nggak, di traktir tetep oke sama siapa aja.” Kata Raja.

“Yup! So Right.” bela Mirza. “Itu bukti pengakuan kalo kita sebagai friend, nggak ada batasan cemen macem status.”

“Terserah deh!” kata Sei tak acuh.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel