Bab 7 Early Morning
Raja menghabiskan waktunya sejak awal pagi tadi didapurnya yang leganya hampir seluas kamar tidurnya sendiri. Didapur kesayangannya inilah Raja selalu mengekspresikan dirinya menciptakan kreasi masakan baru hasil pembelajarannya selama bertahun tahun menempuh perkuliahan dan pelatihan. Raja selalu ingat pertama kalinya dia memasak untuk dirinya sendiri. Saat itu mami dan papinya yang selalu tak ada dirumah dan sibuk dengan urusannya sendiri tak pernah pulang selama lebih dari seminggu. Padahal Raja baru saja berusia 11 tahun, baru akan memasuki akhir tahun sekolah dasarnya. Hanya para pembantunya yang ada dirumah dan memenuhi segala kebutuhannya, entah mereka dengan senang hati atau tidak saat melakukannya. Yang pasti, mereka tak pernah mengganggu Raja saat anak itu mulai meraih pisau dan mengobrak abrik dapur untuk mencoba memasak untuk dirinya sendiri. Mereka bahkan tak pernah peduli ketika tajamnya pisau melukai tangan Raja secara tak sengaja saat dirinya mulai mengiris bahan bahan masakan.
Diusia semuda itu, Raja mendapati kenyataan bahwa papi diam diam telah menikah lagi. Sementara mami menanggapinya dengan biasa biasa saja, perselingkuhan sudah jadi hal yang tak aneh baginya diusia itu, dan yang dia tahu adalah dia pun tak ingin peduli karena sebatas untuk makan saja dia bahkan tak memerlukan keduanya juga para pembantunya. Raja bisa memasak untuk dirinya sendiri, masakan yang makin lama makin membuatnya kecanduan untuk terus dilakukannya sendiri, karena saat dia mulai memasak dia hanya bisa membayangkan rasa yang akan didapatinya nanti sehingga tak ada hal lain yang dapat mengganggu pikirannya. Tak ada yang perlu dikhawatirkan sama sekali selama tangannya masih bisa digerakkan dengan leluasa untuk meramu berbagai bahan dan bumbu dilemari esnya yang besar dan selalu terisi penuh bahan segar itu.
Hingga akhirnya dia memutuskan akan memasuki kelas tata boga saat masuk kuliah nanti, dia tak pernah risau dengan anggapan orang orang yang menyepelekannya karena beranggapan dapur itu spesialis perempuan. Kehadiran Felix, Roa dan Mirza yang diluar dugaan mendukung dengan tulus tekadnya itu, membuatnya semakin yakin bahwa menjadi seorang chef bukanlah hal yang sepele dan jauh dari kesan pria. Mereka meyakinkan bahwa dibalik rasa makanan yang disajikan, tersembunyi kekuatan dan ketangguhan yang bahkan lebih dari pada yang dimiliki oleh para atlet sekalipun.
Kini setelah lebih dari 4 tahun dia menggeluti profesinya, segala kejemuan masa kecilnya yang membawanya kedunia memasak ini tiba tiba saja berubah menjadi berkah yang selalu disyukurinya, meski dia tak mensyukuri papi yang meninggalkan mami demi istri mudanya atau mami yang tak peduli pada perselingkuhan papi juga nyaris tak peduli padanya, tapi dia mensyukuri ketidak pedulian mereka yang pada akhirnya berbuah kesuksesan dan kemandiriannya yang tak ternilai harganya. Hikmah dibalik rasa sakit, itulah yang selalu dia simpulkan dari kondisinya saat ini.
“Disini lu, ternyata!”
Suara Sei sedikit mengagetkannya. Konsentrasinya pada spons cake yang dibuatnya sangat penuh hingga dia sama sekali tak menyadari langkah kaki Sei yang mendekatinya seraya memanggil manggilnya sejak tadi.
“Ish, ngagetin aja lu.” Keluh Raja, pria itu mengusap usap dadanya dengan tangannya yang tak memegang kantung krim. Sebelum Sei tiba tadi, pria itu tengah membubuhkan garnish pada kreasi spons cakenya. “Ngapain lu pagi pagi udah nongol disini?”
“Mau minta tolong.” Ucap Sei seraya mencolek krim berwarna hijau lembut dimangkuk dihadapannya, “Lu sejak kapan disini, heh?” Tanya Sei, seraya melihat beberapa piring makanan yang dipajang Raja di Meja panjang disampingnya.
“Udah lama, gua nggak bisa tidur. Dari pada galau mending disini.” Jelas Raja lalu kembali pada cakenya yang hapir selesai.
“Galau. Ngapain galau? Kurang kerjaan.”
“Sekali kali boleh lah, butuh kok buat dorongan ke move on.”
Sei mengangguk angguk, dan sekali lagi mencolek cream yang sebelumnya dia cicipi.
“Lu mau minta tolong apa?”
“Lu nggak terima pesan gua ya?”
“Gua belum lihat Hp, tuh.” Raja merogoh seluruh saku pakaiannya, termasuk saku pada apronnya, “Malah, kayaknya ketinggalan dikamar.” Lanjutnya seraya menyeringai lebar dan menunjuk ke atas, kamarnya yang dilantai atas.
“Parah lu, autis abis!”
“Sorry! Gua nggak tahu bakal selama ini.” Katanya, saat melirik jam dia baru menyadari bahwa dia telah lebih dari 6 jam dia berkreasi didapur ini.
“Gua mau sidang hari ini. Temenin, ya!” Pinta Sei, “Mirza juga bentar lagi kesini.”
“Sidang akhir?”
Sei mengangguk, “Kenapa nggak bilang dari kemaren sih, lu?”
“Ngapain mesti bilang bilang?”
“Ya, secara, lu nyiapin sidang akhir, sekaligus nyiapin wedding lu juga.”
“Nggak masalah tuh, buktinya Skripsi gua Acc dan gua dapet jadwal sidang hari ini.”
Raja menggeleng pelan, “Salut, salut. Cewek gila lu!”
Sei hanya menyeringai menanggapi pujian aneh temannya itu.
“Udah sarapan?” Tanya Raja, Sei menggeleng pelan, “Cocok. Cobain deh! Lu jadi tester, malah ni cake belum gua kasih nama. Tapi pasti cocok banget buat breakfast.”
“Asik, dapet juga gua kesempatan jadi tester pertama lu.”
“Lu aneh.” Kata Raja seraya menyodorkan cake yang baru saja dibuatnya, “Orang malah pada males jadi tester.”
“Kenapa males, gua malah seneng, bisa makan gratis makanan yang belum pernah dimakan orang. Soal keracunan makanan, masa sih seorang dengan gelar chef bakal bikin orang sekarat, kecuali kalo itu tester makan kebanyakan sampe lambungnya meledak. Karena lu pasti juga belajar standar kesehatan bahan makanan, nggak mungkin lu setolol itu. Iya kan?”
Raja hanya tersenyum menanggapinya, “Udah, cicipin tuh!”
Sei melihat tiga kue berukuran kepalan tangan bayi diatas piring dihadapannya. Terdiri dari tiga warna berbeda dengan bentuk oval yang sempurna. Aroma kopi, coklat dan teh hijau yangt bercampur menyapa indra penciumannya, dan memberitahukan rasanya sebelum kue kue tesebut menyapa lidahnya.
Gadis itu memotong kue berwarna cokelat pekat dengan sendok ditangannya. Dia menduga akan mendapatkan rasa kopi dari potongan kue yang masuk ke mulutnya. Sei sedikit terkejut saat mendapati hanya rasa manis ringan gula jagung dimulutnya. Sama sekali tak berasa kopi yang dibayangkannya. Raja tersenyum senang saat melihat reaksi diwajah Sei, dan menyuruhnya melanjutkan mencicipi kue yang sama. Kali ini Sei tersenyum lebar mendapati rasa yang diinginkannya.
“Bisa aja lu.!” Seru Sei kagum.
“Kaget ya, lu?”
“Iya, gua kecewa banget waktu rasanya Cuma gitu doang, padahal aromanya kuat banget.”
“Surprise. Lu baru akan dapetin rasanya kalo lu makan bagian akhir kuenya.”
“Dan lu sengaja taro bagian yang berasa di dalem gitu?”
“Yap. Kecewa dulu, baru puas. Hidup juga asiknya kayak gitu. Kalo puas dulu baru kecewa, gendoknya suka lama.”
Sei tertawa lepas, “Tumben lu berfilsafat. Biasanya lu cuma bisa ngerayu.”
“Ngehek lu, nggak cuma ngerayu kok, gua juga bisa masak, kan? Dan emang cuma itu yang gua bisa.”
“Ish, galau! Kenapa sih?”
Raja menyeringai. “Kelihatan, ya?” Raja mengerling genit.
“Duuh, muka lu yang kayak gitu, unyu unyu deh.”
“Oh, ya? Gemes dong lu.”
“Bangeeeet.” Kata Sei, sedikit dibuat lebay.
“Gua juga, sama lu.”
“Maksudnya?”
Raja menghembuskan nafasnya yang terasa berat, “Gue interest sama lu, Sei. Kadang gua nyesel kenapa gua baru kenal lu. Andai dari lu, apa mungkin lu nggak akan sama Roa tapi justru sama gua.”
“Raja?” kata Sei, kikuk dan terdengar sedikit pilu.
“Sorry banget, Sei. Gua suka ama lu.”
Sei tersenyum kecut, “Telat, Ja. Gua udah sama si Roa sekarang. Coba waktu itu lu berani nyamperin gua dan bukannya biarin si Felix yang ngomong ke gua. Mungkin gua nggak akan mudah nerima lamaran Roa.”
“Maksud lu?”
“I’m enamed to you too. Sayangnya, lu nggak ngasih gua kesempatan buat hadirin lu, sebelum Roa dateng.”
“Serius?”
Sei mengangguk pelan, “Sekarang udah telat banget, Ja!” kata Sei seraya mengecup bibir Raja.
Raja memejamkan matanya, merasakan getir yang melingkupi hatinya. Kepedihan itu terasa nyata, dirinya memang tak bisa berbuat apa apa karena pernikahan Sei dan Roa akan segera dilaksanakan. Hanya tinggal dua minggu lagi Sei akan jadi istri Roa. Duka nyata itu justru mendekapnya disaat dirinya seharusnya berbahagia untuk sahabat baiknya. Namun setelah dia mengenal Sei diawal kedekatan mereka, Raja menyadari dirinya jatuh cinta. Cinta yang salah alamat, dan sangat tak tepat waktu.
“Ja? Are you oke?” Tanya Sei
Saat membuka matanya, Raja melihat Sei yang menatapnya dengan khawatir. Gadis itu tampak cemas dan bingung melihat sikap Raja yang tiba tiba berubah.
“Gua nggak apa apa.” Kata Raja akhirnya. Pria itu bersandar di meja dengan kedua tangannya menopang dikedua sisi tubuhnya. Dia menyadari sekali lagi khayalan telah menguasainya sesaat tadi. Khayalan yang makin sering menyergapnya seiring makin dekatnya waktu pernikahan Sei dan Roa.
“Bener? Ngagetin lu ah!” keluh Sei.
“Sorry, gua kurang tidur kayaknya. Lu tadi nanya apa sih, sebelung gua blank? ”
“Galau. Lu ada masalah?”
Raja tersenyum, “I’m falling in love.” Katanya geli, “Itu juga yang bikin gua sering blank akhir akhir ini.”
“Ish, cieeeeeeh!” goda Sei, “Cewek mana tuh? Hebat banget dia, bisa bikin lu kayak gini! Nggak kayak matematika dong dia?”
Raja tersenyum lagi. Itulah arti seorang cewek baginya selama ini. Matematik. Yang harus dipecahkan dan hanya menarik bila penyelesaian soalnya belum ditemukan. Tapi setelah solusi didapatkan, maka daya tariknya hilang dan bisa ditinggalkan begitu saja. Sama sekali tak berarti.
“Nggak banget, dia bukan buat dipecahin kayak soal matematik. Cuma itu yang gua tahu dari dia.”
“Aiiiih.” Goda Sei lagi, “Manteeep, good luck bro!”
“Ja!” panggil Mirza yang baru saja masuk kedapur. Pria itu yakin Raja ada disini karena dia tak menemukan temannya itu dikamarnya, “Bener kan lu udah disini juga, Sei. Parkir seenaknya aja lu!”
Sei menyeringai “Sakau tadi gua makanya buru buru, nih gua nebeng sarapan disini.”
“Mana mana? Gua mau juga dong!” kata Mirza yang kemudian mencomot satu buah kue berwarna hijau dari piringnya. Reaksi Mirza hampir sama dengan Sei tadi. “Makanan baru, Ja?”
“Yup. Buat wedding dia nanti.”
“Oke nih. Bisa aja lu.” Puji Mirza setelah mencicipi satu potong kue buatan sahabatnya, Raja tersenyum bangga mendengar pujian keduanya. “By the way, jam berapa lu sidang?” Tanyanya pada Sei.
“Jam 10. Masih ada waktu dua jam, kurang.”
“Busyet!” seru Mirza, “Kalian ini kompakan banget sih.” Lanjutnya, Raja dan Sei mengernyit heran. “Lu sama si Roa maksudnya.”
“Kenapa?” Raja yang bertanya lebih dulu.
“Lu belum ketemu HP lu ya, dari tadi?” tanya Mirza, Raja mengiyakan. “Tante Indri nelepon gua tadi, katanya nelpon lu nggak diangkat terus, si Roa lagi sidang sekarang.”
“Sidang Tesis?” Tanya Sei.
“Yup. Jam 10 waktu Tokyo. Gila nggak tuh, jodoh banget deh pokonya kalian.”
“Udah telepon si Felix?” Tanya Raja, “Sama dia nggak?”
“Felix nemenin disana, sejauh ini lancar lancar aja katanya. Cool kaya Roa yang biasa. Ntar kalo udah selesai dia bakal ngabarin lagi.”
“Syukur deh.” kata Sei.
“Ya udah deh, kalian makan aja dulu tuh, suka suka.” Kata Raja, “Gua prepare dulu, biar langsung cabs buat sidang lu.”
“Oke.” Kata Sei penuh semangat.
