Bab 6 Two Sisters
Raja menuntun Ceri memasuki kantor Mirza yang lagi lagi membuat Ceri kikuk. Ruangan kantor yang terletak digedung tinggi itu memiliki suasana asing yang cukup membuat sikap Ceri terlihat canggung. Raja menjelaskan pada gadis itu bahwa gedung itu merupakan apartement dan Mirza membeli satu unit sebagai kantornya. Ceri makin terlihat gugup saat memasuki lift dan gadis itu sempat menggandeng lengan Raja dengan kuat huingga mereka keluar dari Lift.
Kantor Mirza cukup dekat dari Lift, ruangan tersebut berpintu kaca dan berukuran luas. Seorang gadis yang duduk dimeja dekat pintu masuk menyapa Raja dengan akrab saat mereka berdua masuk. Ceri melihat kakaknya duduk bersama seorang pria didepan komputer saat Raja membawanya masuk ke salah satu ruangan yang terletak di bagian paling dalam ruangan kantor.
“Teteh.” Ceri berlari kecil menghampiri Sei yang menoleh saat mendenger pintu terbuka. Gadis itu mencium tangan Sei sebelum Sei merangkulnya.
“Lama banget sih, kemana aja?” Tanya Sei, seraya melirik pada Raja.
“Sesuai perintah, yang mulia, nemuin Tara dan makan siang.” Jelas Raja sedikit menggoda..
Sei tersenyum menanggapi candaan Raja, “Terus kenapa tangan kamu dingin, Cer? Keringetan lagi!”
“Lift.” Kata Ceri pelan.
“Lu bawa dia naik lift?” Tanya Sei pada Raja lagi.
“Iya. Kenapa, dia phobia sama lift?” tanya Raja.
“Ruang sempit.” Jawab Sei.
“Sorry, soalnya gua nggak tahu. Ceri juga nggak protes sampai kita udah masuk.”
“Kenapa kamu nggak bilang aja, Cer?” Tanya Sei pada adiknya yang terdiam. “Ya udah, mau minum?” Tanya Sei lagi. “Lain kali bilang kalo nggak suka atau nggak mau.”
Mirza bangkit dari tempat duduknya dan menghampiri meja yang terletak agak jauh disampinya. Pria itu meraih telepon dan memanggil seseorang keruangan yang langsung datang hanya selang beberapa detik setelah Mirza mematikan teleponnya.
“Lu mau minum apa, Ja?” Tanya Mirza, “Ceri mau minum apa?” lanjutnya pada Ceri denga suara yang lebih ramah.
“Vodka ada nggak pak?” goda Raja.
“Sialan lu, siang gua nggak jual.” Jawab Mirza meladeni candaan kawannya.
“Espresso aja deh. Yang kental ya Fara.” Kata Mirza pada gadis yang dipanggil Mirza lewat telepon tadi, seperti biasa sikap Raja genit dan menggoda.
“Ceri mau apa?” Tanya Mirza lagi.
“Apa aja deh, Ceri masih kenyang soalnya. Malah kekenyangan.”
Sei dan Mirza serta Raja tertawa mendengarnya, “Lemon tea aja ya?” Tanya Sei pada adiknya, “Biar cepet turun makannannya.” Lanjutnya, Ceri mengangguk dan Fara mengiyakan sebelum dirinya berlalu.
Ceri terdiam menatap pada kakaknya. Ketiga orang didekatnya hanya diam juga menatapnya. Sei tahu apa yang membuat Ceri canggung seperti itu. Maka gadis itu menuntun Ceri dan mendudukannya di sofa yang menghadap ke jendela kaca besar dimana panorama Bandung Tengah terlihat membentang dari ketinggian 29 meter.
“Ceri, tunggu dulu bentar. Biar teteh selesein dulu kerjaannya sama Mirza, baru nanti kita ngobrol.”
“Iya.” Jawab Ceri pelan.
“By the way, itu Mirza.” Kata Sei seraya menunjuk Mirza yang melembaikan tangannya pada Ceri, “Dia masih temen teteh dan Raja. Temennya a Roa.”
Sei sibuk bersama Mirza juga Raja setelahnya. Kehadiran Fara yang membawakan minuman mereka tak mampu menyela konsentrasi mereka pada layar computer yang ditekuninya. Ceri dapat melihat beberapa view konsep ruangan yang tengah mereka lihat lihat. Dan tumpukan kertas yang tampak jelas seperti undangan tertangkap oleh matanya saat Ceri melihat sekeliling ruangan. Diletakan di rak tinggi disamping sofa yang didudukinya, tepat di bawah LCD TV. Ceri berjalan menghampirinya dan meraih salah satunya.
Gadis itu tersenyum saat mendapat warna warna pastel berkilau lembut itu ditangannya. Kertasnya yang kaku dan tebal serta keras, lumayan berat untuk sebuah undangan mengingat ukurannya yang tak lebih besar dari amplop long size. Didalamnya terdapat 3 lipatan kertas yang lebih tipis dengan warna senada dimana nama kakaknya bersanding dengan nama Roa. Angsa putih yang tengah terbang bebas diatas danau menjadi background kalimat undangan didalamnya, dibuat setipis mungkin namun jelas terlihat indah. Dan wangi lavender menyeruak lembut sejak undangan tersebut dibuka.
“Cer!” panggil Sei pada adiknya, Ceri melihat Sei telah duduk di Sofa yang tadi dia duduki sementara Mirza dan Raja duduk di sofa di kedua sisinya.
Ceri menghampiri kakaknya dengan membawa undangan ditangannya. Dengan sikap yang sopan melewati Mirza kemudian duduk disebelah kakaknya. “Kayaknya teteh udah sangat siap ya?” Tanya Ceri.
“Persiapannya udah sejak bulan kemaren, dek!” jelas Sei.
“Dan teteh nggak bilang sama sekali.”
“Iya maaf.”
“Temen temen teteh juga, nggak ada yang ngingetin teteh untuk bilang sama kita? Malah dengan tenang bantuin teteh!”
Raja dan Mirza hanya saling pandang mendengar statement Ceri, Sei meringis menatap keduanya. “Mereka malah nggak tahu kalau teteh belum bilang sama kalian.”
“Iya?” Tanya Ceri kaget. Sedikit merasa bersalah sempat menyalahkan mereka.
Sei mengangguk.
“Maaf kak!” sesal Ceri menatap Mirza dan Raja bergantian.
Raja hanya tersenyum lebar pada Ceri, sementara Mirza mengusap usap kepalanya, “Is, ok. Dek. Nyantei!”
Ceri menatap lagi kakaknya, “Teteh ini serius? Ceri nggak habis pikir sama teteh. Baru aja kemaren teteh bikin ibu sama papa syok saat teteh bilang teteh pacaran sama a Roa. Belum lagi setelahnya a Roa nelepon papa dan bilang mau serius sama teteh.”
“Dan mereka udah ngasih restu kan.” kata Sei.
“Iya tapi bukan berarti teteh bisa menikah diam diam kayak gini.”
“Teteh nggak akan nikah diem diem, Cer. Undangannya aja segitu banyak, gimana diem diemnya? Cuma persiapannya aja yang nggak teteh ributin. Teteh sama a Roa maunya kalian tahu nanti aja, begitu semua udah siap.”
“Oom Yan sama tante Indri juga belum tahu?”
Sei menggeleng, “Semua keluarga a Roa juga belum tahu. So, teteh minta jangan bilang apa apa dulu sama ibu dan papa. Biar teteh bilang sendiri nanti.”
“Terus, kapan menikahnya?”
“Bulan depan, tanggal sebelas.”
Ceri mengernyit, “Teteh ini kelewatan ah. Kurang dari sebulan lagi dong teh!”
“Iyap. Dua puluh enam hari lagi.”
“Terus kapan teteh akan bilang?”
“Nanti, saat a Roa udah balik. Kita akan ngobrol sama sama. Sama keluarga kita, sama keluarga a Roa juga.”
“Bentar, kata teteh a Roa pulang tanggal tujuh November kan?” Tanya Ceri, Sei mengiyakan, “Itu H min berapa, teh, Cuma H-4. Teteh ngaco deh.”
“Nggak, udah deh. Kamu nurut aja.”
“Teteh yakin gitu, bakalan baik baik aja?”
“Yakinlah, oke? Diem dulu ya!”
Ceri mengangguk.
“Good. Thank’s Dek!” Sei memeluk adiknya sesaat. “Oke, sekarang kamu mau nginep, apa mau pulang?”
“Pulang lah. Ceri nggak bilang nginep sama ibu.”
“Oke, janji ya nggak bilang dulu.”
“Iya.”
“Salut deh sama Ceri!” kata Mirza yang turut merasa lega setelah menyimak obrolan kakak beradik itu, “Bisa tahan punya kakak segila dia.” Lanjutnya saat Ceri tampak bingung oleh pujiannya.
“Sialan lu, Za!” maki Sei.
“Emang, dia hebat kok Sei.” Bela Raja, “Kalo gua yang jadi dia, udah gua tendang lu!”
“Tendang aja kak.” Cetus Ceri, “Kali kali, biar rada waras.”
Sei memeluk adiknya dengan sebelah tangan, “Iya maaf kalo teteh suka agak kelewatan.”
“Nggak dimaafin. Enak aja.”
“Loh, harus lah! Teteh kan udah minta maaf. Etikanya kalo ada…”
“Kalo ada orang yang minta maaf, harus dimaafkan. Karena orang itu udah berani dan rela nurunin gengsinya buat ngakuin kesalahannya.” Ceri menyela kakaknya dengan kerlingan jengkel, “Iya inget.”
Sei tertawa bersama Mirza dan Raja. “Bagus ya!” kata Mirza geli, “Lu yang ngajarin Sei. Parah lu!” protesnya.
“Ngomong ngomong, Ceri mau balik jam berapa?” Tanya Raja.
“Sekarang lah, ntar kemaleman nyampe rumahnya.” Kata Ceri.
“Berani pulang sendiri nggak?” Tanya Sei, saat melirik jarum pendek jam yang sudah hampir menunjuk ke angka lima. Bagaimanapun, rumah orang tua Sei yang terletak di daerah kabupaten menempuh waktu lebih dari satu jam dari tempat ini.
“Ntar biar dianterin aja, Sei.” Saran Mirza, “Gua bisa nyuruh anak anak buat nganter sampai rumah.”
“Sip, bagus kalo gitu. Ceri bisa nyantei dulu bentar. Yah, Cer, ya? Ntar teteh teleponin ibu biar nggak khawatir.”
Ceri mengangguk pelan.
