Bab 4 Sister of Resembles
“Teh.” Kata Ceri saat Sei menerima teleponnya. “Apa bener yang Ceri denger kalo teteh akan menikah? Kapan?” tuntut Ceri.
“Iya, Cer. Nantilah teteh cerita, sekarang kamu dimana?”
“Lagi di jalan sama kak Raja, katanya mau nganterin dress teteh. Ceri disuruh ikut dulu karena udah tanggung dateng.”
“Iya udah, ikut dia dulu biar sekalian kamu bisa diukur langsung buat bikin gaunnya. Nanti juga Raja kesini kok.”
“Nanti teteh jelasin ya!” tuntut anak itu.
“Iya nanti teteh jelasin. Sekarang teteh boleh ngomong dulu sama Raja?”
“Bentar.” Ceri menyerahkan teleponnya pada Raja.
“Iya, Sei?” Tanya Raja tenang, sebelah tangannya dengan mantap mengendalikan stire mobil yang dipegangnya.
“Gimana kondisi ade gua?”
“Ya syok lah, gila aja lu. Lu nggak bilang?”
“Nggak, belum. Baru kita kita aja yang tahu.”
“Berlima doang maksudnya? Sarap lu beneran.”
Sei tersenyum pelan, “Sorry ya ngerepotin, lu tahu banget kayaknya apa yang harus di lakuin.”
“Apaan?”
“Tuh, lu ngajak dia ikut lu, karena lu tahu dia bisa aja bilang sama keluarga yang lain kan kalo langsung lu biarin balik.”
“Lu juga mikir gitu, ya.”
“Iya, gua lupa tadi soal dia bakal ngelihat gaun gua.”
“Wajar, lu sibuk banget.”
“Ya udah, sampe ketemu entar disini ya!?”
“Siip.”
“Dan, Ja!” Sei setengah berteriak karena Raja bermaksud menutup teleponnya.
“Oi, kenapa lagi?”
“Titip ade gua, ya. Tanya makannya, dia punya maag kronis tuh.”
“Beres.”
“Thanks.”
Raja menyerahkan kembali ponsel milik Ceri. Sekilas lirikannya menjelaskan anak itu masih bingung dan tak percaya dengan kenyataan yang didapatnya. Dia hanya memberengut dan tak banyak bicara, persis seperti Sei kalau dia sedang kesal. Raja tak habis pikir, bagaimana bisa dua orang yang tak kembar identik bisa nyaris sama seperti mereka. Andai saja rambut Ceri dibuat lebih panjang dan ketegasan serta garis keras ditambahkan pada wajahnya yang polos itu, Ceri dan kakaknya pasti sulit dibedakan.
Raja membelokan mobilnya memasuki halaman depan rumah Felix, gerbang rumah itu memang selalu dibiarkan terbuka jika siang hari, sehingga dirinya tak perlu bersusah payah membuka gerbang sendiri atau menunggu dibukakan. Pria itu turun setelah mengajak Ceri turun bersamanya, dan mengambil gaun Sei yang diletakan di kursi belakang dengan tas kertas yang dibawakan Ceri dari rumahnya tadi. Ceri menawarkan diri membawakan tasnya saat melihat Raja kerepotan membawa gaun sekaligus tas yang keduanya sama sama besar.
“Thank’s.” kata Raja. “Ayo masuk.” Lanjutnya, dia sendiri berjalan duluan ke pintu masuk dimana seorang gadis sebaya Raja menunggunya.
“Lama banget Ja.” Kata gadis itu, “Hei, siapa nih. Mirip banget sama Sei!”
“Ini adenya, Ceri. Kenalin, Ra!”
“Hallo!” sapa Tara pada Ceri, “Aku Tara, kamu mirip banget sama Sei deh. Cuma beda rambut sama usia pastinya, kamu lebih muda.”
Ceri tersenyum kikuk.
“Ayo masuk, yo!” ajak Tara, sementara Raja sudah masuk lebih dulu dan naik kelantai atas yang jadi zona pribadi milik Felix.
“Ini, kak. Baju baju yang diminta teteh kemarin.” Kata Ceri saat dia berjalan menyusul Raja bersama Tara.
“Oh, iya. Kemaren aku yang minta dibawain buat contoh ukuran. Tapi karena kamu udah dateng, mending kamu diukur langsung aja ya.”
Ceri mengiyakan. Gadis itu terlihat sangat kikuk. Tara tak membuang waktu, begitu keduanya tiba di ruang kerja, Tara langsung meminta Ceri melepas celana jeans dan sweater rajut tipis yang dikenakannya, dan menggantinya dengan sebuah daster berbahan satin tipis setinggi paha.
“Nggak usah malu malu. Nanti juga kalo menikah kamu kayak gini.” Kata Tara, saat Ceri makin terlihat kikuk karena pakaian yang dikenakannya sementara Raja berada bersama diruangan itu. “Yang namanya ngukur itu kan, harus bener. Kalo kamu masih pake celana jeans dan sweater kayak tadi, ukurannya bakalan jadi lebih gede dari pada badan kamu.”
Ceri mengangguk angguk mengerti.
“Lagian yang namanya gaun kalo kedodoran kan nggak bagus ya.” Lanjut Tara lagi.
“Teteh sama a Roa, udah bilang sama kakak kapan mereka akan menikah?” Tanya Ceri, Tara yang terkejut berhenti mengukur dan menatap dengan bingung pada Raja.
Raja menggeleng pelan, “Pastinya nunggu Roa balik lah. Dia masih di Jepang tau kan?”
“Iya tahu, tapi menikahnya di sini kan?”
“Ya di gedung lah masa disini.” Goda Raja, Ceri mendelik kesal.
Tara yang sudah reda dari kekagetannya tersenyum melihat sikap Raja yang mulai genit seperti biasa dia bertemu gadis yang baru, “Maksudnya di Bandung?” Tara mendongak melihat Ceri yang mengangguk, “Iya di Bandung.”
“Ceri pikir akan di Jepang karena A Roa disana.”
“Emang kenapa kalo menikah disana?” Tanya Raja.
“Ya Ceri pasti nggak akan ada disana.”
“Kenapa?”
Ceri menggeleng, “Yang penting nggak disana.” Katanya, “Tapi kapan sih menikahnya? Kenapa udah sesiap ini tapi keluarga belum ada yang tahu satu pun. Lagian kenapa malah kalian yang tahu lebih dulu? Padahal kalian temannya sementara kami keluarganya. Idealnya kan nggak gini! Teteh bener bener kelewatan.”
Tara tersenyum mendengar gerutuan Ceri, dia menerka nerka usia Ceri yang menurutnya belum sampai 17 tahun, gadis itu yakin saat dewasa nanti Ceri akan semenarik Sei. Pola pikirnya, tutur bahasanya dan sikapnya yang di luar dugaan benar benar duplikat dari kakaknya. Tara jadi berfikir mungkinkah Ceri secara alami tumbuh menjadi seperti ini, ataukah karakternya sudah dibentuk oleh Sei agar menyerupai dirinya.
“Udah!” kata Tara. “Gih, kamu boleh ganti baju lagi.”
Ceri tak banyak bicara, gadis itu berlari kecil ke ruangan di pojok belakang yang tadi dia gunakan untuk mengganti bajunya dengan daster yang dipakainya sekarang. Disana pula Ceri meninggalkan bajunya.
“Jadi Sei belum bilang sama keluarganya?” Tanya Tara pada Raja setelah ia merapikan peralatan ukurnya.
“Kayaknya sih gitu.”
“Roa juga?”
Raja Bergidik. Pria itu memang tak tahu menahu. “Gua dan kita semua selama ini Cuma nyiapin aja kan, nggak pernah tahu gimana dibelakang.”
“Kalo gitu mungkin emang nggak ada masalah yang perlu dikhawatirin. Kamu udah tahu banget kan gimana Roa, sekarang Sei juga setelah mulai kenal nampak sama kaya Roa. “
“Iya, dua duanya sama sama brilliant, yang saking briliantnya kadang malah jadi ngaco. Ampun deh, pasangan yang bener bener menghawatirkan. Bisa bisa dunia kiamat lebih cepet gara gara mereka.”
“Apaan sih kamu, Ja. Serem ah ngomongnya.”
“Ya habis, lu lihat sendiri, ulah mereka selalu aja bikin jantungan.”
“Ahem.” Suara gumam kecil terdengar dari belakang mereka, Raja dan Tara melirik Ceri yang sudah selesai berganti pakaian.
“Oh, udah ya?” Tanya Tara.
“Kalo gitu kita pergi deh, Ra. Si Sei udah nungguin.”
“Oke. Yo, dianter sampe pintu.” Tara merangkul bahu Ceri dan mengiringinya hingga teras depan rumah, “Hati hati ya. Salam buat Sei.” Kata Tara sebelum Ceri masuk mobil, “Hati hati nyetirnya Ja.”
“Iya. Tenang!” protes Raja, “Lu sendirian dirumah?”
Tara mengangguk, “Fei bikin mami lebih banyak di tempat Abang selama ngerjain projectnya Sei. Mami suka ribut banget sih.”
“Wah, berarti bener keluarga Roa juga sama sama belum tahu kalo gitu.”
“Kayaknya sih, dan Fei nggak ngasih tahu apa apa.”
“Ah, dasar si Felix, bajingan.”
“Hush!” protes Ceri, gadis itu meringis saat Raja dan Tara menatapnya. Dia keceplosan mengeluarkan protesnya begitu mendengar Raja melontarkan kata makian. “Maaf, nggak sengaja.” Sesal gadis itu malu malu.
Raja dan Tara tersenyum geli, “Gua yang Sorry, nggak bisa nyaring bahasa.” Sesal Raja.
Ceri menggeleng pelan.
“Udah ya, Ra. Kita pamit. Salam buat mami kalo ntar balik.”
”Oke, hati hati.” Kata Tara, “Bye Cer…kapan kapan main kesini lagi, ya!”
