Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 3 Little Girl

Raja berjalan santai kembali memasuki rumah kos kosan Sei yang sudah dia kenal baik itu. Sejak bulan lalu baik dirinya, Mirza atau pun Felix sudah sangat sering keluar masuk rumah berukuran luas itu. Suasananya yang selalu ramai itu, membuatnya sedikit iri karena di rumahnya dia tak pernah mengetahui suasanan sehangat dirumah ini. Para penghuni kos lainnya, sudah mulai berani menyapa mereka bahkan sejak kedatangan mereka yang pertama di tempat ini. Baik penghuni pria atau wanita, semuanya tampak ramah dan bersahabat, penuh dengan sikap kekeluargaan. Raja hanya bisa tersenyum mengingat jalinan kekerabatan sering kali jauh lebih mudah terjalin dengan orang asing dari pada dengan kerabat dekat sendiri. Sei sendiri pernah mengatakan hal tersebut saat dirinya bertanya pada gadis itu kenapa dia bisa begitu dekat dengan teman teman satu kosnya, bahkan semuanya.

Pria itu membuka pintu kamar bergambar pohon kayu yang berpintu dengan kunci yang pagi tadi diberikan oleh Sei padanya. Pertama kalinya Raja masuk kekamar ini, dia hanya bisa ternganga takjub karena seluruh sudut ruangan ini begitu penuh oleh lukisan, tentu saja Raja makin kagum saat tahu Sei sendiri yang melukis seluruh lukisan di dalam ruangan ini yang entah ada berapa jumlahnya. Tak heran kalau tubuhnya dipenuhi tattoo seperti yang dia tahu, karena anak itu memang begitu mencintai seni, terutama seni lukis. Kamar ini dan bagian tubuhnya yang bertattoo itulah ekspresi kecintaannya pada lukisannya. Tak ubahnya seperti Roa, tattoo baginya jadi bukti bahwa keindahan lukisan layak dinilai bahkan setinggi rasa sakit yang dideritanya saat proses tattoo ditempuhnya. Itulah yang pernah dikatakan Roa pada Raja dan kedua sahabatnya yang lain.

Raja kehilangan semangatnya seketika karena Roa terlintas dalam pikirannya. Dengan malas pria itu masuk kedalam ruangan dan langsung menghampiri gaun pengantin yang tergantung di pintu lemari Sei. Raja berdiri didepannya, menatapnya berlama lama, dan membayangkan bagai mana bila Sei mengenakannya. Dia pasti akan terlihat sangat cantik. Meski gadis itu selalu berkata dia merasa tak cukup cantik apalagi untuk ukuran pria setampan Roa, tapi dimatanya, juga dimata Roa terutama, dan Felix serta Mirza, Sei adalah gadis yang cantik karena dia seorang gadis yang menarik. Dia pintar, bahkan dalam banyak hal. Dia mandiri, kuat dan tegar, dia juga ramah dan menyenangkan. Sangat sulit menilainya tidak cantik. Dan itulah yang membuat Raja tertarik pada calon istri sahabatnya itu, bahkan sejak pertama kalinya dia melihat Sorot mata gadis itu yang tajam dan seterang terangnya menunjukan bahwa dia gadis yang istimewa.

“Ngga tahu diri.” Gumam Raja saat seluruh pikiran tersebut terhenti. Pria itu dengan frustasi memukul mukul keningnya sendiri.

Raja meraih gaun tersebut, membelai bagian depannya yang penuh dengan ornamen dari kain berwarna warni transparent yang dibuat berbentuk menyerupai bulu angsa. Roa meminta Felix untuk membuatkan gaun Sei dengan konsep Barbie of Swan Lake. Sei memang menyukai cerita cerita Barbie Movie, terutama Princess dan Fairies. Dan dari seluruh film yang ada yang paling disukainya adalah Odette si angsa. Entah dari mana Roa dapatkan informasi tersebut, yang pasti, Sei terkejut setengah mati saat Felix menunjukan gaun rekomendasinya dari sekian banyak desain gaun yang dia buat sendiri.

“Ja! ngapain lu malah bengong gitu?”

Raja menoleh ke pintu masuk, dimana Sei berdiri disana, “Sei? Ngapain lu disini?”

“Ini kamar gua, loh. Lu inget, kan?”

“Iya, tapi lu kan tadi sama si Mirza.”

Sei menghampiri Raja, “Iya, tapi gua khawatir sama ade gua. Dia rada pemalu, takutnya gimana gitu sama lu. Jadi gua bilang Mirza, gua kesana ntar kalo udah ketemu ade gua.”

“Oh, iya. Ade lu mau kesini juga. Gua kelupaan.”

“Ah payah lu, pelupa banget jadi orang.”

“Iya, ya. Sorry, banyak pikiran nih gua.”

“Oh, ya? Gua pikir lu nyantei banget tuh jadi orang. Apa sih yang lu pikirin? Jangan jangan lu kepikiran pengen kawin juga ya?” Sei tersenyum genit, tampak manis dan hangat seperti biasanya.

Raja tersenyum kecut, “Apa yang bikin lu mikir kayak gitu?”

“Lu sendiri. Pas gua dateng tadi, lu ngelihatin gaun gua seolah lu lagi berandai andai.”

“Ish, lu bisa aja. Masa gua berandai andai ngelihat baju ginian. Eiks cowok tulen cyiin, nggak pengen pake ginian.” Raja menunjukan sikap feminim yang lebay dan jelas dibuat buat, Sei tertawa melihatnya. “Gua tadi lagi mikir, gua nggak sempet lihat lu waktu fitting tadi.”

“Habis lu datengnya siang sih. Telat bangun ya?”

“Iya, biasalah. Dikasih tahu berangkat jam tujuh jadi gua pikir bangun setengah tujuh juga masih aman.”

“Kok kayak nyesel gitu sih lu? Ntar juga di wedding gua lu lihat kan.”

“Iya sih. Lu bener.”

“Lu penasaran yah?” Sei tersenyum lebar, “Ya udah sini gua pake, sambil nungguin ade gua.”

Sei menutup pintu kamarnya hingga hanya sedikit saja yang terbuka, berupa celah kecil antara daun pintu dan kusen. Lalu gadis itu meraih gaunnya yang tergantung dan melepaskannya dari gantungan berbentuk bagian depan tubuh perempuan itu. Tanpa malu malu Sei melepas blusnya di depan Raja, dan seolah tanpa perasaan kikuk dan canggung meski gadis itu nyaris bertelanjang dada di hadapannya. Sei kemudian mengenakan gaunnya, sedikit bersusah payah karena underyoke-nya telah menyatu dengan roknya sehingga tampak menggelembung dengan sempurna. Gadis itu pun kemudian mendekat pada Raja dan berbalik sehingga memperlihatkan bagian punggungnya yang terbuka.

“Tolong iketin dong, Ja. Gua nggak bisa sendiri nih.” Katanya, Raja melihat bagian belakannya yang ditutup dengan mengikatkan jalinan temali yang memusingkan.

Raja ragu ragu meraih sepasang tali yang menjuntai dan harus diikatnya itu. Dia melihat kedua tangannya berkeringat dan gemetar sejak Sei melepas blusnya tadi. Saat itu ada perasaan ingin memeluk Sei yang dirasakannya, namun seluruh tubuhnya lemas dan gemetar seperti saat ini.

“Lu kok gemeter?” Tanya Sei, Saat Raja tengah berusaha mengikat tali bajunya.

“Gua…? nggak kok.”

“Apa gua bikin lu gugup? Bikin lu gemeter? Atau bikin lu berkeringat dingin?” Tanya Sei, gadis itu berbalik saat merasakan talinya telah terikat dengan kuat. “Apa iya?”

Raja mengangguk pelan.

“Itu artinya lu jatuh cinta sama gua?” kata Sei, dengan nada menggoda, sementara wajahnya makin mendekati wajah Raja.

“Jangan Sampe kayak gitu. Atau gua bakal kecewa banget.”

“Kenapa?” kali ini tangan Sei membelai wajah Raja yang semakin gugup dibuatnya.

“Karena lu udah sama Roa. Lu udah milih dia kayak dia milih lu.”

“Kalo gua ternyata mau sama lu?”

Raja terpaku sesaat mendengar ungkapan Sei yang menyerupai bisikan. Kegugupan yang dirasakannya seketika hilang berganti perasaan asing yang jarang sekali dirasakannya sepanjang usianya. Kesenangan dan keharuan yang tulus dan nyata. Raja menatap sepasang binar mata elang Sei yang dengan hangat dan ramah menatap juga padanya. Begitu dekat dan begitu berani, mengajak Raja untuk memberanikan diri membelai wajahnya. Lalu sepasang mata itu tertutup perlahan saat Raja mendekatkan wajahnya dan mengecup bibirnya.

“Teteh*!” suara seorang gadis mengagetkan Raja, dan kemudian pintu kamar itu diketuk.

Raja menoleh cepat kearah pintu, hanya sekejap sebelum mendapati Sei telah lenyap dari hadapannya. Pria itu menatap sekeliling kamar, dan menemukan gaun pengantin Sei yang dipegang di tangan kirinya. Dia mengutuk dirinya sendiri saat menyadari bahwa keberadaan Sei dan kejadian tadi hanya terjadi dalam lamunannya. Tiba tiba dadanya terasa sesak karena khayalan itu terasa begitu nyata.

“Teteh!” panggil suara itu lagi, kali ini orang yang mengetuk pintu itu membuka pintu dan mengintip ke dalam kamar. “Eh, maaf!” kata seorang gadis yang tampak terkejut mendapati Raja didalam kamar.

“Hei, tunggu bentar!” panggil Raja, “Lu adenya Sei kan?” lanjutnya saat gadis itu kembali. “Ayo masuk sini, kakak lu lagi pergi. Gua diminta bawain pesenannya yang ada di lu. Itu yah?” Raja menunjuk tas yang dibawanya.

“Iya.” Kata gadis itu, ragu ragu menyerahkan bawaannya pada Raja.

Raja meletakan gaun Sei di atas tempat tidur, lalu meraih tas kertas yang disodorkan padanya itu. Pria itu menatap gadis dihadapannya, begitu manis dan sangat mirip Sei. Nyaris tanpa beda kecuali rambut gadis ini sedikit lebih pendek dari rambut Sei dan usianya tampak jauh lebih muda. Lebih belia. Raja tersenyum, gadis itu terlihat kikuk dan bingung.

“Hai, gua Raja. Temennya Sei.” Raja mengulurkan tangannya pada gadis itu yang merainya ragu ragu. “Nama lu siapa?”

Gadis itu mengangguk. “Ceri.” Katanya pelan.

“Nama yang manis, cocok sama orangnya.”

Ceri tempak tersipu, namun tak lama hingga dia menyadari dia takkan bertemu dengan kakaknya. “Teteh dimana, kak? Dan itu, baju pengantin siapa?”

Kening Raja bertaut, “Sei lagi ngurusin undangan, emang dia nggak bilang ya sama lu. Dan pastinya itu baju dia.”

Ceri menggeleng, kekecewaan dan ketidak percayaan membayang di mata elangnya yang ibarat duplikat mata Sei. “Undangan?” gumamnya, “Kakak bisa bawa Ceri ketemu teteh, Ceri pengen ketemu teteh sekarang.”

“Hei, slow down. Dia baik baik aja kok. Nggak usah panik.”

Ceri menatap Raja sengit, “Baik baik aja? Teteh ngurusin undangan dan nyiapin baju pernikahan. Teteh akan menikah? Iya kan?”

Raja mengangguk bingung.

“Kakak bilang teteh baik baik aja? Dia akan menikah dan kami nggak tahu. Kakak bilang teteh baik baik aja?”

“What?” giliran Raja yang terkejut kali ini, “Lu nggak tahu Sei akan menikah?”

Ceri menggeleng, penuh kesungguhan. Air mata tipis membayangi tatapannya yang tampak marah.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel