Bab 12 Family Gathering
Raja melihat mobil Mirza masuk ke pelataran restaurantnya sesaat sebelum dia masuk, pria itu membunyikan klakson mobilnya selama setengah detik sebagai tanda dia pun melihat kedatangan Raja. Mobil itu berhenti di pintu masuk dan Mirza segera keluar dari dalam mobil lalu menyerahkan kunci mobilnya pada petugas valley agar Raja bisa segera bergabung bersamanya. Dengan sigap Mirza membuka pintu belakang mobil Mirza dan tanpa canggung menyapa orang tua Ceri yang ditemuinya.
“Selamat datang om, tante. Saya Mirza teman Sei, Roa dan Raja.” Kata Mirza saat orang tua Sei turun dari mobil.
“Yo, kita turun juga Cer.” Ajak Raja pada Ceri.
Ceri lalu turun dari mobil menyusul orang tuanya, sementara Raja yang telah bersiap turun teringat akan I pod gadis itu yang sempat tertinggal. Dia meraihnya dari dalam dashboard dan segera menyusul mereka setelah menyerahkan kunci mobilnya pada petugas Valley yang telah setahun ini bekerja padanya.
“Cer!” panggil Raja, Ceri yang berjalan dibelakang orang tuanya dan Mirza berhenti sejenak menunggu Raja, “I pod, lu.” Katanya seraya menyerahkan barang milik gadis itu.
“Ceri tersenyum lebar, “Makasih, kak. Ceri pikir ilang.” Katanya tampak lega.
“Sayang banget kayaknya?”
“Iya, dikasih teteh soalnya.”
“Barang berharga?’
Ceri mengangguk pelan.
“Kalo gitu, jaga baik baik. Jangan sampe nyesel karena hilang lagi.”
“Iya.”
Raja mengusap usap kepala Ceri tanpa sadar, “Ya udah, masuk yu!” katanya saat menyadari tindakannya.
Raja berjalan cepat menyusul langkah Mirza yang telah agak jauh didepannya. Dengan sikap yang dibuat tenang Raja menuntun kedua orang tua Sei bersama Mirza memasuki restaurant kebanggaannya. Sebuah ruangan di bagian dalam Restaurant telah disiapkan untuk mereka. Raja menunjukan jalan kesana, setelah memanggil seorang pelayan pria yang dia tugaskan untuk membantunya menyambut tamunya hari ini.
“Fei sama Dai udah dateng.” Bisik Raja di kuping Mirza.
Kedua pria yang disebutkan Raja tadi memang telah menunggu di ruangan saat mereka masuk. Keduanya dengan sopan namun akrab menyapa orang tua Sei terlebih dahulu begitu melihat mereka masuk dari pintu.
“Om, Tante.” Dai dan Fei bergantian menyalami kedua orang tua Sei.
“Fei, Dai! om pikir kalian ikut ke Jepang.” Kata papanya Sei.
“Nggak om, kita disini aja nunggu mereka.” Jawab Dai dengan suara beratnya yang terdengar seksi.
“Udah pada gede kalian sekarang. Om pangling, susah sekali ngebedain kalian.” Komentar papanya Sei.
Kedua pria itu hanya tersenyum malu malu dihadapan om dan tantenya. Lalu mereka menawarkan tempat duduk di satu sisi meja yang sengaja ditata memanjang dengan gaya lesehan.
Ceri memandangi keduanya secara terang terangan. Mereka kini menyapa Mirza dan Raja dengan sikap akrab kawan lama. Gadis itu mencoba membuka memori masa lalunya, kurang lebih lima tahun kebelakang saat terakhir kali dia bertemu salah satunya. Dai, yang tadi berbicara dengan papanya, adik pertama Roa yang sebaya dengan Sei, pria tinggi besar dengan kulit mulus dan wajah licin seperti perempuan, paling tampan diantara ketiga bersaudara itu. Dan itu artinya pria yang lebih tinggi dan kurus itu adalah si bungsu Fei yang hanya terpaut usia tiga tahun darinya.
“Ceri.” Panggil ibu karena gadis itu hanya diam di depan pintu masuk. Ceri menatap ibunya yang sedikit menggebahnya dari kilasan ingatan lamanya yang membawanya ke pemikiran sesaat barusan.
“Hai, Ceri! Apa kabar?” Fei yang menyapanya lebih dulu, pria itu mengulurkan tangan kanannya yang disambut setenang mungkin oleh Ceri. “Lama nggak ketemu, hampir aja gua nggak kenal lu.” Lanjutnya.
Ceri menyeringai lebar, “Sama a, Ceri juga udah lupa sama aa.” Jawabnya lugas. Fei tersenyum menanggapinya.
“Ceri!” protes ibunya.
“Nggak apa apa kok tante.” Dai angkat bicara, lalu menyapa Ceri seperti yang dilakukan adiknya. “Lupa juga sama aa?” lanjutnya pada Ceri yang mengangguk anggukan kepalanya malu malu.
“Tapi nggak akan lupa lagi kok, pasti.” Janji gadis itu.
Acara ramah tamah tersebut di sela oleh kehadiran Felix yang memandu orang tua Roa untuk bergabung bersama mereka. Tentu saja acara ramah tamah yang kedua langsung terjadi secara alami antara Fei dan Dai dengan orang tuanya, lalu orang tua mereka dengan orang tua Sei. Ceri menghampiri Raja yang telah bergabung bersama Mirza dan Felix.
“Teteh mana kak?” Tanya Ceri.
Felix menoleh pada Ceri yang baru hari ini ditemuinya, “Masih dibelakang sama Roa. Tadi kita bawa dua mobil soalnya.” Jelas Felix, “Ini Ceri ya?” Tanya Felix akhirnya, gadis itu mengangguk pelan sementara Felix mengulurkan tangannya, “Gua Felix, designer!” katanya sedikit narsis. Ceri yang kaget mendapati sikap Felix dengan canggung menerima jabatan tangannya.
“Ish, maksud lu apa, heh?” protes Raja.
“Nggak ada, pamer dikit boleh dong. Iya kan Cer. Siapa tahu bisa dapetin produk keduanya Sei.”
“Sinting lu!” Mirza menjambak pelan poni Felix yang menjuntai panjang membingkai pipinya yang lancip.
“Roa sama Sei belum datang, Fel?” Tanya mamanya Roa yang duduk berdekatan dengan ibunya Sei.
“Belum tante, tadi ketinggalan jauh soalnya.”
“Dijemput pake dua mobil tadi?” Tanya papanya Sei.
Papanya Roa mengagguk, “Mobil kecil kapasitas empat dan dua orang.” Jelasnya.
“Atas Request Roa ya, A?” Tanya Dai yang bergabung dengan Felix dan kawan kawan. Felix yang ditanya hanya tersenyum lebar.
“Akalan akalan aa tuh pa, biar bisa berduaan selama dijalan, makanya dilambat lambatin.” Kata Fei pada papanya dengan genit.
“Nggak kok, Fei. Emang kebetulan cuma ada dua mobil itu yang bisa dipake. Kalo lambat itu karena Sei harus nyetir sendiri antara Bandung-Tangerang-Bandung sendirian.”
“Kuat juga ya anak itu, Man.” Puji papa Roa pada papanya Sei, “Yah, kalo pun akalan akalan, nggak apa apa kan Fei.” Lanjutnya pada si bungsu. “Kangen mungkin lama nggak ketemu.”
“Iya ah Fei. Kenapa harus diributin sih.” Kata mamanya.
“Yeh, mama sama papa nih!” protes Fei, “Aa nggak apa apa berduan kayak gitu, Fei dapet telepon dari cewek aja diprotes.”
“Iya lah Fei, lu mau ganjen belum saatnya. Baru masuk kuliah juga. Sabar dikit sampe akhir tahun napa.” Kata Dai.
“Kang Dai juga udah dapat SIM ya?” Tanya Fei, kakaknya menggeleng tak acuh.
“SIM apan Fei?” Raja yang penasaran dengan ungkapan anak itu.
“Surat ijin mesra mesraan.” Jawab Fei, Felix dan kawan kawan terkekeh mendengarnya, juga yang lain yang ada diruangan.
“Fei, tanya kakak kakakmu tuh, mana mereka pacaran dari kecil kayak kamu.” Kata ibunya.
“Mirza malah sampe sekarang bertahan ngejomblo Fei.” Goda Felix.
“Tapi Raja hobby tuh pacaran, tante. Dari SMA malah.” Kata Mirza.
“Berarti jangan ditiru, Fei. Hobby kok pacaran.” Kata Papanya Sei, “Cari hobby yang lebih bagus dan menguntungkan.” Tambahnya, tentu saja dengan nada bercanda yang terdengar jelas.
Pada akhirnya ruangan tersebut terisi oleh keceriaan tentang satu tema yang beralih cepat dan selaras pada tema lainnya. Semua orang terlibat dalam suasnaa hangat penuh candaan ringan yang menghibur didalam sana. Hanya Ceri yang diam diam memendam perasaan khawatir mengingat kakaknya yang hari ini akan mengumumkan tentang penikahannya yang sudah dipersiapkan dengan sangat matang dan tinggal menunggu hari H. maka saat Sei dan Roa muncul dari pintu masuk, kegusaran gadis itu makin menjadi jadi.
Ceri hanya bisa menyaksikan dengan gugup Saat kakaknya menyalami orang tua mereka juga para calon mertuanya yang menyambutnya dengan hangat. Juga hanya bisa menyaksikan dengan kaku saat Roa melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan kakaknya. Dan gadis itu masih hanya diam menyaksikan Roa yang melepaskan rindunya pada kedua adik dan sahabatnya dan saat Sei dipeluk dengan akrab oleh kedua calon adik iparnya.
“Ahem.” Felix menyela keasikan yang digeluti masing masing orang dalam ruangan tersebut, “Saran aja nih ya, mumpung semua udah ngumpul gimana kalo kita makan siang dulu? Jujur, udah laper dari tadi soalnya.”
Orang orang yang mendengarnya hanya tertawa menanggapi keseriusan awal Felix yang berubah jadi begitu konyol pada akhirnya. Tapi hampir semua orang merasakan hal yang sama dan menyetujui usulannya. Ternyata, makan siang yang mereka tunggu hanya tiba selang satu menit saja setelah Raja memanggil pelayannya. Di meja panjang itu dalam waktu singkat dipenuhi menu yang menggoda selera.
“Makin hebat aja, kamu Ja.” Kata papanya Roa saat mereka mulai makan. “It’s so tasty. Kapan mau masak khusus buat kita dirumah?”
“Papa, mama manyun tuh jadinya.” Protes Fei.
“Manyun gitu ma? Nggak kan, masakan seorang istri dan seorang chef nggak akan bisa disejajarin.”
“Kenapa om?” Tanya Mirza.
“Karena komposisi masakannya aja udah beda.” Jelas papanya Sei, papa Roa mengangguk setuju. “Seorang Chef masak dengan bahan, bumbu dan ilmu. Sementara seorang istri masak dengan komposisi bahan, bumbu, ditambah ketulusan, ditaburi pengabdian dan diproses bersama cinta.”
“Aiiiih, seru tuh.” Felix, Mirza dan Dai bersiul geli, sementara yang lainnya hanya tersenyum.
“Tapi siapapun yang masak, makanan enak itu menimbulkan rasa seneng ya kan om.” Kata Raja yang bergantian menatap pada om dan tantenya yang mengangguk angguk.
“Ya. Bahkan orang barat sering bernegosiasi di meja makan.” Jelas papanya Roa, “Karena didepan makanan enak hati kita lebih lapang dan pikiran pun tenang.”
Raja tersenyum simpul, “Makanya hari ini Raja sengaja keluarin semua kemampuan buat bisa sajiin ini didepan kalian semua.”
“Wah, ada yang mau bernegosiasi sepertinya.” Kata papa Sei, Ceri terpaku saat mendengar komentar papanya.
“Bukan negosiasi kok.” Roa akhirnya angkat bicara, “Cuma pengumuman. Kalo selain kemarin Roa wisuda, dan besok Sei yang wisuda, ada acara penting lain lagi yang akan menyusul.”
“Lamaran, kah?” Tanya Fei penuh semangat.
Roa menggeleng, begitu pun dengan Sei. “Kami akan segera menikah.” Kata Roa lagi.
“Bagus!” kata papa dan mama Roa berbarengan.
“Tepat kaya dugaan papa kan, bu?” Susul papanya Sei, istrinya tak berkata apa apa kecuali tersenyum.
Sei dan Roa hanya saling pandang dengan sedikit kekagetan membayangi mata mereka saat melihat reaksi seluruh keluarganya. Begitu pun dengan adik kecilnya Sei. Meski dia terkejut karena papa dan ibu dengan mudah menyetujui tapi dia merasa lega sekaligus.
“Mau tentukan tanggalnya dari sekarang, Ro?” Tanya ibu.
“Udah bu.” Kata Sei sedikit Ragu, “Besok, tanggal sebelas.” Lanjutnya.
Hening. Ketegangan kembali menyelimuti Roa, Sei dan kawan kawan. Orang tua mereka sama sekali tak memberikan respon, tampak sibuk mencerna pernyataan terakhir Sei yang merangkum banyak informasi penting.
“Nggak bisa.” Tolak Fei dengan keras, “Kita belum prepare apa apa, kan? Kostum, gedung, pesta. Masa tanpa party.”
“Kok lu yang sewot sih, Fei?” Tanya Dai yang heran dengan reaksi adiknya.
“Party kang, masa brader kita nikah dadakan dan diem diem. Ntar apa anggapan orang? Disangkanya accident lagi, malu kan!”
“Omongan orang kok dipikirin.!” Kata Dai, “Bisa susah hidup kalo kebanyakan dengerin kata orang yang nggak pernah ada habisnya.”
“Tapi Fei bener Ro.” Kali ini mamanya yang bicara, “Masa persiapan menikah cuma beberapa hari?”
“Cuma tiga hari ma.” Fei mengingatkan.
“Ibu, juga nggak akan sanggup, Sei.” Tambah ibunya Sei.
Sei dan Roa tersenyum lega. Sungguh tak ada lagi yang dikhawatirkan, jika hanya sebatas persiapan yang membuat mereka tak setuju tentu tak ada lagi masalah yang berarti. Ketiga kawannya juga Ceri pun akhirnya bisa bernafas lega. Sejenak mereka membiarkan keluarganya meributkan hal yang tak perlu ini. Hingga saatnya Roa menyudahi acara makannya dan berharap bisa segera mengakhiri kebersamaan ini untuk berdua saja dengan Sei.
“Ahem.” Roa berdeham sebelum mulai berbicara lagi, “Sama semuanya. Roa minta maaf sekali. Keputusan tanggal pernikahan sudah final.” Jelasnya, “Seluruh persiapan udah selesai, dan hari ini undangan akan disebarin. Jadi, ya…” Roa mengangtungkan kalimatnya.
Mirza meletakan sebuah contoh undangan diatas meja seraya menyeringai lebar. Undangan tersebut dilihat oleh semua orang yang belum mengetahuinya dengan sorot mata bingung dan haru.
“Itu sample undangannya.” Jelas Mirza, “Gedung dan Cathering udah pasti dibawah tanggung jawab Raja sebagai juragan dari tempat ini. Dekorasi, photographi, Schedule dan segala keperluannya Mirza pastikan sudah sangat siap. Dan untuk seragam keluarga, juga. Kalau kalian semua ada waktu hari ini Felix sangat ingin kalian bisa fitting.”
“Udah fix nih ceritanya?” Tanya Fei.
“Sangat fix!” kata Felix yakin, “Beruntung Roa punya tenaga tenaga ahli terpercaya disini untuk membeantu persiapannya.” Lanjutnya sedikit menyombongkan dirinya dan kedua temannya.
“Iya, kan.” Kata Roa, “So. Gimana kalo habis ini semuanya langsung ke tempat Felix aja buat pengepasan.” Lanjutnya. “Tapi, berhubung nanti malem Sei ada acara Yudisium. Kita pamit duluan ya, semuanya.”
“Jadi begitu. Okelah, kita ikuti aja yang udah kalian bikin..” Kata papa Sei.
“Hati hati Ro!” kata papanya.
“Iya. Pergi dulu ya!”
“Besok ketemu di kampus ya, bu.” Kata Sei pada ibunya.
“Jam 8 kan?” jawab ibunya, Sei mengangguk.
Lalu Roa dan Sei berlalu meninggalkan mereka.
